www.wkgunawan.blogspot.com

Senin, 22 Februari 2010

Getting a PhD Degree by: Weka Gunawan

Getting a PhD Degree


By: Dr. Çri Sajjana Prajna Wěkādigunawan

Family Health, Faculty of Medicine

National University of Indonesia





Aku lulus tahun 1995 sebagai Master Kesehatan Masyarakat dari program pasca sarjana Universitas Indonesia. Saat itu para dosen di FKM UI, seperti Dr. Syafri Guricci, Dr.Kusdinar, Prof. Alex Papilaya, Prof. Soekidjo Notoatmodjo dan banyak dosen lagi, menyarankan aku untuk segera meneruskan ke tingkat Doktoral. Menurut mereka, alangkah baik kalau aku telah Doktor (S-3) di usia belum 30 tahun dan dapat membaktikan pengetahuanku untuk kesehatan masyarakat di Indonesia. Sayang saat itu kondisi keuangan tidak memungkinkan segra menuntaskan S-3. Maka, aku kembali bekerja di RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia). Pak Syafri dan pak Alex yang memotivasi aku untuk terus terpapar dengan isu-isu kesehatan masyarakat dengan mendudukkanku sebagai Wakil Sekjen IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia).



Kedekatanku dengan para dosenku di FKM UI membawaku untuk terus lekat pada ilmu yang benar-benar mengesankanku ini. RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) adalah sarana pengabdianku. Memberikan informasi kesehatan di semua program berita di stasiun TV tersebut. Saat itu nama program beritanya adalah Nuansa Pagi, Buletin Siang, Seputar Indonesia dan Buletin Malam. Sebagai wakil Sekjen IAKMI aku seringkali menghadiri banyak rapat, seminar dan simposium atas nama IAKMI. Mewakili Sekjen IAKMI pak Syafri Guricci dan pak Alex Papilaya kemana saja. Aku merasa terbantu dengan tugas sebagai wakil Sekjen IAKMI ini. Sebagai reporter kesehatan saat itu di RCTI menyebabkan aku selalu mendapatkan isu-isu kesehatan baru dan mampu mendiversifikasikan melalui media TV. Niatku hanya satu mengedukasi 50 juta penonton RCTI saat itu. Terus-terang meski saat itu aku belum menjadi pembaca berita di Seputar Indonesia, tetapi namaku yang muncul di setiap laporan kesehatan yang aku paparkan, diingat banyak orang. Tak kurang dokter di Puskesmas-puskesmas pelosok negeri, para Professor dan para pengambil keputusan. Weka Gunawan saat itu identik dengan berita-berita kesehatan.



Tahun 2000, saat aku bekerja untuk mempersiapkan Trans Corp di Para Grup. Aku berjumpa dengan Dr.Husni Muadz, Dr.Triono Soendoro dan Prof.Purnawan Junadi. Mereka kembali mengingatkanku untuk menyelesaikan S-3 ku. Memang usia merambat naik. Pekerjaanku di TV adalah pekerjaan yang membuatku senantiasa bergairah karena nyaris setiap menitnya adalah tantangan baru. Tetapi manusia bertiga itu, menggodaku tentang tarian ilmu pencapaian S-3. Prof.Hari Kusnanto dan juga Mas Dr.Tony Prasetiantono menceritakan tentang suka-duka melewati tebing-tebing, jalan berkerikil, berbatu untuk mendapatkan S-3 mereka di luar Negara.



Meski aku telah mendapatkan posisi yang banyak diidamkan orang lain yakni memimpin fakultas kesehatan masyarakat sebuah universitas swasta di Jakarta. Tetapi godaan itu terus datang.



Maka, Juli 2006 aku mendapatkan surat penerimaan dari Fakultas Kedokteran Universitas Kebangsaan Malaysia. Mereka menyatakan melalui rapat senat, menerima proposal penelitian yang aku ajukan dan aku berhak untuk mengikuti program PhD (Doktor Falsafah)dalam bidang kesehatan keluarga di Fakultas tersebut. Saat itu aku hanya mampu berdoa: semoga inilah jalan yang terbaik.





TIDAK MUDAH



Bersekolah kembali di usia yang sudah tidak muda lagi. Mempunyai anak pertama kelas 3 sekolah dasar dan bayi berusia 10 bulan. Sungguh tidaklah mudah. AlhamduliLLAH, ibuku yang telah bersusah payah membesarkanku berpartisipasi untuk mendampingiku. Aku memerlukan ibuku, lebih sekedar dari penjaga bayi saat aku belajar. Farrell seringkai saya letakkan di TASKA (semacam day care) berhampiran rumah kami. Negeri Malaysia sungguh tak pernah aku jangkakan sebelumnya. Sebuah negeri yang susah untuk dipahami sistemnya. Para perempuan yang tidak pergi bersama suami dapat disangka yang macam-macam dan tak semua perempuan berpikir positif. Terlalu sering aku mendapatkan picingan mata kurang suka dari perempuan-perempuan berkerudung disini. Nasib baik, aku mempunyai jiran yang amat perhatian. Namanya Zuhaya, berasal dari negeri Kelantan, ia sungguh memahami keadaanku dan juga Rita Joenaedy seorang Geolog yang meringankan beban sosialku.



Ya ALLAH, di bumiMU aku berpijak. Jagalah hambaMU yang lemah ini, Yaa ALLAH yang maha mencukupi. Keyakinanku pada ALLAH-lah yang akhirnya memantapkan aku untuk bersekolah di Malaysia. Sebuah Negara yang sesungguhnya bernenek moyang orang Indonesia.



Pembimbing Penelitian



Penyelia risetku bernama Prof Madya Dr. Rahmah Mohd Amin, PhD. Ia mendapatkan PhD dari Keele University di Inggris pada tahun 2005. Ia seorang yang sangat membesarkan hati. Melalui Dr.Nor Afiah temanku dari Universiti Putra Malaysia aku mengetahui bahwa Dr.Rahmah akan merasa bersusah hati jika aku sampai menghentikan perjuanganku mendapatkan gelar PhD ini. Mungkin saja, jika Prof. Rahmah Mohd Amin tidak mengatakan itu mungkin saja aku menghentikan semua ujian ini. Sungguh, aku merasa menjadi PhD sangat sangat mahal baik uangnya yang telah menghabiskan ratusan juta rupiah dan juga energy habis. Bagaimana saat membaca tak kenal waktu semua jurnal-jurnal international dan nasional selama setahun penuh dan saat presentasi proposal di semester ke-3 ternyata judulku dianggap terlalu luas dan diminta untuk kembali berdiskusi dengan supervisor untuk menentukan judul baru.



Lalu aku memerlukan waktu 2 tahun sampai aku berhasil untuk presentasi proposalku yang ke-dua. Mataku rusak, aku segera memerlukan kacamata karena memaksakan mataku berakomodasi terus tanpa lelah. Kini, aku tengah dalam pengumpulan data tersandung dengan biaya besar yang kuperlukan di lapangan. Entahlah, bagaimana lagi aku harus melangkah… Namun, aku ingat Rahmah Mohd Amin yang berrjaya sukses mulai dari kota kecil Trengganu hingga kemudian ke Keele University di Britain. Ia mengatakan,” Weka, kena sabar. Insya Allah. Insya Allah” itu selalu nasehatnya. Sampai detik ini aku merasakan PhD bukanlah soal gelar di belakang nama kita itu. Tetapi proses mendapatkannya yang menguras energy, harta dan juga seluruh emosi kita sebagai manusia. Jika kita mampu mengolahnya, Insya Allah, perjuangan jihad menambah ilmu ini berguna bagi umat manusia. Insya Allah. Insya Allah. Amin.



Ujian yang tak kunjung usai



Meski aku menulis disertasiku dalam bahasa Inggris, kami semua tanpa kecuali diminta untuk mengikuti kuliah bahasa Melayu di Universiti Kebangsaan Malaysia di Bangi.



Kamis, 11 Februari 2010

Seratus tahun Buya HAMKA

Seratus tahun Buya HAMKA



(saya jadi berpikir tentang home schooling)



Oleh

(Weka Gunawan)

Kesehatan Keluarga

Fakultas Kedokteran Universitas Kebangsaan Malaysia



Saya berkesempatan untuk menghadiri acara Pentas Kesenian Minang Kabau di Universiti Kebangsaan Malaysia. Acara tersebut dilaksanakan di Dectar sebuah gedung yang biasa digunakan sebagai acara wisuda baik untuk tingkat diploma, sarjana maupun doctoral. Gedung itu memang tidak cukup besar dibandingkan misalnya AULA kuliah jaman saya mahasiswa di Universitas Airlangga Surabaya.



Saya mendapatkan undangan dari teman-teman baik saya yang kebetulan berasal dari Padang Sumatera Barat. Para pelajar dari Padang ini memboyong langsung dari Padang semua penari, pemain gendang dan pembaca syair. Saya bisa bayangkan betapa banyak ongkos yang harus dikeluarkan untuk acara ini. Rikki Vitria, Ario, Rahmat adalah sebagian pelajar yang tampak sibuk untuk acara ini. Mereka seringkali melaksanakan rapat di Rumah Makan Singgalang di Kompleks Hentian Kajang. Pemilik rumah makan ini memang berasal dari Padang tetapi telah menjadi warga Negara Malaysia.



Acara ini sedianya akan dihadiri oleh Rais Yatim Menteri Kebudayaan Malaysia, namun beliau tidak dapat hadir dan mewakilkannya pada Prof.Idris yang seperti halnya Rais Yatim juga mempunyai akar muasal dari Padang Sumatera Barat. Atase Kebudayaan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia juga hadir.



Sebuah pementasan yang mengagumkan digelar di Dectar. Saya kagumi bahwa pementasan ini cukup sukses. Permainan lampu dan tata suara amat membanggakan padahal levelnya hanya Universitas. Sayangnya tidak ada media yang meliput acara yang sangat menarik ini. TV satu Malaysia hanya mengulas pada acara seminar di pagi harinya. Lebih tentang sastra dan tak banyak pula mengulas seniman besar Buya HAMKA.



Pementasan Minang Kabau ini dimulai. Para penari yang cantik jelita menarikan tari penyambutan tamu dan kemudian memberikan kapur dan sirih sebagai tanda terimakasih kepada salah seorang tamu yang dianggap paling terhormat malam itu. Kemudian lagu-lagu yang dibawakan dalam bahasa Minang mengingatkan kita pada bumi Sumatera Barat yang indah dengan perbukitan, danau-danau dan pepohonan yang menghijau.



Selanjutnya adalah pembacaan kisah kehidupan Buya HAMKA yang dibacakan dengan cara drama oleh dua orang, lelaki dan wanita dengan pakaian tradisional Minang Kabau. Menceritakan buya HAMKA yang tidak pernah lulus sekolah dasar tetapi berani merantau ke luar daerahnya. Ia belajar secara otodidak, berguru pada alam, waktu dan siapa saja yang ditemuinya. Ia bertualang ke Yogyakarta, juga ke Saudi Arabia. Menulis perjalanannya, menyampaikan kisah-kisahnya. Hingga karyanya diakui oleh masyarakat sastra Indonesia. Buya HAMKA pun mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Mesir. Jika menilik kisah ini persis seperti kisah-kisah orang besar pengubat (dokter) terkenal Ibnu Sina, perjalanan panjang Honda, Hilton, bahkan Bill Gates dan Marck Zuckerberg (Facebook). Orang-orang ini tidak mengenyam pendidikan tinggi secara formal tetapi berhasil dalam hidupnya. Dan tidak ada yang menyangsikan kehebatan pengetahuan mereka. Siapa tahu sesungguhnya, home schooling adalah cara yang paling efektif bagi mendidik anak-anak kita? Telah terbukti bahwa sekolah formal malah membatasi kreatifitas anak-anak kita, bahkan menjadikan mereka korup (demi nilai dan peringkat kelas mereka bisa melakukan apa saja: mencontek, menekan teman-temannya yang cerdas), menjadi pembohong pada gurunya kalau kedapatan tidak mengerjakan PR, dan berbohong lagi pada orangtua mereka kalau ternyata nilai mereka merah. Lalu mereka berebut jadi Pegawai Negeri Sipil dan menyuap kanan-kiri atas bawah. Tak heran kemudian korup menjadi tradisi dan mereka tidak menganggapnya dosa.



Baiklah kembali ke acara hebat itu. Acara ditutup dengan tari piring yang mengagumkan. Betul-betul piring yang mudah pecah jika tak pandai menggoyangnya. Lalu tarian hebat ini ditutup dengan salh seorang penarinya menari di atas piring hingga piring-piring itu pecah berkeping-keping. Saya kurang pasti apakah mereka kesakitan yang jelas saya melihat ada luka-luka di telapak kaki mereka sesudahnya.



Tepuk-tangan membahana di seluruh ruangan seusai rentak tarian itu habis. Saya berdiri dan memberikan applaus. Saya bangga akan Indonesia yang kaya raya dengan tradisi dan budaya nenek moyangnya. Saya melihat orang-orang Malaysia yang berasal dari Minang itu ketika kami makan dalam satu meja menyatakan hal yang sama:” Kami juga berasa bangga punya leluhur daripada Indonesia yang sangat elok” Oh indahnya serantau seirama ini.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Weka Gunawan saat ini memperdalam bidang Kesehatan Ibu dan Anak di Fakultas Kedokteran Universitas Kebangsaan Malaysia.

Kamis, 14 Januari 2010

Balance Diet VS Basic Four and Basic Five (GIZI SEIMBANG VS 4 SEHAT 5 SEMPURNA!

4 Sehat 5 Sempurna? Jadul ah!


Oleh: Weka Gunawan,

Kandidat Doktor Ilmu Kesehatan Keluarga, Fakultas Kedokteran Universitas Kebangsaan Malaysia

4 Sehat 5 sempurna, seperti sebuah jimat pamungkas untuk perbaikan gizi di Indonesia. Hari-hari ini, saya menyaksikan sebuah iklan minuman sereal yang mempromosikan produknya sebagai 4 sehat 5 sempurna. Selama bertahun-tahun di benak para ibu mungkin juga kita semua bahwa konsumsi susu melengkapi asupan gizi kita menjadi sempurna. Riset membuktikan bahwa pendekatan itu sudah kuno, dan harus cepat-cepat ditinggalkan.



Ketika diwawancarai oleh wartawan surat kabar Kompas beberapa waktu lalu, saya mengemukakan bahwa sejak tahun akhir 80-an, dan menjamurnya makanan-makanan siap saji, maka Indonesia mempunyai banyak beban dalam dunia kesehatan khususnya gizi. Indonesia masih berkutat dengan kekurangan gizi: gizi buruk, busung lapar tetapi juga mengalami kelebihan gizi: meningkatnya kolesterol, obesitas. Semuanya berdampak pada pola penyakit yang timbul: kekurangan gizi menyebabkan tubuh tidak mampu membangun zat-zat kekebalan tubuh dengan baik. Oleh karenanya penyakit-penyakit infeksi masih merupakan penyakit tertinggi di Indonesia. Kita masih belum pernah selesai dengan ISPA, tuberculosis, bahkan penyakit-penyakit infeksi seperti typhus. Di lain sisi kita juga menghadapi akibat kelebihan gizi yakni timbulnya penyakit-penyakit degenerative seperti penyakit jantung, gangguan fungsi ginjal dan gangguan hati (liver). Maka, pendekatan 4 Sehat 5 Sempurna terbukti tidak lagi sesuai. Konsep itu menyebabkan keluarga berusaha memenuhi makanan mereka sehari-hari dengan jumlah daging, susu, tepung, lemak, gula yang banyak. Sebaliknya konsumsi sayur dan buah menurun.



4 Sehat 5 Sempurna mengadopsi Basic four and Basic Five, di Amerika dan segera direvisi pada tahun 1970-an. Penyebabnya sama: obesitas dan meningkatnya penyakit-penyakit akibat kelebihan gizi. Prof. Poerwo Soedarmo memperkenalkan 4 sehat 5 sempurna pada tahun 1950-an namun semasa paruh akhir hidupnya Prof.Poerwo justru menerapkan konsep baru gizi yakni Gizi Seimbang (Balance Diet). Hal ini pernah diceritakan Prof.Purnawan Junadi dari FKM UI pada tahun 2002. (Obrolan seru tentang apa saja di sebuah rumah makan yang luas dan asri di Suranadi di Pulau Lombok).



Gizi Seimbang (Balance Diet)



Pada tahun 1980, George McGovern didukung organisasi profesi kesehatan menerbitkan pedoman baru Nutrition Guideline of Balance Diet Nutrition Guide. FAO (organisasi pangan sedunia) pada tahun 1992 mengajak negara-negara anggotanya untuk mengadopsi paradigm baru yang terjadi di Amerika. Tahun 1994, pemerintah Indonesia menjawab ajakan itu dan membuat Gizi Seimbang sebagai media penyuluhan gizi dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) VI. Sayangnya, ramai orang yang menganggap ini rumit, tak mudah dihafalkan oleh kader-kader kesehatan, dan kemudian dengan berjalannya waktu Indonesia fokus pada perubahan-perubahan cepat di elit politik. Gagasan ini tak banyak gaungnya. Sayang sekali!



4 Sehat 5 Sempurna itu kuno!



Mengapa 4 sehat 5 sempurna itu kuno? Karena konsep itu menganjurkan pemenuhan gizi yang tidak berimbang dan menjadikan susu satu-satunya sumber protein hewani yang sempurna. Dalam petunjuk Gizi Seimbang, asupan diet disesuaikan dengan usia seseorang bahkan juga aktifitasnya. Konsep mudahnya dibuatlah piramida gizi seimbang Indonesia. Oleh karena itu maka gizi seimbang untuk bayi usia 0 hingga 6 bulan adalah Air Susu Ibu (ASI), demikian pula untuk anak batita (di bawah tiga tahun), balita, remaja, dewasa dan juga orang-orang lanjut usia. Susu merupakan salah satu sumber protein hewani. Susu juga bukan penyempurna perbaikan gizi. Protein hewani bisa kita dapat dari telur misalnya, dan harganya juga terjangkau oleh masyarakat di Indonesia. Oleh karena itu konsep ini memungkinkan dilakukan oleh semua strata masyarakat.



Akhirnya semoga tulisan ini bisa memperkaya pemahaman teman-teman semua tentang gizi seimbang. Juga mudah-mudahan tulisan ini juga bisa menggerakkan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) untuk melihat tayangan iklan yang sebenarnya ‘menipu’ seperti pada hari-hari ini ketika saya di Jakarta melihat tayangan iklan sebuah makanan berbentuk sosis mengklaim: “Saya juara…ingin seperti saya? Saya makan…” Saya belum punya data dampaknya, baru melihat satu dua kali. Tetapi saya lebih suka iklan itu ketika dibawakan Dedi Mizwar beberapa tahun silam.



Weka Gunawan (14 Januari 2010)



(Tulisan ini dibuat atas dorongan teman-teman saya di jaringan sosial Facebook: Pak Hannibal, Maria V Estiari, Taufik Hidayat, Nien Lazuardi dan Edi Wibowo)


Rabu, 23 Desember 2009

LUNA MAYA and INFOTAINMENT

Luna Maya dan Infotainment


Oleh: Weka Gunawan

Ramadhani Yanidar, kawan saya di jejaring sosial FB bertanya, “apa pendapatmu sebagai mantan wartawati tentang kasus Luna Maya?” Saat itu saya jawab, saya tidak mengikuti kasus Luna Maya. Sungguh, saya ini tidak hafal nama-nama artis jaman sekarang apalagi wajah-wajah mereka. Anak saya (11 tahun) lebih tahu nama-nama band dari Indonesia ketimbang emaknya yang zadul.com ini. Lagipula, infotainment di Malaysia relatif baru (kurang dari 5 tahun) dan infonya lebih banyak tentang artis-artis Malaysia. Sungguh, saking tidak tahunya, saya tidak mengenal Ariel (konon pacar Luna Maya?) saat ngobrol di Heathrow London September 2008. Baru setelah ibu Ita (wartawan Indonesia di Eropa) mengatakan bahwa lelaki yang tampak lelah itu Ariel Peterpan baru saya minta fotonya untuk anak saya. Saya minta maaf padanya, “Maaf ya emak-emak, lagi hamil muda, mudah lupa”.

Maka, penasaran kemudian saya mulai membacai berita perempuan jelita ini. “Ooh—Oooh-Ooh..” itu kemudian reaksi saya membaca keberatan wartawan infotainment dan tercengang luar biasa dengan komentar si cantik saat menuangkan curahan hatinya pada kawan-kawannya di Twitter.

Dulu, suatu masa di tahun 90-an, Alex Kumara sudah menjadi salah satu Direktur di Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI). Beliau menawarkan kepada Sindo (nama department berita di RCTI) untuk mengolah berita ringan tentang orang-orang terkemuka dan artis. Saat itu senior-senior saya menolak (mungkin bisa saya bilang: menolak mentah-mentah). Alex Kumara mengatakan, sesuatu tentang artis atau selebritas selalu menarik. Mereka punya penggemar dan para penggemarnya selalu ingin tahu apa yang dilakukan atau terjadi pada artisnya. Tetapi, ketika itu para senior di Sindo (Seputar Indonesia) tetap bergeming. Alasan-alasan pun terlontar, “wartawan ya wartawan bukan profesi yang mengumpulkan gossip” dan semacamnya.

Kemudian, Pak Alex menawarkan itu pada Ilham Bintang, dan jadilah majalah gossip udara pertama Cek and Re-cek. Terbukti, ucapan Alex Kumara, Ilham Bintang sukses sekali dengan rumah produksinya, dan gaya Fanny Rahmasari, presenter Cek-ReCek saat itu, menjadi acuan banyak pembaca acara semacam itu hingga sekarang.

Apa yang terjadi? Ternyata kami yang tadinya menolak mengolah acara itu jadi suka iseng ikut menonton acara ringan itu saat menulis berita di News Room. Begitu banyak layar di kantor yang memuat begitu banyak chanel tetapi Cek and Re-Cek memang mengundang perhatian. Kemudian nama-nama Adolf Posumah, dan redaktur dan penyiar senior di RCTI pun tak keberatan menjadi bintang di Cek and Re-Cek. Mereka terlihat sangat menikmatinya. Dan, diakui atau tidak, mereka menjadi lebih dilihat dan lebih dikenal oleh pemirsa RCTI, penggemar mereka makin luas, tidak hanya penggemar Seputar Indonesia. Weka Gunawan pun pernah diwawancarai pada tahun 1999, mereka ke rumah saya dan membuat profil saya dan anak pertama saya. Saya makin ngetop di antara keluarga saya yang tinggal gunung di Kalimantan. Hehehe.

Jadi, apa dong solusinya? Luna Maya dan Infotainment? Menurut saya yang tidak paham hukum: (karena itu delik aduan ya) tinggal duduk bersama, berjumpa, saling meminta maaf (wartawan infotainment yang membuat Luna marah tentu tahu bahwa yang dia lakukan ada kemungkinan mengganggu kenyamanan orang lain) dan Luna juga tentunya sadar bahwa ia tidak akan sekaya raya sekarang tanpa bantuan liputan yang sangat sering dari infotainment.

(sekedar berpendapat)

Salam, Weka.






Senin, 07 Desember 2009

DOCTOR'S ROLE IN PRIMARY HEALTH CARE! by:Dr. Weka Gunawan

Melihat kembali posisi dokter di negeri kita


Oleh: Weka Gunawan

Kandidat PhD bidang Kesehatan Keluarga, Fakultas Kedokteran


Universitas Kebangsaan Malaysia


Saat ini di Indonesia, fakultas Kedokteran kini menjadi fakultas yang paling diminati oleh ramai orangtua untuk anak-anak mereka. Meskipun biayanya yang luar biasa mahal, mereka tidak peduli. Para orangtua menyatakan pada anaknya, bahwa menjadi dokter sudah jelas paling menguntungkan di negeri kita. Menjadi dokter, adalah jaminan kemakmuran hingga hari tua. Maka, melihat animo yang membabi buta di kalangan orangtua di Indonesia menyebabkan universitas-univeritas di Indonesia berupaya membuka Fakultas Kedokteran. Fakultas Kedokteran dianggap mempunyai nilai jual yang sangat tinggi. Kita tahu bahwa Fakultas Kedokteran sudah cukup ada di Jakarta, toh kenyataannya adalah Fakultas-fakultas Kedokteran yang baru berdiri di Jakarta, para dosennya adalah dosen-dosen dari Universitas Indonesia juga. Konon di Departemen Pendidikan Tinggi Nasional masih bertumpuk permintaan mendirikan Fakultas Kedokteran, mulai dari Univeritas Besar seperti IPB, Universitas Mataram di Nusa Tenggara Barat juga Universitas-universitas swasta lainnya.

Ironi
Para orangtua mengirim anak-anak mereka ke fakultas Kedokteran kini sudah berubah tujuan. Jika dahulu, profesi itu amat elegan, mengagumkan dan dekat sekali dengan kehidupan khalayak miskin. Sekarang, profesi itu dilihat sebagai ’mesin uang’. Para orangtua yang umumnya pelanggan rumah-rumah sakit bertaraf international dan klinik-klinik Kosmetik dan Geriartri, melihat para dokter yang memakai mobil-mobil mewah keluaran terbaru dan cerita-cerita mereka tentang liburan ke Eropa, Australia dan Amerika setiap tahun. Dalam dunia hedonis saat ini, itulah bukti sebuah kesuksesan dalam hidup. Tidak ada yang salah memang. Saya pribadi tentu saja ingin anak-anak saya hidup bergelimang kemudahan dan harta pula.

Masalahnya asumsi itu juga menjadikan para dokter tertekan. Bukan lagi rahasia umum bahwa untuk mendapatkan ’atribut kesuksesan’ itu, para dokter bekerja tidak hanya di satu rumah sakit tetapi beberapa rumah sakit. Tidak ada dokter kaya raya jika ia bekerja hanya di satu klinik atau di satu rumah sakit. Pendapatannya tidak cukup. Saya sengaja tidak sebut gaji karena gaji lebih kecil lagi dari sekadar pendapatan kotor. Jakarta yang macet dan kelelahan menyebabkan para dokter tanpa sadar mengabaikan kualitas pelayanan kepada pasien dan rumah sakit tempat ia bekerja. Akibatnya, berbeda dengan dahulu Doctors can do no wrong sekarang sudah mulai banyak pasien yang mengumpat-umpat dokter mereka dan juga mulai muncul kasus-kasus menggugat pelayanan dokter dan rumah sakit.

Posisi Dokter dan 220 juta rakyat

Di seluruh dunia saat ini menyadari bahwa Dokter bukanlah peran yang otonom, yang bisa dengan seenaknya menentukan nasib pelanggan pelayanannya. Ia adalah anggota dari sebuah tim kesehatan (a team player) untuk mencegah terjadinya kesakitan dan kematian. Maka, sebagai anggota sebuah tim kesehatan dokter juga harus punya kemampuan kepemimpinan. Menurut Byram DA dalam AACN Clinical Issues 2000,: Leadership is a skill rather than a role. Pelayanan kesehatan memerlukan kepemimpinan yang baik dalam respon terhadap pelayanan pada pasien.

Melalui pendidikan di fakultas Kedokteran, para mahasiswa kedokteran menjadi dokter. Para dosen di fakultas kedokteran berusaha memastikan para pelajar siap untuk menjadi dokter di masa depan. Tetapi, masa depan adalah suatu hal yang sulit dan kebijakan-kebijakan negara dan industri seringkali melakukan kesalahan di masa lalu sehingga berakibat pada masa depan. Para staf di Fakultas Kedokteran tak pernah bisa memprediksi perubahan-perubahan di masa depan dan kurikulum studi pun tak menyediakan cara agar para lulusan fakultas Kedokteran fleksibel pada perubahan-perubahan tersebut.

Kemajuan teknologi, ditemukannya obat-obat yang lebih efektif, makin banyak pasien yang memahami informasi tentang kesehatannya, peningkatan peran dari profesional kesehatan lainnya, perubahan iklim, perubahan kebijakan negara dan naik-turunnya ekonomi negara berdampak pada kesadaran seharusnya: mempersempit lapangan praktek sebagai dokter kita bukanlah visi yang tepat.

Bekerja di rumah sakit dan menjadi spesialis memang menghasilkan uang yang banyak. Tetapi di dunia Barat sekarang timbul kesadaran bahwa datang ke spesialis adalah sesuatu yang seharusnya ’kemudian’. Masyarakat Barat termasuk Hillary Clinton mengatakan bahwa pelayanan kesehatan harus makin difokuskan pada pelayanan kesehatan dasar (primary health care), untuk mencegah morbiditas (penderitaan) akan terjadinya kanker, diabetes, serangan jantung dan penyakit-penyakit degeneratif lainnya. Pelayanan kesehatan primer juga mencegah terjadinya penyakit-penyakit infeksi muncul atau kalau sudah muncul mencegah terjadinya penyebaran penyakit menular.

Sekarang sudah terlalu banyak dokter-dokter spesialis di kota-kota besar. Bisa dikatakan kita ’surplus’ dokter spesialis di kota besar.

Dokter di Pelayanan Kesehatan Primer

Kita tidak bisa membantah bahwa angka kesakitan dan kematian akibat berbagai hal sangat tinggi di Indonesia. Angka kematian bayi dan anak dan angka kematian Ibu mencecah angka yang memiriskan hati, paling buruk dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Kejadian flu burung (pasien yang terbanyak di dunia), ditemukannya kembali kasus Filariasis dan Polio, penyakit TBC belum juga tereradikasi, HIV/AIDS yang makin meningkat penderitanya dan lain-lainnya. Maka, mengingat ada 220 juta rakyat Indonesia yang harus dilayani maka seharusnya pemerintah memberikan insentif yang mampu mendorong lebih banyak lagi para dokter berada di pelayanan kesehatan primer di daerah-daerah dengan jumlah penduduk yang banyak, memberikan kebijakan bagi adanya dokter keluarga yang melayani sebuah komunitas, membentuk ‘image’ di media massa bahwa menjadi dokter di kampung itu bisa juga kaya raya dan jalan-jalan keluar negara. Memang itu memerlukan anggaran yang luar biasa banyak. Tetapi bukannya tidak mungkin dilaksanakan bukan?

--------------------------------------------------------------------------------------------
(Tulisan ini sebenarnya sudah lama: 2 tahun lalu. Tetapi ketika saya membacanya lagi: Ah, rasanya menarik ditulis di Blog)









Jumat, 27 November 2009

FUN, FEARLESS AND FEMALE, COSMOPOLITAN MAGAZINE

“OUR LIVES AS FUN, FEARLESS AND FABULOUS!”

INDONESIA COSMOPOLITAN MAGAZINE 2000-2001

Picturu Doc: Cosmopolitan Magazine
in this photo: Amalia Yunita, Veronica Colondam, Weka Gunawan dan Maylaffaiza


Menyenangkan sekali pernah merasai panggung FFF Cosmopolitan pada tahun 2001. Saat itu, aku merasa mempunyai teman-teman baru yang benar-benar berdedikasi pada impian yang diwujudkannya.


Amalia Yunita yang memang seorang petualang sejati, mendirikan wisata Arus Liar di Citarik. Ia pernah mendaki Himalaya. Yuni, demikian aku memanggilnya tak pernah memperlihatkan wajah takut atau ragu. Ia juga tampak lembut dan sangat perempuan. Ia cantik dan pandai berdandan. Ketika ia membawakan suatu acara di TV swasta, Bambang produser acara itu mengatakan,”Aduh, dia ngga ada ekspresi ketakutannya…”. Bisa dibilang Yuni ini sukanya senyum dan tampak santai.


Maylaffaiza, saat itu menjadi peserta termuda diantara kami semua. Nah, dia juga yang paling langsing dan tinggi semampai. Ia paling ceria dan energik. Ketika ia tampil dengan biolanya, ia bak bidadari dalam balutan baju merah hati rancangan Adjie Notonegoro. Hingga kini ia konsisten dengan perjalanan kesenimannya. Bahkan ia memperdalam belajar musik terus-menerus.


Veronica Colondam, kepeduliannya pada pencegahan Narkoba (dadah dalam bahasa Melayu) menyebabkan ia mendirikan Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB). Ia merangkul berbagai kalangan dalam kepeduliannya ini. Ia berhasil. Padahal saat ikut pemilihan FFF Vero lagi hamil besar. Ia membawa begitu banyak baju saat pemotretan awal kami di Cosmopolitan. Meski demikian sebagai ibu muda ia sangat menyerlah jelita saat hamil tua. Dan segera langsing dan menawan dalam pemotretan kali ini.


Senang sekali ketika mendapat kesempatan mengikuti ajang ini adalah aku bisa banyak belajar dari mereka semua. Tak hanya pada Vero, Maylaf dan Yuni tetapi semua kawan-kawan FFF pada saat itu. Mereka semua hebat, menyenangkan dan member warna dalam hidupku.

Di ajang ini juga aku bertemu dengan Reda Gaudiarmo, Rugun Sibarani, dan lain-lain.







Sabtu, 21 November 2009

MEMORABILIA WEKA GUNAWAN




ENJOY JAKARTA! (Bagian 1)

ENJOY JAKARTA!


(bagian 1)

Oleh: Weka Gunawan,

Family Health Faculty of Medicine

National University of Malaysia (UKM)



Menyusuri Jakarta adalah melihat kembali perjalanan awal hidupku di Jakarta. Berawal meninggalkan ‘zona kenyamanan’ku di Surabaya. Aku mengikuti suami mendatangi Jakarta pada bulan Agustus 1993. Masa awal itu ada seorang tua yang mengijinkan kami berdua tinggal di sebuah rumah mungil tetapi yang dikelilingi kebun seluas 6000m2 di daerah Condet Jakarta Timur. Almarhum bapak Harsono yang berbaik hati pada kami.

Saat itu belanja 5000 rupiah saja, sudah bisa membeli banyak keperluan hidup: gula, udang, sayuran, teh dan beras. Sementara gaji sudah mencapai 875.000 rupiah plus uang makan dan lain-lain bisa mencapai satu juta rupiah.

Menyenangkan sekali setiap pagi sebelum berangkat ke kampus untuk aku dan suamiku ke kantor, kami masih sempat berolah-raga. Aku memutuskan mengikuti program pasca sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Indonesia. Nyaris setiap pagi menyusuri gang-gang kecil untuk mencapai pasar Kramat Jati. Saat itu pasar Kramat Jati hingga Cililitan sudah luar biasa macet karena para penjual tidak hanya memakai trotoar atau bahu jalan tetapi menyisakan hanya sedikit saja untuk satu mobil lewat. Sarapan kami adalah nasi uduk hangat yang dibungkus mungil berisikan telur utuh dan tahu. Saat itu harganya hanya 500 rupiah. Aduh, nasi uduk luar biasa sedap hingga nasi uduk Kebon Kacang yang sering dipromosikan orang itu tak ada apa-apanya. Sayangnya karena gang-gangnya itu berliku-liku, aku lupa untuk mencapainya lagi ke sana.

Pada tahun 1994 kami pindah ke perumahan Sawangan Permai di daerah Sawangan Kabupaten Bogor. Saat itu, aku telah bekerja di Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), dan ternyata mencapai kantor dari rumah, aku harus menempuh perjalanan sebelum subuh! Kami melaksanakan salat subuh di mesjid di tepi jalan, sehingga bisa mencapai kantor RCTI di Kebon Jeruk Jakarta Barat, tepat pukul 07.30 pagi! Ketika itu macet sudah semacam hantu mangkal yang harus diwaspadai. Titik-titik macet yang harus kami lewati adalah pasar Ciputat, jalan Panjang ketika itu belum jadi, jadi harus berputar-putar di daerah Kebayoran Lama, dan macetnya luar biasa. Seringkali, aku sering kebelet kencing dan meninggalkan mobil menuju kedai pompa bensin. Yang lucu, sampai aku selesai pipis, macet itu tidak juga terurai.

Setelah itu pada Juli 2000, aku ikut berpartisipasi membangun stasiun televisi baru. Dulu sebelum aku resmi bergabung, stasiun televisi belum bernama jelas dan kami pegawainya masih tertulis sebagai pegawai Para Group. Awalnya nama yang diusulkan Mega TV karena saat itu pemiliknya mempunyai BANK MEGA. Namun saat itu nama itu ditolak, karena berasosiasi dengan nama salah satu kandidat presiden kala itu. Malas sekali rasanya jika pendirian sebuah TV berkaitan dengan nama tokoh politik. Saat itu sudah mulai terdengar Abdul Latif (menteri di Orde baru) mau mendirikan LAtivi. Chairul Tandjung TV juga tak diterima sebab tidak mereflesikan kebersamaan dalam membangunnya. CT sendiri yang menolak namanya menjadi nama stasiun TVnya. Sehingga, karena masa reformasi masih sangat terasa, maka disetujui nama PT.Transformasi Indonesia. Chairul Tandjung memang mewujudkan mimpi besarnya melalui usaha media ini. Sekarang pak CT ( demikian kami biasa memanggil) sudah kemana-mana dengan pesawat jet pribadinya. Pada tahun 2000 itu, pak CT hanya naik Kijang biasa berwarna coklat metalik. Arlojinya pun bukan Rolex tetapi merek ALBA. Bagaimanapun gaya hidupnya mempengaruhi cara aku memaknai hidup. Meski aku tak sekaya CT, tetapi hingga sekarang aku mensyukuri kehidupan sederhanaku. Televisi sebuah tempat mengekspresikan diri buatku, sejak usia 18 tahun, aku telah menjadi bagiannya. Dari 500 pelamar hanya 5 orang (termasuk aku) yang berhasil lolos dan proses recruitment memakai sistem gugur itu.

Dan usia 19 tahun, aku bertemu pak Ishadi S.K di TVRI Surabaya. Tak dinyana orang tua ini akhirnya menjadi Bos-ku kembali di Trans TV. Aku salah seorang penyiar di TVRI Surabaya. Aku siaran sambil kuliah. Sebentar…eit, aku melantur jadinya. Aku ingin mengisahkan tentang Jakarta bukan TV atau diriku!

Nah, bertandang ke Jakarta pada tahun 2009. Setelah aku lebih banyak bermukim di Kuala Lumpur sejak Agustus tahun 2006. Maka, Jakarta lumayan terasa perbaikan. Di beberapa ruas jalan yang dulu banyak bertebaran penjual kaki-lima sekarang sudah tidak ada lagi. Trotoar mulai bisa difungsikan sebagaimana seharusnya. Pasar Kebayoran Lama yang dulu sumpek sekali di ujung jalan raya Cileduk sekarang sudah lebih lega dilewati. Dulu, macet sekali di titik itu.

Aku juga melihat Fauzi Bowo agaknya berusaha sungguh-sungguh untuk membenahi Jakarta. Rumah-rumah non permanen di bantaran kali Ciliwung dirubuhkan. Pengambilan keputusan memang perlu pengorbanan. Sedu sedan, isak tangis penghuni rumah-rumah liar itu memang menyisakan gurat sakit di ulu hati. Tetapi rasa sakit ini terpaksa dipilih demi kepentingan yang lebih besar: menghindari banjir, mengurangi penularan penyakit, mencegah berjangkitnya penyakit-penyakit infeksi karena penduduk padat dan hidup berdesakan di kawasan yang buruk sanitasinya. Udara yang kotor karena barbagai macam gas yang terbentuk sebagai buangan aktifitasnya penduduknya.

Melintasi kawasan Jalan Deplu menuju Bintaro juga terlihat sungai yang (sering meluap jika hujan di kawasan Bogor) mulai tampak lancar mengalir.

Yang aneh kawasan Bintaro tidak seperti di iklan-iklannya, mulai padat. Rumah-rumah mulai sektor satu sampai sembilan penuh jadi toko, rumah makan, Café, salon, bengkel cuci mobil yang benar-benar menjadi area yang kurang menyenangkan untuk tinggal. Padahal, harga-harga rumah baru di kawasan ini dengan luas hanya 300m2 mencapai milyaran rupiah. (Kata orang: edan, biar semahal itu, rumah mungil itu ada yang beli lho). Tidak heran harga-harga rumah di Jakarta jauh lebih mahal bahkan dibanding Singapura dan Kuala Lumpur. Meski mahal, tinggal di kawasan Jakarta sudah sumpek berdirinya rumah makan, distro di kawasan Kemang, Fatmawati, Pondok Indah, Bintaro sungguh menjengkelkan. Rumah-rumah tinggal yang dulu asri itu sekarang riuh dengan mobil parker. Tak heran, para penghuni yang tadinya tak berniat menjual rumahnya yang terletak di pinggir jalan, jadi tidak merasa nyaman lagi tinggal disana. Rasanya Menteri Negara Perumahan perlu menindak Pengembang-pengembang yang banyak bohongnya di brosur-brosur perumahan yang dijualnya. Para pembeli awal menjadi rugi besar, padahal mereka dulu membeli karena suasana yang masih sunyi dan tenang. Dulu, Bintaro banyak dan luas kawasan hijaunya sekarang Perumahan yang pernah jadi Master piecenya Ciputra itu bagai sebuah kota yang sumpek. Macet, angkutan kota lalu lalang dan jumlahnya makin meningkat menimbulkan polusi. Apalagi di sektor 5 kalau hujan banjirnya hingga selutut! Juga dengan seenaknya pedagang-pedagang kaki lima masih ada yang menduduki trotoar, meski sudah disediakan Sektor 9 Walk di Bintaro sektor 9. AKu sungguh berharap pengembang Bintaro menghentikan didirikan rumah-rumah lagi, apalagi di kawasan serapan. Juga pengembang lainnya yang sering menempel di Bintaro Jaya. Cukup. Rumah hanya dengan 3 kamar mandi, satu kamar pembantu saja harganya sudah sangat mahal tapi hidup di kawasan yang udaranya tak lagi segar.

Juga, aku berharap jika kembali ke Jakarta lagi kelak. Kawasan taman-taman semakin ditingkatkan. Mengapa? Karena itu adalah investasi menabung udara segar, menabung air tawar yang baik dan juga memperindah kota dan membahagiakan penduduknya. Penduduk yang bahagia akan sehat dengan serta-merta.

Semoga kemacetan karena angkutan umum yang dengan seenaknya berhenti, ngetem menunggu penumpang ditindak tegas. Atau kurangi angkutan kota. Tidak mengapa menunggu. Waktu di London, saya suka menunggu Bas untuk pulang ke rumah di Catford. Kondekturnya seorang nyonya usia 60-an, ia akan menolak kami masuk jika dirasanya penumpang yang berdiri sudah lebih dari 4 orang. “Just wait the next bus please. No more standing..” katanya. Ah, kapan Jakarta seteratur London? Atau paling tidak seteratur Kuala Lumpur? Aku optimis jika Fauzi Bowo berani mengambil banyak langkah-langkah drastik maka hal itu akan terwujud tidak lama lagi. Semoga.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Jumat, 20 November 2009

DEMAM BERDARAH-DARAH

DEMAM BERDARAH-DARAH
oleh: Weka Gunawan (Family Health, Faculty of Medicine University Kebangsaan Malaysia)

(masih perlu dibaca!)

Tingkat kematian (case fatality rate) demam berdarah dengue (DBD) telah mencapai satu persen. Itu artinya, dalam 100 kasus demam berdarah ada satu orang meninggal dunia karenanya. Itu sebuah angka yang luar biasa! Kematian akibat DBD terjadi di mana-mana, bahkan di daerah yang pendapatan per kapita lokalnya lebih besar daripada daerah lain di Indonesia Timur.

DKI Jakarta yang kota metropolis jumlah penderita DBD sudah mencapai 2.518 orang. Itu tidak hanya menyerang masyarakat bawah, tetapi juga kelompok sosial di atasnya, contohnya artis Angel Ibrahim dan anak-anak sutradara film kenamaan Garin Nugroho. Belum lagi di beberapa daerah yang lain.

Kasus ini mendadak membuat semua orang di kalangan Dinas dan Departemen Kesehatan blingsatan. Belum lagi usai diwawancarai kanan-kiri, disibukkan dengan rapat-rapat yang tiada berujung tentang aviant influenza atau flu burung, Dirjen Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Umar Fachmi Achmadi kembali lagi jumpa pers dan “meneriakkan” ke semua jajaran kesehatan baik di tingkat puskesmas, rumah sakit maupun klinik-klinik swasta untuk bertindak cepat pada penderita yang datang dengan gejala demam tinggi, terutama untuk anak-anak diminta, segera memberikan infuse untuk mencegah renjatan.

Tak ayal Menteri Kesehatan Achmad Sujudi juga menyatakan bahwa kini demam berdarah telah menjadi kejadian luar biasa nasional yang memerlukan kesiagaan dan kesigapan semua pihak. Warga diminta tidak memandang remeh gejala demam panas dan menganggapnya cukup diberi obat penurun panas.

Warga diminta segera berobat ke tempat pelayanan kesehatan terdekat untuk memeriksakan diri dan menjalani pengobatan. Klinik dan rumah sakit wajib menangani masyarakat tanpa pengecualian! Meskipun imbauan ini seringkali terganjal dilapangan. Banyak warga yang tidak tertangani hanya karena tidak mampu membayar biaya perawatan dan obat-obatan.

Mitos virus dengue

Setiap kali wartawan mewawancarai kalangan kesehatan (sebelum kejadian luar biasa ini terjadi) apakah itu pejabat di pusat, daerah atau Kepala puskesmas tentang demam berdarah, selalu jawaban klasik yang dinyatakan yakni, “Ah biasa, ini siklus lima tahunan” atau “ Ah biasa, ini penyakit menjelang musim hujan, nyamuk-nyamuk serentak menetaskan telur-telurnya” atau “ Kita sudah siapkan program pengasapan dan pemberian bubuk abate (pembasmi jentik-jentik nyamuk) ke masyarakat, terutama di daerah-daerah endemic” atau “Ini sudah umum kami alami. Januari hingga Maret memang banyak sekali kasus DBD dan nanti April pasti sudah habis!”

Penanganan rutin dan merasa (berilusi) sudah melakukan segalanya untuk menangani demam berdarah menempel lekat di kepala para pelayan kesehatan publik itu. Jika itu jawaban dan tindakannya, maafkan saya harus mengatakan, inilah hasilnya akibat dari semua jawaban itu selama bertahun-tahun. Jika jawaban itu yang masih ada di kepala para pelayan kesehatan public, maka jangan heran jika sikluis lima tahunan menjadi tiga tahunan atau bahkan menjadi stau tahun. Bahkan kita akan mengalami kejadian luar biasa dengan jumlah penderita yang lebih besar lagi suatu saat jika pendekatan yang dilakukan masih tetap sama.

Pemanasan global

Virus dengue penyebab penyakit DBD ini adalah jenis arbovirus (arthropod-borne viruses) karena ia ditularkan oleh arthropoda yang kita kenal dengan nyamuk aedes aegypti. Badan Kesehatan Dunia bahkan menyebut DBD sebagai penyakit infeksi baru. Populasi yang terkena DBD, ketika WHO canangkan ini pada 1996, telah mencapai dua per lima dari jumlah penduduk bumi atau sekitar 2.500 juta orang dengan 95 persen menyerang anak-anak.

Pemanasan global yang terus terjadi akibat mencairnya es di kedua kutub di bumi ini menjadikan suhu lebih panas dan kelembaban tinggi yang mengakibatkan faktor inkubasi ekstrinsik (siklus dari telur menjadi larva kemudian menjadi nhyamuk) lebih cepat sehingga nyamuk-nyamuk ini dewasa dengan cepat meningkat populasinya. Nyamuk-nyamuk dewasa ini siap menularkan virus yang dibawanya ke mana saja tanpa pandang bulu.

Pemanasan global ini pun berpengaruh pada virus yang ada di dalam tubuh nyamuk yang turut mengalami mutasi, beradaptasi dengan lingkungannya. Seingat saya, dulu di awal 1990-an Pratiwi Sudharmono dan kawan-kawan telah berupaya membuat vaksin dengue ini. Kini penelitian itu entah telah sampai di mana. Namun, jika masih berlangsungalangkah bagusnya jika warga masyarakat juga tahu tentang kemungkinan ini: vaksinasi dengue untuk daerah-daerah endemic.

Suhu udara yang hangat, kelembaban nisbi dan tersedianya cukup air menyebabkan nyamuk-nyamuk mampu berkembang biak dengan mudah dan cepat. Maka, jangan heran di daerah-daerah dingin seperti subtropis penyakit demam berdarah juga menjangkiti penduduknya akibat pemanasan global. Nyamuk-nyamuk ini bermigrasi ke sana.

Bekerja samalah

Agaknya, model mental bahwa kesehatan hanya dibicarakan oleh orang kesehatan saja harus mulai berubah. Kesehatan adalah masalah kita semua. Menjadi sehat adalah keinginan kita semua tanpa kecuali. Maka, melihat ilustrasi yang saya kemukakan sebelumnya temntang aspek lingkungan dalam penyebaran vektor nyamuk ini, rasanya kita kini perlu mengikutsertakan semua pihak, tidak hanya di jajaran Departemen Kesehatan, misalnya dengan Dinas Meteorologi yang mampu mengamati perubahan suhu lingkungan, curah hujan, kelembaban atau perubahan alam lainnya.

Mungkin perlu juga diperhatikan hal-hal seperti bagaimana perhitungan ekologi lanskap, temperature optimal perkembang biakan vektor, demografi penduduk, migrasi penduduk, reservoir alami dan lainnya, untuk mengantisipasi perubahan karakter penyakit-penyakit tertentu. Karena ini penyakit global, rasanya kita perlu terus menginvestasikan waktu dan energy untuk bekerja sama tentang masalah penyakit arbovirus ini dengan negara-negara lain.

Sebagai orang yang berkecimpung di bidang kesehatan masyarakat maka kita tidak bertindak dan berbicara hanya ketika sebuah penyakit sudah menyerang tetapi bagaimana mencegah dan mengoptimalkan tubuh kita agar tidak terserang penyakit. Saya mengingatkan bahwa tantangan kita ke depan amat sangat banyak untuk masalah penyakit-penyakit infeksi ini.

Selain kita disibukkan dengan penyakit-penyakit batu HIV/AIDS, SARS, dan flu burung, maka yang belum juga usai kita tuntaskan adalah malaria, tuberculosis (TB), serta meski sudah ada Pekan Imunisasi Nasional yang begitu kita banggakan karena cakupannya yang luas-campak dan polio.Sekali lagi, jika nyamuk dan virus saja begitu fleksibelnya dengan perubahan di planet bumi ini, apakah kita manusia tidak mau juga berubah dan tetap punya model mental yang sama dari tahun ke tahun?

Investasikan waktu dan energi bukan ketika media memberitakannya atau tersinggung ketika media mengkritik, tetapi kini kita harus bergerak cepat untuk mengantisipasi dan tidak hanya dengan kalangan kesehatan saja. Kejadian luar biasa kali ini memang menyentak kita semua, namun kelak ketika media tidak lagi memberitakan ini semoga ini tetap menjadi agenda sungguh-sungguh, tidak hanya DBD, untuk menuju Indonesia Sehat 2020.

C.S.P. Wekadigunawan


Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat


Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta


Dimuat di Koran Tempo, Jumat 20 Februari 2004, halaman B7







Senin, 16 November 2009

My Baby Born!





My third baby Farren Hassan, Born in Kuala Lumpur March 9, 2009. Ya ALLAH, bless him always. Ameen.

My friends visited us in hospital Universiti Kebangsaan Malaysia (HUKM), actually, the hospital is my campuss aswell :-)) In this photo, there are: Farah, Farel, Dr.Nor Afiah, Dr.Zohreh, Dr.Firdawati, Dr.Mahin Gifari, Dr.Lily, Sukriya and Aisyah..and of course the baby born inside the box..:-))


Sabtu, 14 November 2009

WEKA GUNAWAN is preparing a new book

Biografi penulis Merpati di Trafalgar Square & Keren tanpa NARKOBA


Picture Courtessy: KORAN TEMPO

Weka Gunawan mempunyai nama lengkap Çri Sajjana Prajna Wêkādigunawan. Lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Setelah genap empat tahun memimpin Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas INDONUSA Esa Unggul Jakarta sejak tahun 2002 hingga Juli 2006, ia memutuskan untuk bersekolah kembali untuk meraih gelar PhD di Fakultas Kedokteran Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) di Kuala Lumpur Malaysia. Bidang yang diambilnya adalah Kesehatan Keluarga. Weka Gunawan mempunyai kepedulian yang besar pada situasi kesehatan di Indonesia. Ia bercita-cita untuk membuat buku yang populer tentang kesehatan. Bukunya KEREN TANPA NARKOBA (diterbitkan Grasindo Juli 2006) mencatat penjualan lebih dari 50 ribu kopi di seluruh Indonesia hingga bulan Juli 2007.

Buat Weka, jika berhasil mendorong perilaku sehat melalui buku-bukunya sudah merupakan kebahagiaan buatnya.

Weka Gunawan pernah menjadi pembicara di Temu Ilmiah I Himpunan Obstetri Ginekologi Indonesia (HOGSI) di Malang Jawa Timur tahun 2008, 2nd International Conference on Reproductive Health Management (ICRHM) di Bali tahun 2008, 42nd Annual Meeting BSA Medical Sociology di University of Sussex, Brighton, United Kingdom tahun 2008 dan 40th APACPH Annual Conference di Kuala Lumpur Malaysia tahun 2008. Ia juga pernah memperoleh predikat Fun, Fearless and Female dari Majalah wanita Cosmopolitan pada tahun 2001. Juga memperoleh award dari Bill and Melinda Gates Foundation untuk mengikuti Strategic Leadership in Reproductive Health Course yang diselenggarakan John Hopkins University USA pada tahun 2000 dan 2001.

Ini adalah buku Kumpulan Cerpennya yang kedua setelah Merpati di Trafalgar Square (Grasndo,September 2004) buku ini pun telah cetak ulang.

Weka pernah Wakil Sekjen Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI). Jabatan ini telah disandangnya dua kali yakni pada tahun 1996-2004 dan tahun 2004 sampai 2006. Ia konsisten dalam perannya sebagai Health Promoter sejak tahun 1991, dimanapun ia bekerja. Pernah di laboratorium genetik RS Dr Soetomo Surabaya, dosen di Bagian Anatomi dan Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, penyiar di TVRI Surabaya juga reporter kesehatan dan Koordinator Peliputan bidang IPTEK dan Kesehatan di RCTI dan Executive News Producer di Trans TV. Menjadi dosen di mata kuliah Komunikasi Kesehatan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia juga untuk mata kuliah System Thinking dan Learning Organization di program pasca sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit (KARS) Universitas Indonesia. Juga menjadi pengajar tamu di beberapa institusi pendidikan seperti di Akademi Gizi Hang Jebat Jakarta Selatan dan Akademi Gizi di Mataram Lombok Nusa Tenggara Barat.

Televisi memang media yang mengasahnya menjadi mandiri dan banyak pengalaman baik di seluruh daerah di Indonesia maupun di luar negara. Sejak di TVRI Surabaya saat menjadi mahasiswa di Universitas Airlangga, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang juga membuatnya menjadi Reporter Istana  yang telah memperoleh kartu hijau (kala itu susah sekali untuk menjadi reporter istana), ia ikut menyertai beberapa perjalanan Kepala Negara ke luar negara. Weka Gunawan juga presenter, pembaca berita untuk Nuansa Pagi dan Seputar Indonesia dan kemudian Trans Corp (cikal bakal Trans TV dan Trans 7) mengajarkannya bagaimana membuat sebuah stasiun televisi!

Merpati di Trafalgar Square
Grasindo 2004

Comments at back cover

Terimakasih banyak pada bang Ashadi Siregar (motivator penulisan buku ini), pak Taufik Ismail yang berkenan memberikan apresiasinya pada buku pemula ini, pak Ishadi S.K (President Direktur Trans Corp) yang senantiasa mendukung penulis dimanapun berada, mas Arswendo Atmowiloto yang dengan gaya lugasnya memotivasi saya untuk terus menulis, mbak Dana Iswara, kakak sekaligus teman yang enak diajak bicara, juga temanku yang jelita Sandrina Malakiano, meski saat itu sangat sibuk, beliau meluangkan waktu untukku. 

Tentu saja karena Tuhanlah semua ini terjadi. Terimakasih Ya ALLAH.


Selasa, 10 November 2009

PESONA MENCIPTA by Dr. Weka Gunawan

Pesona Mencipta
By. Dr.Weka Gunawan,
Family Health, Faculty of Medicine National University of Malaysia

Saya baru saja mendapatkan majalah Pesona dari seorang kawan dekat. Ada tiga buah tulisan dalam majalah itu menarik perhatian saya, yakni: ‘Aku ada maka aku mencipta’ oleh Debra H Yatim, Bumi yang gelisah oleh Karlina Supelli dan Aku belajar berenang di usia 37 tahun! Oleh Eliza Jane Ardaneshwari.

Ya, sebagai wartawan RCTI dan Trans TV di suatu masa, saya tahu Debra H Yatim dan Karlina Supelli. Terakhir berjumpa Debra di sebuah acara di Trans TV beberapa tahun silam dan Karlina Supelli dulu masuk program kami Buletin Siang di RCTI dan memimpin Gerakan Ibu di Bunderan HI dan kemudian ditangkap aparat. Saat itu gonjang-ganjing reformasi.
Debra berkisah ia menemukan sebuah buku hasta karya dengan tokoh di dalam buku itu bernama Lola. Menariknya buku itu ditujukan untuk anak usia 7 – 10 tahun. Debra setiap hari asyik mengisi buku itu.

Membaca tulisan Debra ini mengingatkan kita semua, bahwa kalau kita berbuat sesuatu maka sangatlah menyenangkan jika tidak terbebani apapun. Kita tak perlu mengharapkan hasil akhirnya seperti apa kala melakukan proses mencipta. Merangsang daya cipta adalah dengan berbuat, dan Allah Sang Khalik menciptakan kita semua memang untuk mencipta (apapun itu) sebagai syarat menjadi Khalifah di bumi yang indah ini. Betapa banyak proses penciptaan menghasilkan kejutan-kejutan menarik: penemuan listrik, menghasilkan penicillin, dan semacamnya. Proses, proses, proses, itu mengundang keasyikkan dan seperti kata Debra, Tuhan pun mungkin tersenyum melihatnya. Ketika kita fokus pada hasil akhir maka kita seringkali malas memulai sesuatu: “Malas ah, mending beli saja”, “Malas ah, repot, buat apa kalau tidak menghasilkan uang? Buang waktu saja!”. Fokus pada tujuan akhir juga membuat kita tidak menikmati proses, “Kapan ini berakhir?”dan keluhan lain. Sehingga hasil yang didapat dari sebuah proses yang penuh keluh kesah adalah jelek belaka.

Karlina yang Doktor filsafat menulis: Gempa bumi adalah peristiwa alam sebagaimana angin, hujan. Sia-sia menuntut Bumi mematuhi hokum manusia. Manusia seharusnyalah memahami bagaimana alam bekerja dan patuh pada kaidahnya. Mengutip Rosseau yang berkomentar saat Voltaire meraung dan menyalahkan alam saat bencana di Lisbon: “Bukan alam yang membangun 26 ribu rumah bertingkat-tingkat. Keputusan manusialah yang mengubah peristiwa-peristiwa alam menjadi malapetaka yang mengerikan.

Yang ketiga adalah tulisan Eliza Jane, tulisannya menarik. Mengapa? Ia menginspirasi saya yang sudah uzur ini untuk belajar berenang. Terus-terang saya bisa berenang tetapi sungguh aneh saya tidak pernah bisa mengambil nafas di kala berenang. Nyaris setiap petang, di kolam renang apartment kami di Cemara di Kajang Selangor, saya berenang dengan anak-anak saya. Saya bisa membenamkan muka ke dalam air dan berenang hingga ke tepi kolam lainnya yang sekitar 20 meter bolak-balik tapi tanpa mendongakkan kepala. Ya, saya selalu takut karena saat mengambil nafas badan saya langsung melorot ke dalam air alias tenggelam! Maka, meski usia saya sudah tidak muda lagi saya merasa tertantang dengan tulisan Eliza ini untuk les berenang lagi.

Ketiga tulisan itu bermuara sama yakni manusia adalah pengambil keputusan pada apa yang ingin dialaminya. Allah SWT memberikan begitu banyak pilihan, mengaruniai kita: waktu, akal, energi dan kreatifitas untuk menentukan kebahagiaan kita. Seseorang pernah mengingatkan tentang ‘Personal Mastery”. Ia mengatakan sungguh penting menghargai dan berjuang untuk ‘non material resources’ seperti waktu, energi, ilmu pengetahuan, kreatifitas, relijiusitas, kejujuran, kesehatan. Dengan itu semua ternyata mudah mencapai kebahagiaan dan kekayaan. Percaya atau tidak?

Saya percaya, mengapa? Karena saya bahagia bisa menulis ini,bersyukur pada Allah SWT dikaruniai memanfaatkan waktu kala menanti seseorang datang. Maka, saya mencipta maka saya ada.

November 10, 2009. Hari Pahlawan (Ingat di Surabaya pasti seru dengan melek-an di Karang Taruna)

Selasa, 20 Oktober 2009

TUHAN MARAH....!

Tuhan marah..
Oleh: Dr.Weka Gunawan
(Family Health, Faculty of Medicine National University of Malaysia)

Nyaris setiap hari aku mendapatkan siraman rohani di kampus. Tersebutlah Encik Rizam dan Encik Abdul Karim yang senantiasa meng-update isu-isu sosial dan mengkaitkannya dengan ayat-ayat Qur’an. Mereka mendown-load isu-isu itu melalui internet. Internet memang memungkinkan orang-orang mendapatkan banyak sekali informasi.
Menyitir sebuah ayat Qur’an yang bermaksud,” ..dan mereka melakukan segala apa yang buruk, tetapi karena terbiasanya mereka menganggapnya seolah-olah baik..”. Encik Abdul Karim mengatakan, “Tengok, macam rasuah (korupsi) sekarang kerana biasa maka ramai orang tak sedar menganggapnya baik. Kitalah kena pandai-pandai menafsirkan ayat Qur’an ini”. Sazman dan Azran yang masih belia selalunya tertarik dengan petuah-petuah itu. Saya karena seringkali harus fokus ke pekerjaan jadi mendengar saja, sekali-sekala.
Saya baru saja memeriksakan kondisi mobil saya di Puspakom. Puspakom semacam pengecekan nomor chasis rangka mobil sesuaikah dengan surat kepemilikan dan sesuaikah dengan keadaan yang diwajibkan oleh pemerintah misalnya: tidak boleh melapis dengan kaca film gelap. Di situ tertulis dan terpampang seruan dilarang rasuah dan ancaman hukuman bagi pemberi dan penerima. Terpampang pula berapa lama setiap mobil bakal dilayani yakni: 60 menit saja. Saya takjub mulai mengisi formulir dan membayar RM.30 di kaunter pembayaran hingga mobil telah siap untuk saya bawa kembali, hanya memerlukan waktu kurang dari 30 menit! Pemeriksaan di Puspakom ini diperlukan untuk balik nama di kantor JPJ.
Rasuah yang mana yang En.Karim khawatirkan? Saya mengurus sertifikat lahir anak saya di Putra Jaya kurang dari 2 jam dan tidak membayar se-senpun! Juga saat mengurus perpanjangan visa pelajar dan semua urusan di Malaysia bersih dari harus menyuap petugas. Semua pembayaran di kaunter dan mendapatkan tanda terima (kuitansi). Waktunya pun tidak memakan berhari-hari dan datang berkali-kali. Encik Karim berkata di tingkat politik. Menurut beliau sesetengah Ulama bisa dibayar untuk menfatwakan sesuatu demi kekuasaan politik. Juga berkompromi dengan hal-hal yang sesungguhnya dilarang oleh agama Islam. Juga ahli-ahli politik ada yang mengamalkan penyuapan demi berebut kekuasaan. “Tuhan boleh marah..” katanya. “Mereka menggadaikan nasib rakyat”
Ribuan orang terdeteksi menderita influenza A H1N1 di Malaysia. Sekitar 100 orang telah meninggal karenanya. Tuhan memberi peringatanNYA, kata beliau.
En.Abdul Karim berasal dari Trengganu, sebuah daerah di Pantai Timur Semenanjung Malaya. Rambutnya mulai memutih, hidungnya mancung dan cara berbicaranya tegas. Tentulah suatu masa dahulu, tatkala muda, ia cukup tampan. Sosok En.Rizam lebih muda, dan lebih cair. Ia adalah generasi ke lima dari kakek-nenek buyutnya yang berasal dari Banjarmasin Kalimantan Selatan. Kalau ia lebih suka menunjukkan ayat-ayat di internet kepadaku.
Juga tentang gempa di Padang. Ia mengatakan Tuhan marah, sekelip mata 3 dusun tertimbun, padahal kononnya disana anak-anak tengah mengaji. Itulah, yang baik dan yang derhaka pun terpaksa menanggung kemarahan Tuhan. Saya diam, mengangguk. Kepiluan merasuki, semoga arwah-arwah mereka korban gempa di Padang itu, yang berpulang ke tempatMU Ya Allah, Engkau terima.
Di keheningan malam, saya sering mendapat s-m-s dari Ustadz Mohammad Djafnan Afandie. Beliau adalah ahli nuklir dari sebuah Universitas terkenal di Yogjakarta. Ia mengamini tentang sebuah Negara yang menzalimi rakyatnya sendiri. Yang tak betul adalah rakyatnya pun berdiam diri, menutup mata pada kezaliman yang mereka alami. Demikian pula Ulama-ulamanya yang hanya berpikir tentang ‘kebaikan di dunia’. Sehingga tidak berpihak pada rakyat.
Bayangkan sebuah Negara yang tidak melayani rakyatnya dengan bekalan listrik yang memadai, tetapi kala si rakyat ini lalai membayarnya (tertunggak) satu kali saja segeralah petugas PLN datang untuk memotong listrik di rumah tersebut. Itu tak pernah terjadi di Malaysia, demikian katanya. Ia pernah belajar di Jerman dan sekarang belajar lagi di Malaysia. Hukuman-hukuman ringan pada pelaku korupsi yang sungguh tidak ada keberpihakkan pada hati nurani rakyat. Triliunan uang habis untuk berebut kekuasaan tetapi tiba-tiba saja memotong uang pension seorang yang baru saja pension kononnya si orang tua itu belum menulis pernyataan masih hidup. Kejamnya. Letih, jika harus menyebut ribuan kejahatan yang telah dilakukan Negara secara sistematis pada rakyatnya.
Bencana sesungguhnya bisa ditolak. Allah telah menyebutnya dalam surah Yassin: “Innama amruhu izza arrada syaian an yaa quula lahuu kun faya kuun…” ALLAH bisa menolak bencana jika DIA mau. Maka seharusnyalah bencana-bencana ini menjadi amaran/peringatan yang keras dari ALLAH SWT untuk kita semua.
Saya tercenung diam…. Wallahu Alam bissawab..
Kuala Lumpur, 8 Oktober 2009.

Senin, 05 Oktober 2009

I HAVE PUBLISHED MY BOOKS!

I have published my books. First is a book of short stories, the title is Merpati di Trafalgar Square. My motivator to write down my experiences as a journalist and a doctor was Ashadi Siregar. He is a lecturer in UGM (University of Gajah Mada).

My second book's title is KEREN TANPA NARKOBA, I dedicated to all of Indonesia children to fight drugs. I pray to God, HE always guiding to do something useful for others.


COVER DEPAN



COVER BELAKANG

Komentar dari Yth. Bapak Taufik Ismail, bapak Ishadi S.K, mas Arswendo Atmowiloto, yang tercinta mbak Dana Iswara dan komentator yang sempat jadi ikon Metro TV, Sandrina Malakiano. Terimakasih.






Kamis, 01 Oktober 2009

Surabaya, My City

Surabaya, Suroboyoku
By: Weka Gunawan,
Kandidat Doktor bidang Kesehatan Keluarga
Fakultas Kedokteran Universitas Kebangsaan Malaysia.

Malam menjelang ketika kami memasuki Surabaya. Sebuah kota besar di ujung timur Pulau Jawa. Kota yang mempunyai nilai-nilai bersejarah, perjuangan membebaskan diri dari penjajahan baik itu dari Inggris, Belanda, Portugis dan Jepang. Kami mulai tersesat ketika keluar pintu Tol, berputar-putar di kawasan Rungkut Industri dan mencari-cari jalan yang ramai kendaraan. Baru saja maghrib, tetapi kawasan industri telah pun sepi. Saya dan suami berpandangan berapa lama kami tidak ke Surabaya? Ya, aku ada ke Surabaya pada tahun 2003 untuk menghadiri pengukuhan guru besar Prof.Kuntoro dalam bidang Biostatistik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Tapi itu hanya 3 hari. Tak sempat menyusuri Surabaya dengan menyetir sendiri. Ke Surabaya hanya sempat stop over perjalanan dari Jakarta ke Lombok atau pada saat mempresentasikan paper di Temu Ilmiah HOGSI (Himpunan Obstetri Ginekologi Sosial Indonesia) yang pertama di Malang. Saat itu berjumpa dengan kawan lamaku Santi Martini. Selain itu kami memang tidak tahu, Surabaya berkembang cukup pesat.

Esoknya, telah Idul Fitri. Pukul 4 lebih shubuh. Anakku Farah sudah kelabakan saat mendapati pukul 5 pagi di Surabaya, matahari telah pun naik. Kami akan sholat Eid, pukul 6 pagi! Masya Allah, sementara di Kuala Lumpur kami memulai salat Eid pukul 08.30! Bergegas menuju Masjid di kawasan Manyar berhampiran dengan tempat tinggal kami. Berbeda dengan di Kuala Lumpur yang hanya mesjid dan surau tertentu yang boleh menyelenggarakan shalat Ied, maka di Indonesia setiap surau dan komunitas boleh menyelenggarakan sehingga mudah bagi kami melaksanakan shalat Ied, tanpa takut terlambat.

Surabaya sekarang sangat asri. Kebon Bibit di depan pemukiman kami di Manyar Pumpungan telah menjadi sebuah taman bermain anak-anak. Ada kijang-kijang dan pepohonan besar-besar tampak dijaga utuh. Beberapa jenis bunga juga tampak memperindah taman itu. Yang membuat pemandangan tidak seasri taman-taman di Malaysia adalah adanya penjual-penjual kaki-lima, jika tidak segera ditertibkan aku khawatir taman yang indah itu akan tertutupi ‘rombong’ penjual kaki lima itu yang membuang sampah sembarang dan meninggalkan kesan kotor dan menjadi sarang penyakit.

Menyusuri Kali Mas di samping Surabaya Delta Plaza, ada muzium kapal selam. Bangganya kami menyaksikan kapal selam yang besar dan kokoh itu. Kali mas ini pernah berwarna merah karena darah saat Bung Tomo dan arek-arek Suorboyo mengusir Inggris yang membawa tentara-tentara Indianya (Gurkha) ke Surabaya dengan maksud kembali menjajah Indonesia. Tentara-tentara India (Tamil) itulah yang kemudian ditinggalkan Inggris di Semenanjung Malaya (West Malaysia sekarang) dan Singapura, dan anak cicit mereka terpaksa mendiami negara-negara itu hingga sekarang.
Taman-taman di pinggir sungai ternyata ada di kali yang kami temui. Taman-taman itu dilengkapi dengan permainan anak-anak, seperti ayunan, jungkat-jungkit, tampak warga menikmati suasana sore di sana. Taman-taman itu ada di pinggir Kali di daerah Genteng Kali dan juga Kali Dinoyo. Wah, hebat sekali walikota Surabaya dan jajarannya yang mampu membangun dan mengajak warganya untuk turut menjaga keasrian kota.

Promosi kawan-kawan kami tentang jembatan terpanjang Suramadu menggiurkan kami untuk mencobanya. Suramadu, adalah jembatan megah yang menghubungkan Pulau Jawa dan pulau Madura. Patutlah, di Surabaya sekarang lalu-lalang plat mobil M (asal Madura). Surabaya kini menjadi mudah untuk didatangi sehingga kaum muda Madura menjadikan Tunjungan Plaza dan sekitarnya destinasi malam minggu mereka. Saat kami memasuki kawasan Suramadu, ternyata tidak ada tempat untuk berfoto sebelum memasuki jembatan tersebut, kami langsung dihadapkan pada petugas Tol Suramadu dan kami pun membayar Rp.30.000,- Antusiasme kami dan anak-anak segera pupus saat di tengah jembatan dengan pilar-pilar merahnya itu tidak disediakan anjungan wisata untuk berfoto. Para polisi menjaga kedua-dua arah dan melarang kami untuk berhenti. Sampai ke ujung dan memasuki wilayah Kamal Madura, kami mendapati puluhan kaki-lima menjual minuman dan mie instan dan cendera mata Madura berupa pecut (untuk memecut Sapi kala Karapan Sapi) dan sabit (senjata orang Madura, yang digunakan oleh mereka untuk men’carok’ orang yang tidak disenanginya). Kawasan akhir itu tak tampak pohon yang akan ditumbuhkan. Mudah-mudahan kelak Bupati Madura membuat kawasan hijau di sana. Kami pun dengan rasa kecewa karena tidak bisa berfoto di bawah pilar-pilar merah yang megah itu, memasuki jalan Tol dari Madura menuju ke Surabaya dengan membayar Rp.30.000,- lagi. Seandainya bupati Madura kreatif membangun anjungan wisata untuk berfoto dengan batasan maka mereka akan mendapatkan PAD (Pendapatan asli daerah) dari turis yang hanya ingin berfoto di jembatan Suramadu.

Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, kami melintasi makam W.R Supratman, sayang kami hanya 4 hari di Surabaya. Sehingga makam pencipta lagu Indonesia Raya itu tak sempat kami singgahi. Lain waktu kelak Surabaya kami akan kembali dan kami ingin menceritakan keasrian Surabaya sebagai kota yang nyaman untuk ditinggali…

Harapan kami: pajak bumi dan bangunan tidak dikutip dari para pensiunan dan orang-orang yang tidak mampu yang masih memiliki lahan-lahan luas di dalam kota. Mereka menjaga keasrian rumah mereka dengan hati, tolong lah jangan diusir dari rumah mereka sendiri dengan mengutip pajak bumi dan bangunan yang makin lama makin mahal. Kasihani rakyat ya pak Walikota Surabaya dan aparatnya. Semoga Allah mengasihani engkau dan senantiasa memberikan hidayah kepadamu. Amin.

Catatan ringan,
Mudik 2009. URL:http://www.gunawanweka@blogspot.com

Rabu, 30 September 2009

When I see sadness......by:Weka Gunawan

Kemalangan yang kutemui…
Oleh: Weka Gunawan

600 orang mati dalam perjalanan mudik selama kurang dari 2 minggu di Indonesia. Mayoritas yang meninggal dunia itu adalah penumpang dan pengendara sepeda motor. Betapa mengenaskannya negara yang kaya raya ini. Betapa zalimnya kami yang lebih beruntung ini melihat dengan mata kepala sendiri kematian yang terus menerus di sekitar kami. Bukan saja karena bencana alam, dan ketidakmampuan kami mengelola korbannya.

Kami juga tahu betapa banyak kematian karena biaya-biaya rumah sakit yang mahal. Kami juga tahu Puskesmas yang seharusnya menjadi alat kemanusiaan dan mengayomi orang-orang yang tak mampu malah digenjot menjadi penghasil pendapatan asli daerah. Kematian dan kelaparan di sekitar kami. Sawah-sawah dan lahan-lahan hijau terus berganti atas nama pembangunan, berubah menjadi perumahan-perumahan yang luar biasa tak adil kepada pembelinya. Rumah terbanyak yang dibangun dengan disain indah itu selalunya hanya berkamar tidur satu buah dan berkamar mandi satu buah. Harganya? Selangit! Hanya untuk gengsi tinggal di sebuah perumahan orang-orang pun rela bersempit-sempit. Sehingga tetap saja tidak layak huni. Para petani gigit jari, karena lahan-lahan mereka dijual lebih dari 100 kali lipat dari harga awal ketika dibeli dari mereka. Mereka mengungsi ke Jakarta. Menjadi buruh ini dan itu demi sesuap nasi. Kota ibu negara yang makin berat mengurai kesumpekan di dalamnya.

Yahukimo kelaparan, sama persis seperti kematian karena kelaparan di Papua tahun 1997. Bedanya pada tahun 1997, masalah itu relatif teratasi. Kebakaran 750 rumah di Jakarta, tanpa kami tahu bagaimana menjelaskannya mengapa itu terjadi dan bagaimana kami dapat membantu meringankan korbannya. Kami sibuk memenuhi selera anak-anak kami, keluarga kami untuk menginap di hotel-hotel mewah sehingga mencecah RM.1000 per malam. Kemudian dengan mulut berbuih menceritakannya kepada sanak-kerabat melalui apa saja tak terkecuali e-mail, facebook dan lainnya bahwa kami telah pun menginap di hotel-hotel mewah itu sekelas dengan kaum jetset dan para petinggi negara. Kami telah sukses dalam kehidupan duniawi kami, kami kaya raya. Kami mendapat pujian. Kami senang mampu menerbitkan rasa iri hati pada orang-orang yang masih berusaha mencapai kemakmuran, orang-orang kelas menengah yang menganggap kesuksesan berarti uang (utang?) banyak.

Juga dengan menceritakan kemewahan masa mudik kami, nafsu kami mengharapkan penghormatan dari kawan , ayah dan ibu, sanak dan kerabat kami. Betapa malangnya pikiran-pikiran rendah itu merasuki kami…
Setiap orang di negara kaya ini bernafsu untuk memeras sesamanya. Musim perayaan, harga-harga hotel melejit naik, makanan-makanan di restoran ada istilah Harga Edisi Lebaran di sepanjang jalan mudik, harganya harga makanan di café-café di Jakarta. Bahan-bahan keperluan pokok diserahkan ke pasar, tak mampu dikawal, melejit naik. Harga-harga tiket Bus dan Kereta Api naik luar biasa sehingga mereka memilih naik sepeda motor dengan bayi, balita dan anak-anak mereka. Resikonya sudah jelas sejak awal mereka berangkat: rentannya kecelakaan, angin kencang yang tak ramah pada balita dan kematian karena sakit dan kemalangan. Toilet-toilet di SPBU dan perhentian lainnya meminta bayaran Rp.1000 per orang tetapi betapa buruknya fasilitas yang mereka dapatkan. Kamar mandi yang bau, kotor, tidak ada penerangan yang benderang dan air yang tidak deras mengalir. Mushola pun, tempat mereka menyembah Sang Khalik, karpetnya bau dan lantainya kotor. Tak ada niat bahwa membersihkan rumah sembahyang yang memberikan balasannya adalah Allah SWT. Dan Allah tidak tega membalas hanya dengan 1000 rupiah (RM0.30/ 30 sen). Tetapi manusia mengabaikan mukjizat, mereka mencari yang tampak: 1000 rupiah di tangan tanpa perlu bersusah payah, toh para pengunjung (yang seharusnya dilayani) tak pernah protes!

Toko-toko penjual oleh-oleh tidak mencantumkan harga. Setelah sampai di kasir barulah harganya mencengangkan mata. Kami gengsi untuk tidak membayar. Kami malu untuk cibiran sesaat para pelayan itu. Para pelayan pun bergaya ala bos (?), tanpa senyum dan berat mengucapkan terimakasih pada pengunjung. Wajah-wajah cantik di penyedia jasa pulsa seluler di sepanjang jalur mudik juga payah dalam berterimakasih. Wajah-wajah cantik itu kononnya dibayar 250 ribu perhari. Wajah-wajah cantik itu melotot dan mulutnya menganga (untung tidak sampai meneteskan liur) melihat tas-tas dan sepatu sebagian pengunjung yang mewah dan kulit mereka yang kinclong bukan karena make-up tetapi perawatan yang mahal setiap bulan. Tak heran mereka dengan gaya menggelikan mengibas-ngibaskan telepon seluler mereka bermerek black berry. Nafsu mereka mengarahkan bahwa kami akan kagum dengan blackberry itu? Betapa malangnya pikiran mereka.. Harga kebanggaan mereka cuma sampai di handphone. Sama dangkalnya pikiran kami dengan mereka.

Kami berada di dalam mobil kami yang nyaman dan lapang, hanya senang berucap,”Kasihan bayinya. Aduh, mengapa anaknya tidak diikat bersama dengan ayahnya yang mengendarai sepeda motor, supaya kalau mengantuk tidak jatuh? Aduh, mengapa sih nekat untuk tetap mudik padahal masih punya anak balita? dan lontaran kalimat senada” Kami tak mau tahu bahwa mereka memutuskan mudik dengan seribu satu alasan, dan kami tidak berhak menghakimi keputusan mereka. Bahkan kami seharusnya tidak boleh menertawakan alasan mereka mudik dengan situasi yang penuh resiko itu. Kami toh tidak mau berbuat apapun. Takut repot, membuang waktu, energi dan uang. Mereka kan orang lain bukan keluarga kami. Biar saja, tanggung sendiri.

Kami dengan tawa kami sepanjang jalan dan menyanyi-nyanyi:” Di sini senang, di sana senang”. Kami tak peduli bahwa kemalangan-kemalangan demi kemalangan akan terus berada di sekitar kami. Juga pada mudik lebaran tahun depan… tak cukup dengan 600 orang mati? Apakah kami akan merencanakan ribuan orang mati pada musim mudik tahun depan?

Ya Allah, tak heran kemalangan terus terjadi. Kami menzalimi sesama kami, terus-menerus dan dengan sadar…
Jakarta, 29 September 2009

(usai mudik menempuh perjalanan dari Jakarta – Yogja – Surabaya – Lamongan – Pekalongan – Jakarta)

Rabu, 02 September 2009

INDONESIA AND MALAYSIA RELATIONSHIP

Sempadan Republik Indonesia dan Malaysia
Oleh: Dr.Weka Gunawan, Family Health, Faculty of Medicine, National University of Malaysia

Sungguh, saya baru tahu bahwa Malaysia telah mempromosikan sebuah pulau di kepulauan Riau menjadi salah satu destinasi pelancongan negeri Selangor. Sebuah langkah-langkah yang mirip seperti yang pernah Malaysia lakukan saat mengakuisisi pulau Sipadan dan Ligitan. (Meski kononnya sebenarnya ini masih bisa digugat kembali karena rakyat Ligitan dan Sipadan mengatakan bahwa mereka sangat bangga dan mencintai tanah air mereka Indonesia. Pemilihan Umum kecil (jajak pendapat) di daerah itu ketika itu kononnya penuh kecurangan, rakyat lokal tidak memahami maksud jajak pendapat kala itu). Saya juga baru tahu bahwa hari-hari ini media di Indonesia penuh dengan pertanyaan-pertanyaan kepada Pemerintah apa langkah-langkah untuk menjaga kedaulatan Negara Republik Indonesia. Maklum di sini, di Malaysia, tak ramai rakyat yang mengetahui sepak terjang pemerintahnya. Tidak ada sedikitpun beritanya di televisi. Tetapi tentu saja orang-orang media di kantor mereka juga kasak-kusuk sendiri. Berita-berita di televisi adalah berita-berita yang diulang-ulang bahkan yang dua hari sebelumnya. Tidak menarik (ga seru). Tidak ada ‘update’ seperti yang kita buat di Indonesia. (Jadi terharu dulu rapat redaksi sampai lima kali sehari).

Media umum tidak ada sedikitpun menyinggung masalah yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia. Rakyat bahkan buta tentang peran Indonesia bagi kemajuan Malaysia. Rakyat tidak tahu bahwa kemajuan Indonesia-lah yang menginspirasi tokoh-tokoh politik dan alim-ulama Malaya pada jaman dahulu. Mereka misalnya tidak tahu bahwa Indonesia itu merdeka pada tahun 1945 dan nama Indonesia itu sudah berdengung dalam sumpah pemuda pada tahun 1928.(Kami rakyat Indonesia, bertanah air satu, tanah air Indonesia, kami rakyat Indonesia berbahasa satu, bahasa Indonesia, kami rakyat Indonesia berbangsa satu, bangsa Indonesia!). Sedangkan Malaya baru merdeka tahun 1957, mendapatkan nama Malaysia baru pada tahun 1963 ketika Sabah, Sarawak dan Singapura dipaksa bergabung. Lalu baru sadar: 1 Bangsa Malaysia, 1 Malaysia ya tahun 2009 ini. Jadi memang kurang asem ya kalau mereka sebut kita, “Indon”.

Ribuan orang Indonesia menyeberang lautan setiap tahun untuk mengais rejeki. Tidak hanya ke Malaysia tetapi juga ke Singapura, Hongkong, Timur Tengah dan bahkan ke Amerika dan Eropa. Sebenarnya ini tamparan keras untuk pemerintah Indonesia untuk segera berbenah diri. Rakyat Indonesia memang mudah untuk bicara di media apa saja, sesukanya. Tetapi apakah keluhan mereka segera ditangani? Jangan harap! Kecuali media memberitakannya besar-besaran barulah mendapat perhatian. Ribuan orang Indonesia kecewa dengan orang-orang yang seharusnya mengayomi rakyatnya. Saya mengalaminya, meski saya sudah bercerita dengan seorang wakil rakyat tentang masalah saya tak ada jawaban pun sampai sekarang. Mengapa? karena masalah saya masalah ‘ecek-ecek’. Tidak melibatkan misalnya uang triliunan rupiah. Tetapi di Malaysia, jangan heran kalau ada kedai yang menjual makanan terlalu mahal, es milo dijual mahal, rakyat cukup mengirim s-m-s dan tidak sampai sehari pemerintah negeri sudah memberikan tanggapan. Padahal itu cuma masalah uang beberapa sen. Ijin berniaga kedai tersebut bisa dihentikan. Korupsi benar telah mencapai 30% (Statistik Badan Integriti Nasional), dan pemerintah disini segera melakukan langkah-langkah. Semua hak rakyat memang diberikan, dan kalau ditanya ke rakyat biasa di Malaysia “Kami bertuah duduk kat sini.. bekalan air ditaja, bekalan listrik disubsidi, ayam daging dikawal harganya sehingga tidak naik di musim perayaan, gula tepung pun disubsidi…” Demikian pula harga obat-obatan betapa banyak obat yang masuk dalam harga kawalan Pemerintah. Sampai sedih hati saya mengingat rakyat-rakyat Indonesia yang mempertaruhkan nyawanya ke dukun-dukun anak-anak (ajaib?) hanya karena tidak bisa membayar biaya ke Puskesmas. (Pemda seharusnya tidak menjadikan Puskesmas sebagai sarana mendapatkan pendapatan daerah). Jika triliunan rupiah dengan suka cita dikeluarkan untuk merebut kekuasaan mengapakah menjadi berat jika itu untuk rakyat?

Banyak pelajaran yang seharusnya segera dilakukan aksi. Tidak hanya mengobarkan kebencian. Bagaimana menjaga hak adi luhung budaya, menjaga hak intelektual, menjaga orang-orang cerdas di negeri ini untuk mendapat kepercayaan sepenuhnya tanpa dibebani hal-hal yang tidak berkenaan, menjaga pulau-pulau dan rakyat yang mendiaminya. Memberantas korupsi dengan sungguh-sungguh. Berlaku adil seadil-adilnya di depan hukum. Taat dan takut pada Sang Khalik seperti yang sering para pemimpin ucapkan. Ada koherensi antara hati, ucapan dan yang dilaksanakan.
Dua hari lalu, di tayangan TV1 (RTM1) ada liputan tentang tentara Malaysia dan Indonesia melakukan penjagaan bersama di sempadan ke dua negara. Dalam tayangan itu saya melihat bahwa mereka berolah-raga bersama, main permainan local bersama bahkan berbuka puasa bersama. Terlihat rukun dan damai. Entah itu penggambaran diambil kapan tetapi seakan-akan itu terjadi pada ramadhan kali ini.

Saya ingat, ada orang bijaksana berpesan: Kita tidak bisa mengubah orang lain atau situasi, tetapi kita dapat mengubah cara pandang kita dalam menghadapi orang lain atau situasi tersebut. Saya kira makin cepat kita beraksi makin cepat masalah diatasi. Letih sudah berwacana, letih sudah dibakar rasa marah.

Salam damai (for world peace),
Weka Gunawan
URL:http/www.gunawanweka@blogspot.com
di Hospital Universiti Kebangsaan Malaysia

CONFUSING LANGUAGE

I can't hold myself to write about Indonesia and Malaysia, so I give you all 2 writings about that issue.

First title is Confusing Language and the second title is: SEMPADAN RI MALAYSIA AND INDONESIA (Indonesia and Malaysia relationship). So just enjoy the writings.

Keliru berbahasa
(Confusing Language)
Oleh: Dr.Weka Gunawan
(Family Health, Faculty of Medicine Universiti Kebangsaan Malaysia)

Apa yang menyenangkan saat menginjakkan kaki di bumi Malaysia? Bahasa! Ya Bahasanya terdengar unik. Jika mereka menjawab pertanyaan kita menggunakan bahasa Melayu (sekarang bahasa Malaysia) maka pada awalnya kita akan meminta mereka mengulangi kembali jawabannya saking cepatnya mereka berbicara. Sudah begitu malangnya bahasa Malaysia tidak baku dalam penggunaannya. Mulai dari Johor, Negeri Sembilan, Selangor sampai di ujung Semenanjung Malaysia yakni Kelantan bahasa Melayu yang digunakan jauh berbeda penggunaannya. Hal ini diperparah dengan gaya anak mudanya yang mencampur baurkan bahasanya dengan bahasa Inggris.

“I nak letak kereta dekat townhouse sana” “Regardless bangse cine ke, India ke, melayu ke, tak payah bising-bising…” “For God sake, Abang, jangan tuduh saye cam tu” dan sebagainya .

Tetapi, mereka memang menggunakan istilah Inggris untuk berbahasa. Juga ketika mengeja huruf: e bi si di ie ef ji dan seterusnya. Prof.Rossa, seorang guru besar di Universitas Indonesia pernah mengernyitkan kening dan tampak kurang senang saat ia bertanya, “Dimana ambil S-3nya?”, saya jawab, “Yu ke em” sungguh tidak bermaksud ‘gaya’ saya terpengaruh orang Malaysia yang demikian menyebut namanya Universitas Kebangsaan Malaysia tersebut. Sudut bibirnya pun menyungging senyum ke bawah. Mengejek. Saya tersadar.

Jadi bahasa Inggris di Melayukan seperti: epal untuk apple, stesen untuk station, berus untuk brush, selipar untuk slipper, dan lain sebagainya. Jangan heran jika makcik-makcik dan abang-abang di pasar-pasar dengan lancar berbicara,”Tak sure lah” “So, cam mane nak ape lagi?”

Kawan saya bu Elly, mengalami hal lucu saat sedang duduk di dalam Bus Rapid KL. Ia disapa oleh ibu-ibu yang lebih berumur,” Awak duduk kat mane?” Bu Elly dengan wajah polos menjawab,”Duduk dimana-mana saja, Mak Cik saya suka” Ibu-ibu itu segera memperlihatkan mimik wajah kurang suka pada Ibu Elly. Mengapa mereka tidak suka, belakangan kami baru tahu arti kata “duduk” yang berarti “tempat tinggal”. Ia menanyakan dimana rumah bu Elly , dan ia menganggap bu Elly wanita kurang baik karena suka tinggal dimana-mana tidak punya rumah tetap. Sementara bu Elly mengira ia bertanya soal tempat duduk di bus.

Seorang kawan lain mengalami salah paham soal bahasa ini. Indah, seorang mahasiswa tingkat ijazah mendapat telpon dari kawan Malaysianya,”Saye jemput ye pukul 8 dekat rumah ada majlis hari jadi saye”. Indah betul-betul menunggu dijemput pada pukul 8 malam itu. Sayangnya “menjemput” artinya adalah mengundang. Sehingga Indah memang harus gigit jari, semalaman kawannya tak muncul juga.

Coba baca pengumuman di poster yang dipasang di kampus:
Semua dijemput hadir ke bazaar Konvokesyen ke 37 UKM. Masuk adalah percuma. Di Indonesia, percuma bermakna ‘gratis’ atau ‘tidak membayar apapun’ sudah lama tidak kita gunakan. Kata ‘percuma’ sekarang bermakna ‘sia-sia’.

Tetapi jangan heran bahwa bahasa kita pun terasa lucu oleh beberapa kawan Malaysia. Zuhaya, sahabat dekat saya berkunjung ke rumah kami. Anak beliau Atiq yang berusia 10 tahun tersenyum saat melihat sinetron Indonesia yang diputar di TV. “Mak, kelakar sangat Zoo mereka cakap Kebun Binatang macam pokok tanaman lah” artinya: “Mak, lucu deh Zoo mereka bilang Kebun binatang. Binatang kok di kebun seperti tanaman saja”. Ketika saya mengajak bayi saya, “Ayo bobo” Norriah kawan saya mengatakan,”Tido ya kak Weka. Kelakar yer”

Saya melangkah menuju tempat parkir perumahan kami, seorang tetangga menyapa,”Nak kemane, Puan? Makan angin yer? Seronok makan angin kan musim cuti ni..” artinya: “Mau kemana Nyonya? Jalan-jalan ya? Asyik ya jalan-jalan musim libur ini”.

Bahasa Melayu identik dengan warga Melayu. Yang dimaksud Melayu di Malaysia bukan saja warga dari etnis Melayu (Sumatra dan Kalimantan: Banjar) tetapi juga dari etnis Jawa, Bugis, Madura. Etnis lainnya India dan Cina seringkali terdengar tak bagus dalam berbahasa Melayu. Mungkin untuk membuat etnis Cina dan India merasa memiliki bahasa itu maka sejak tahun 2007 dikatakan bahwa itu bahasa Malaysia (dengan slogan keranamu Malaysia, Malaysia awakening dalam rangka Hari jadi Kemerdekaan). Kini tahun 2009 pemerintah pusat terus mendengungkan slogan baru: satu Malaysia, satu bangsa Malaysia. Bayangkan mereka baru mendapat nama Malaysia itu pada tahun 1963 ketika Singapura, Sabah dan Sarawak dipaksa bergabung, sebelumnya adalah Malaya. Bahkan guru bahasa Melayu saya Puan Azilla, ketika saya bilang bahwa yang ada adalah Semenanjung Malaya bukan Semenanjung Malaysia, beliau bersikeras tidak ada. Ramai rakyat Malaysia tidak tahu sejarah yang sesungguhnya.

Pelajaran sains dan matematika yang tadinya dengan pengantar bahasa Inggris sekarang mulai ditinggalkan. Mungkin pemerintah juga khawatir jika bahasa Melayu tak digunakan dengan baik maka akan semakin buruk. Anak-anak muda lebih suka berbahasa Caca Merba (campur baur dengan bahasa prokem, bahasa etnis dan bahasa Inggris) hal ini tercermin dari drama-drama dan film-film yang mereka buat. Tetapi susah pula disalahkan kaum belia karena mereka melihat tokoh-tokoh politik di media terutama di televisi bahasanya tidak baku, selalu bercampur baur dengan dialek daerah (kampung halamannya), dan bahasa Inggris yang juga tak bagus karena dialek etnis India dan Cinanya.

Anak-anak muda Malaysia tidak lagi pandai bercakap bahasa Melayu sebagus di film-film lama yang dibintangi P.Ramlee, disitu terlihat budaya Melayu yang santun, lemah lembut dan tidak suka mengambil hak-hak orang lain apalagi menganiayanya. Merdeka!
Cheras Kuala Lumpur Agustus 2009.