www.wkgunawan.blogspot.com

Sabtu, 04 Desember 2010

BIANGLALA oleh: Weka Gunawan

Saya sedang mencari tahu bagaimana mendapatkan buku ini.

Beberapa kawan pernah mengirim SMS pada saya
bagaimana mendapatkan buku ini karena kononnya ini dijual
dengan cara pembelian langsung melalui penerbitnya. Buku ini pernah dipublikasikan di harian Media Indonesia
hadir dalam peluncuran buku tersebut di Taman Ismail Marzuki adalah
 penggagas dibuatnya buku ini Ibu Lies Wijayanti SW bersama adik beliau ibu Dyah Ariani SW.
Saya sendiri tidak berada di Indonesia saat itu.
Lies Wijayanti adalah salah satu staf ahli menteri riset dan teknologi (Menristek) Indonesia
Buku ini sesungguhnya sudah terbit pada tahun 2009 lalu.
SEMOGA SUKSES!

Buku BIANGLALA wujud karena komitmen ibu Lies yang hebat untuk mengejar impian beliau. Ibu Lies mempunyai banyak sekali bakat, selain menulis, beliau juga mampu melukis. Sudah banyak tahun saya tak pernah berjumpa beliau, hati saya rindu kepada beliau tetapi mungkin kesibukan beliau di Jakarta memang tiada pernah habis.

Tak saya nafikan banyak kisah-kisah yang bagus dalam buku ini karena penulis-penulisnya semuanya menuliskan dengan hati yang benar-benar bersih. Dua cerita pendek saya yakni: Langit Jingga di Kuala Lumpur dan Tag Vare Dig mengawali buku ini. Membacanya kita dapat melihat keindahan sebuah kota, menangis mengingat ibu kita, tertawa mengenang masa lalu dan macam-macam lagi.

Saya sendiri tak tahu bagaimana mendapatkan buku ini karena saya tidak berada di Indonesia saat ini.
Harapan saya semua penulis-penulis dalam buku ini sukses senantiasa.
SALAM SAYA

w e k a  g u n a w a n

Senin, 29 November 2010

Dr.Weka Gunawan, MPH dalam lensa Priyombodo (harian KOMPAS)

"Semoga Allah senantiasa memberinya hidayah dan merahmati kehidupannya dunia dan akhirat. Amien"

Rabu, 27 Oktober 2010

DOCTOR by CSP Wekadigunawan

Doctor
by: CSP Wekadigunawan (Weka Gunawan)

Ken adalah temanku. Seorang perempuan yang sederhana. Cantik sekaligus manis meski hanya mengulaskan bedak dan lipstick tipis di bibirnya. Ia seorang dokter anaesthesi di sebuah rumah sakit di Malaysia. Ia seringkali menjadi partner dokter-dokter lainnya saat menjalankan operasi di ruang bedah.

Begitu seringnya ia melihat orang-orang yang tak berdaya di hadapannya, bagaimana tidak kalau di ruang operasi tentu pasien nasibnya hanya bergantung pada Allah yang memberi hidayahNYA pada hambaNYA yang disebut dokter. Pasien berada dibius/dianaestesi sedemikian rupa sehingga proses operasi dapat dilakukan tanpa rasa sakit yang berarti. Ken bertanggung jawab pada dosis obat bius yang disuntikkannya kepada pasien dan ia harus terus memantau gambaran detak jantung pasien. Ia tidak boleh lengah. Ken selalu memulai tugasnya dengan salat 2 rakaat. Sebagai manusia ia selalu merendah diri di hadapan Allah SWT, mengharapkan setiap proses pembedahan yang melibatkannya berjalan sukses.

Sebagai dokter anaesthesi, Ken, tidak dikenal dibanding dokter yang menjalankan pembedahan atau dokter internist yang berhadapan langsung dengan pasien dan keluarganya (Customer) pelayanan kesehatan. Ken tidak pernah mendapat ucapan terimakasih dari para pasien yang ditanganinya. Tetapi, Ken bersyukur kepada Allah saat ia selesai di ruang operasi dan saat ia menyaksikan keluarga gembira atas pasien yang ditanganinya sembuh.

Maka, Ken tahu benar profesi dokter bukanlah profesi main-main. Dulu, ketika Ken masih sekolah dasar pada tahun 1970-an. Dokter adalah profesi untuk menolong orang, menyembuhkan orang, di benak kawan-kawannya. Ramai kawan-kawannya mengatakan sungguh gembira jika bisa menolong orang lain untuk sembuh dan hidup sehat. Tetapi kini semua bergeser, Ken bercerita kepadaku ada seorang teman yang menitipkan anak remaja kepadanya. Anak remaja itu sangat berkeinginan menjadi dokter, karena katanya bisa kaya sampai tua. Ken yakin bahwa di benak anak-anak remaja sekarang menjadi dokter adalah gengsi dan juga untuk menambah kekayaan.

Ken mengatakan kepadaku. Ia heran jika kemudian pemerintah Indonesia memperkenankan begitu banyak Universitas swasta menyelenggarakan pendidikan kedokteran tanpa akreditasi yang memadai. Ken juga menyesalkan bahwa sekarang pendidikan Kedokteran ada jalur non regular. Juga memungkinkan pelajar-pelajar luar negara bersekolah pendidikan kedokteran (undergraduate) di Indonesia asal membayar sangat mahal. Padahal di Malaysia universitas atau kolej swasta lebih banyak yang diperkenankan menyelenggarakan pendidikan penunjang pelayanan kesehatan bukan pendidikan dokter. Kemudian, warga negara asing tidak diperkenankan sekolah kedokteran (undergraduate) di Malaysia.

Ken menjalani sekolah kedokteran di Indonesia dengan biaya per semester hanya Rp.54ribu rupiah. Sementara pada saat itu sebagai perbandingan Universitas Trisakti sudah meminta uang masuk belasan juta rupiah. Ken juga memperoleh beasiswa Supersemar sebesar 25ribu rupiah dan kemudian naik menjadi 35ribu rupiah per bulan. Sehingga kata Ken, pada saat mahasiswa ia merasa cukup kaya. Dulu untuk mendapat supersemar harus memperoleh indeks prestasi minimum 2.7 (jangan kira ini mudah, di Kedokteran bisa jungkir balik untuk mendapatkan indeks prestasi setinggi ini). Mengingat di ilmu-ilmu sosial mendapatkan 2.7 adalah amat mudah.

Beasiswa untuk mahasiswa Kedokteran dan dokter.

Ken bercerita sekarang entah mengapa beasiswa semacam itu tidak pernah ada. Jangan bilang bahwa seluruh peninggalan orde baru buruk. Pada tahun-tahun 80-an sungguh bergengsi kalau bisa memasuki Universitas negeri. Bagaimana tidak kita bersaing dengan seluruh pelajar SMA seluruh Indonesia. Hanya yang terbaiklah yang akan menang.

Sekarang sungguh menerima beasiswa bukan lagi pengalaman yang menuai gengsi. Ken mengisahkan ada beasiswa G to G ke Australia, Ken mengirimkan berkasnya paling awal ke departemen dimana ia bekerja sebagai sumber daya manusia. Berkas Ken ditandatangani oleh Dirjen kala itu sebagai pemberi rekomendasi, tetapi tunggu punya tunggu tak ada kabar. Ken mengecek ke bawahan petugas yang mengirimkan berkas. Betapa terkejutnya Ken, berkas dia tidak pernah dikirim ke Ausaid oleh si petugas. Padahal tanda tangan Dirjen begitu besar dan jelasnya di atas berkasnya. Lelaki paruh baya, si petugas itu, tersenyum licik saat melihat kenyataan itu. Ia dengan enteng bilang,”Jangan khawatir dokter, saya akan lapor ke pak Bambang kalau dokter mengirim berkasnya terlambat”. Tanpa merasa bersalah sambil menyalakan rokoknya. Kata Ken, kalau dia wartawan sudah dia tulis itu di Koran. Seorang professor di UGM mengatakan kepada Ken,”Lho situ sih ndak kasih mereka uang rokok atau uang makan sih!” sambil tertawa geli,”Kan mengirim berkas juga perlu tenaga tho Nduk”. Plak! Jantung Ken berdegup kencang.

 Ken berkisah ia benar-benar tak paham meski ada tandatangan Dirjen, pegawai rendahan bisa saja mengabaikannya!

 Ken mengisahkan untuk melanjutkan sekolah keluar negara, Indonesia menyelenggarakan pemberian beasiswa pada dosen-dosen dan dokter-dokter yang ingin melanjutkan pengajiannya. Ken bercerita, ia adalah satu-satunya peserta yang dipanggil untuk wawancara dari institusi tempat ia bekerja. Ia menjalani wawancara itu dalam bahasa Inggris oleh seorang Profesor perempuan dari Udayana Bali dan seorang lagi dari Manado. Tetapi sangat ajaib begitu pengumuman penerima beasiswa, selain namanya tercetak, muncul 2 nama lain dari institusi tempat ia bekerja.  Kedua nama itu tidak muncul dalam panggilan wawancara dan tidak pernah melakukan sesi wawancara. Bahkan satu nama lain diantaranya tidak pernah muncul dalam pengiriman berkas yang diumumkan di internet. Itupun menurut Ken, hampir semua uang dalam kontrak menguap entah kemana. Ken merasa aneh begitu gegap gempitanya KPK, tapi institusi-institusi masih berani bermain? Betapa lemahnya hukum di Indonesia?

Maka, dokter-dokter demi meningkatkan kemampuannya memilih membiayai diri sendiri untuk belajar ke tingkat spesialis di luar negara. Sementara setahuku, Malaysia memberi beasiswa orang-orang terbaiknya untuk belajar setinggi-tingginya. Tanpa ada kutipan atau potongan apapun dari uang beasiswa itu dengan alasan administratif.   Apalagi bermain-main dengan oknum Universitas atau institusi yang terkait. Malaysia urusan korupsi bisa dinilai amat rendah. Meski sekarang Malaysia pun membuat lembaga semacam KPK. Sekali lagi ide Indonesia mereka adopsi dan lihat saja bagaimana mereka mengamalkannya! Pasti lebih sukses daripada di Indonesia. KPK di Indonesia justru dilemahkan secara sistematis. Ken mengangguk-angguk setuju pada tanggapanku atas ceritanya.

Remaja mengatakan: gampang kok jadi dokter di Indonesia

            Ken bercerita kepadaku. Ia merasakan sesuatu yang kurang berkenan di hatinya. Ia khawatir, kemungkinan sedang menolong seseorang melakukan sesuatu yang kurang benar. Ken kini menampung anak temannya di rumahnya.

            Mengapa anak ini pindah? Menurut Ken anak itu bilang bahwa ia sudah diterima kok di SMA lain di Jakarta. Tapi ia memang ingin bersekolah di luar negeri. Anak remaja berusia 15 tahun itu, nilai-nilainya tidak memadai untuk masuk IPA, sehingga di SMA asalnya dia dijuruskan ke IPS. Padahal cita-citanya adalah menjadi dokter. Kata Ken, seharusnya kalau dia punya cita-cita itu ia tahu betul bahwa nilai-nilai ilmu pasti dia tidak boleh rendah. Ketika ditanya mengapa ingin jadi dokter? Ia ingin kaya raya dengan membuka klinik kulit dan kecantikan.  

Menurut Ken, anak itu di luar jangkaannya saat menjawabnya: “Ah, tante, sekarang mau jadi dokter biar di… (ia menyebutkan salah satu perguruan tinggi negeri) asal bayar 500 juta juga bisa kok. Lagipula kalau sudah bisa bayar masak sih dosennya mau ngga meluluskan kita jadi dokter?” Kalau di swasta, dosen-dosen yang tidak meluluskan mahasiswanya bisa dipanggil dan ditanya mengapa mahasiswa X tidak lulus-lulus oleh Rektor atau ketua Yayasan lho, kataku sambil geleng-geleng kepala mendengar cerita Ken.

Ken merasakan kesedihan yang luar biasa. Ia bertanya kepadaku, “Sebenarnya apa yang terjadi di Indonesia sehingga anak belia baru berusia 15 tahun sudah tahu, bahwa apapun yang dia mau pasti bisa karena dia bisa membayarnya?”. Sungguh aku tak tahu jawabannya saat ini. Ken pun berkisah, anak itu pun ketika menjalani test masuk sekolah ternyata tidak lulus untuk masuk IPA, tetapi Ken melihat ibunya merengek-rengek pada wakil principal di sekolah itu dan kemudian dengan membayar sejumlah uang yang cukup besar, anak itu pun lolos masuk sekolah tersebut.

Ken bertanya kepadaku jika sistem sekolah kedokteran di Indonesia tidak segera direvisi, dan kemudian anak itu benar-benar menjadi dokter. Kira-kira dokter seperti apa dia kelak?

Aku bercerita pada Ken, aku punya sahabat namanya Hayyan Ul-Haq sekarang dia di Utrecth University, menurut Haq, semua dari niat, jika niat buruk itu terlaksana itu lebih karena bantuan iblis. Mengapa? Allah tak akan menjerumuskan hambaNYA yang bersih ke selokan-selokan kotor yang dibuat iblis seakan-akan nirwana dunia.  Semua yang mengawalinya dengan tipuan maka ia akan menjalani kehidupannya dengan tipuan terus-menerus, demikian kata Haq. Wallahu alam bissawab.

PHUKM, Cheras Kuala Lumpur 28 Oktober 2010.


Minggu, 11 Juli 2010

How to alleviate discomforts during pregnancy?

How to alleviate discomforts during pregnancy?



By: Dr.Weka Gunawan (ÇSP Wěkādigunawan)



I have been experienced three times pregnancy. The last was in August 2008 – March 2009. I felt really discomfort with all of my pregnancy. It was hard because I was sick all the time all day long! But, I tried to minimize all discomforts situation. So these are my tips for you all guys.

1. Sleepless in the Nights


I couldn’t sleep well in the nights but I was so sleepy in the morning. I avoid drinking lots of fluids a few hours before bedtime and avoid coffee, even tea. I had dinner before 7 p.m. o’clock. Then, drink a small glass if I felt thirsty.


I took relaxation techniques. I did exercise early in the day never before bedtime.


2. Bleeding Gums


I experienced my gums bleed when I brushed or flossed. That called pregnancy gingivitis. Do not worry pregnancy gingivitis is a common occurrence during pregnancy. However, if it is not treated it can lead to complication with your pregnancy. If you notice any of symptoms of pregnancy gingivitis it is important that you visit your dentist. I was so sick when brushing my teeth during pregnancy. But, I didn’t want to give up. I was maintaining my oral hygiene routine. You can try to eat apple in order to clean up your teeth. Then try gargling with antiseptic fluids like povidone iodine.


3. Morning Sickness


I don’t know the differences of morning sickness or night sickness. I felt nausea when I tried to have lunch and dinner. I chose orange juice as my breakfast. I like to sniff lemons, suck on them or sprinkle them with salt and lick them. It is effective to reduce my nausea and relieve my bad mood in the morning. Try whatever you think works for you.


4. Cramps


This is a sharp pain situated in your calf muscles or feet. It is common to get these cramps at night during the last three months of pregnancy. You will notice it more alter a physical workout or it hot weather. Potassium deficiency also plays a role: eat more fruits. Banana has lots of potassium. Fish and meat are contains potassium. But, I did not eat meat during my pregnancy. I preferred fruits.


During the night, pull your toes up toward your ankles or rub the ailing muscle. The occasional cramp is not a serious problem. If you notice the cramps are painful and frequent, you better check to your doctor. Doctor will check your blood level. Sometimes cramps related with preeclampsia and eclampsia ( a disease could lead to death).


5. Stretch Marks


I got stretch marks on my belly . This occurs if you gain more than average weight or if you have a family history of stretch marks. I put lots of Vaseline cream on my belly after bathing and anytime when it feels dry. It works to me.






I love to share my experience with you all. Pregnancy was amazing period in my life..Thanks to ALLAH.





Sabtu, 10 Juli 2010

I can boost my mood with foods!

I can boost my mood with foods!



By: Dr.Weka Gunawan (ÇSP Wěkādigunawan) Family Health, Universiti Kebangsaan Malaysia


Nowadays, I feel so stress. I must do a lot statistics on my research. I have to manage my time correctly since I have to keep 3 children by myself. It is hard because I do not have a maid to help my homework. Then, my husband is living far away from us.


I worry on my timetable, I feel down often.


Then, I realized, I must keep logic. I believe that mind and body cope better when you get the right foods, with essential vitamins and minerals that not only boost your energy but keep you mellow too.

ALMONDS
I tried to eat almond. I bought it in groceries not far from my place. Just a few will keep your heart from racing when panic attacks. They help lower blood pressure and keep oxygen flowing throughout the body.

SPINACH
It is rich in magnesium which helps lower stress level by keeping you calm. I made it as ‘tumis bayam’: heat cooking oil then fried the spinach with Bombay onion and garlic.


ORANGES
Get your cocktail of vitamin C from an orange. Stress can deplete your supply of vitamin C which your body does not produce naturally. Vitamin C helps your immune system function more efficiently under stress. I always buy oranges in a big cartoon box.


MILK
The calcium in milk can help soothe anxiety and restore tranquility. A small glass gives restless bodies a close of vitamin B2.


I share those tips for you all. May it would be useful.


Kajang, July 10th 2010.








Minggu, 07 Maret 2010

Tulisan Çri Sajjana Prajnā Wêkādigunawan (Wêkā Gunawan)

Tulisan Çri Sajjana Prajnā Wêkādigunawan (Wêkā Gunawan)Artikel Kesehatan:

yang sudah dipublikasikan:




1. Imunisasi kanker mungkinkah? (Cosmopolitan Agustus 1998)


2. Preeklampsia-eklampsia (Cosmopolitan Agustus 1998)


3. Toxoplasmosis (Cosmopolitan April 1998)


4. Hasil Riset terkini: Gizi Seimbang dalam diet anda (Cosmopolitan, Februari 1999).


5. Stroke di Usia Muda (Cosmopolitan Maret 2000)


6. Pentingnya Check-up pra nikah (Cosmopolitan November 1998, Ekstra Bonus)


7. Cek Kesehatan sendiri di rumah (Cosmopolitan Oktober 1998)


8. Lebih jauh tentang Alergi (Cosmopolitan November 1997)


9. Disfungsi Ereksi: Bukan lagi sebuah momok (Cosmopolitan Juli 1999)


10. Lupus Eritematosus Sistemik (Cosmopolitan Desember 1998)


11. Tentang Antibiotika (rubrik mind and body: Her World Agutus 2001)


12. Malu Bertanya Kesehatan Melayang (rubric mind and body: Her World April 2001)


13. Ada yang tidak tercatat

Opini tentang Kesehatan Masyarakat:


1. Remaja Putri dan Permasalahannya (Suara Pembaruan, 22 Desember 1996)


2. Gerakan Sayang Ibu: Upaya mempercepat penurunan angka kematian Ibu (Jawa Pos, selasa wage, 25 Maret 1997)


3. Sehari tanpa Asap Rokok. (Republika, sabtu 31 Mei 1997)


4. Empat Puluh Hari di atas Api: Catatan perjalanan Weka Gunawan (Jawa Pos, Jum’at legi, 20 April 1997) isinya eksplorasi penyebab kematian ibu di NTT.


5. Gaya Terapi Timur: Pelayanan Kesehatan di Era Pasar Bebas (Jawa Pos, sabtu legi, 20 April 1997)


6. Pelayanan Kesehatan: Fungsi Sosial atau Peluang Bisnis? (Republika, minggu 4 Mei 1997)


7. Satu nada miris yang lain di bumi kepala burung (Cosmopolitan Februari 1998) isinya tentang AIDS di Irian Jaya (Papua) eksplorasi penyebab tinggi penderita AIDS di Papua.


8. Demam Berdarah-darah (Koran Tempo, Jum’at 20 Februari 2004)


9. Wartawan Kesehatan: Kesehatan bukan isu jurnalisme kelas dua (Majalah Pantau, Desember 2001)


10. Ada yang tidak tercatat

Note: Silahkan membaca kembali tulisan-tulisan Weka Gunawan tentang kesehatan baik artikel dan opininya, lalu bandingkan dengan situasi sekarang.

FIKSI/CERPEN:

1. Pulanglah Galuh. (majalah Femina No.5/XXI. 4 – 10 Februari 1993)


2. Seorang Yusuf bagiku. (majalah Femina No.8/ XXII, 24 Feb – 2 Maret 1994)


3. Cerita Antara Dua Generasi. (majalah HIGINA 070, Juni 1996)


4. Merpati di Trafalgar Square. (majalah Cosmopolitan, Maret 1998)


5. Seorang Perempuan Tetanggaku. (Majalah LISA no.45/tahun III/ 11- 17 November 2002) sebenarnya judul asli cerpen ini adalah “Keblinger”.


6. Sunshine in City of Westminster. (majalah Good Housekeeping, Agustus 2004)


7. Story: Alma dan Achiles. (Chic 12 -1. 3 – 16 Agustus 2005)


8. AYUN. (majalah Good Housekeeping, September 2005)


9. Ada yang tidak tercatat


BUKU:


1. Merpati di Trafalgar Square (Antologi Cerpen) ( Penerbit: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004, cetak ulang tiga kali).


2. Keren tanpa Narkoba (Edukasi Kesehatan untuk remaja) (Penerbit:Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006) telah mengalami cetak ulang catatan yang dilaporkan pihak penerbit Juni 2007 telah lebih 50.000 eksemplar terjual) entah kenapa kemudian tak ada laporan lagi meskipun buku itu kemudian ditenderkan lagi dan telah meminta tanda tangan penulis pada 2009 lalu.


3. Bianglala (tulisan bersama kawan-kawan) (Penerbit: Carang Book Desember 2009).

Senin, 22 Februari 2010

Getting a PhD Degree by: Weka Gunawan

Getting a PhD Degree


By: Dr. Çri Sajjana Prajna Wěkādigunawan

Family Health, Faculty of Medicine

National University of Indonesia





Aku lulus tahun 1995 sebagai Master Kesehatan Masyarakat dari program pasca sarjana Universitas Indonesia. Saat itu para dosen di FKM UI, seperti Dr. Syafri Guricci, Dr.Kusdinar, Prof. Alex Papilaya, Prof. Soekidjo Notoatmodjo dan banyak dosen lagi, menyarankan aku untuk segera meneruskan ke tingkat Doktoral. Menurut mereka, alangkah baik kalau aku telah Doktor (S-3) di usia belum 30 tahun dan dapat membaktikan pengetahuanku untuk kesehatan masyarakat di Indonesia. Sayang saat itu kondisi keuangan tidak memungkinkan segra menuntaskan S-3. Maka, aku kembali bekerja di RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia). Pak Syafri dan pak Alex yang memotivasi aku untuk terus terpapar dengan isu-isu kesehatan masyarakat dengan mendudukkanku sebagai Wakil Sekjen IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia).



Kedekatanku dengan para dosenku di FKM UI membawaku untuk terus lekat pada ilmu yang benar-benar mengesankanku ini. RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) adalah sarana pengabdianku. Memberikan informasi kesehatan di semua program berita di stasiun TV tersebut. Saat itu nama program beritanya adalah Nuansa Pagi, Buletin Siang, Seputar Indonesia dan Buletin Malam. Sebagai wakil Sekjen IAKMI aku seringkali menghadiri banyak rapat, seminar dan simposium atas nama IAKMI. Mewakili Sekjen IAKMI pak Syafri Guricci dan pak Alex Papilaya kemana saja. Aku merasa terbantu dengan tugas sebagai wakil Sekjen IAKMI ini. Sebagai reporter kesehatan saat itu di RCTI menyebabkan aku selalu mendapatkan isu-isu kesehatan baru dan mampu mendiversifikasikan melalui media TV. Niatku hanya satu mengedukasi 50 juta penonton RCTI saat itu. Terus-terang meski saat itu aku belum menjadi pembaca berita di Seputar Indonesia, tetapi namaku yang muncul di setiap laporan kesehatan yang aku paparkan, diingat banyak orang. Tak kurang dokter di Puskesmas-puskesmas pelosok negeri, para Professor dan para pengambil keputusan. Weka Gunawan saat itu identik dengan berita-berita kesehatan.



Tahun 2000, saat aku bekerja untuk mempersiapkan Trans Corp di Para Grup. Aku berjumpa dengan Dr.Husni Muadz, Dr.Triono Soendoro dan Prof.Purnawan Junadi. Mereka kembali mengingatkanku untuk menyelesaikan S-3 ku. Memang usia merambat naik. Pekerjaanku di TV adalah pekerjaan yang membuatku senantiasa bergairah karena nyaris setiap menitnya adalah tantangan baru. Tetapi manusia bertiga itu, menggodaku tentang tarian ilmu pencapaian S-3. Prof.Hari Kusnanto dan juga Mas Dr.Tony Prasetiantono menceritakan tentang suka-duka melewati tebing-tebing, jalan berkerikil, berbatu untuk mendapatkan S-3 mereka di luar Negara.



Meski aku telah mendapatkan posisi yang banyak diidamkan orang lain yakni memimpin fakultas kesehatan masyarakat sebuah universitas swasta di Jakarta. Tetapi godaan itu terus datang.



Maka, Juli 2006 aku mendapatkan surat penerimaan dari Fakultas Kedokteran Universitas Kebangsaan Malaysia. Mereka menyatakan melalui rapat senat, menerima proposal penelitian yang aku ajukan dan aku berhak untuk mengikuti program PhD (Doktor Falsafah)dalam bidang kesehatan keluarga di Fakultas tersebut. Saat itu aku hanya mampu berdoa: semoga inilah jalan yang terbaik.





TIDAK MUDAH



Bersekolah kembali di usia yang sudah tidak muda lagi. Mempunyai anak pertama kelas 3 sekolah dasar dan bayi berusia 10 bulan. Sungguh tidaklah mudah. AlhamduliLLAH, ibuku yang telah bersusah payah membesarkanku berpartisipasi untuk mendampingiku. Aku memerlukan ibuku, lebih sekedar dari penjaga bayi saat aku belajar. Farrell seringkai saya letakkan di TASKA (semacam day care) berhampiran rumah kami. Negeri Malaysia sungguh tak pernah aku jangkakan sebelumnya. Sebuah negeri yang susah untuk dipahami sistemnya. Para perempuan yang tidak pergi bersama suami dapat disangka yang macam-macam dan tak semua perempuan berpikir positif. Terlalu sering aku mendapatkan picingan mata kurang suka dari perempuan-perempuan berkerudung disini. Nasib baik, aku mempunyai jiran yang amat perhatian. Namanya Zuhaya, berasal dari negeri Kelantan, ia sungguh memahami keadaanku dan juga Rita Joenaedy seorang Geolog yang meringankan beban sosialku.



Ya ALLAH, di bumiMU aku berpijak. Jagalah hambaMU yang lemah ini, Yaa ALLAH yang maha mencukupi. Keyakinanku pada ALLAH-lah yang akhirnya memantapkan aku untuk bersekolah di Malaysia. Sebuah Negara yang sesungguhnya bernenek moyang orang Indonesia.



Pembimbing Penelitian



Penyelia risetku bernama Prof Madya Dr. Rahmah Mohd Amin, PhD. Ia mendapatkan PhD dari Keele University di Inggris pada tahun 2005. Ia seorang yang sangat membesarkan hati. Melalui Dr.Nor Afiah temanku dari Universiti Putra Malaysia aku mengetahui bahwa Dr.Rahmah akan merasa bersusah hati jika aku sampai menghentikan perjuanganku mendapatkan gelar PhD ini. Mungkin saja, jika Prof. Rahmah Mohd Amin tidak mengatakan itu mungkin saja aku menghentikan semua ujian ini. Sungguh, aku merasa menjadi PhD sangat sangat mahal baik uangnya yang telah menghabiskan ratusan juta rupiah dan juga energy habis. Bagaimana saat membaca tak kenal waktu semua jurnal-jurnal international dan nasional selama setahun penuh dan saat presentasi proposal di semester ke-3 ternyata judulku dianggap terlalu luas dan diminta untuk kembali berdiskusi dengan supervisor untuk menentukan judul baru.



Lalu aku memerlukan waktu 2 tahun sampai aku berhasil untuk presentasi proposalku yang ke-dua. Mataku rusak, aku segera memerlukan kacamata karena memaksakan mataku berakomodasi terus tanpa lelah. Kini, aku tengah dalam pengumpulan data tersandung dengan biaya besar yang kuperlukan di lapangan. Entahlah, bagaimana lagi aku harus melangkah… Namun, aku ingat Rahmah Mohd Amin yang berrjaya sukses mulai dari kota kecil Trengganu hingga kemudian ke Keele University di Britain. Ia mengatakan,” Weka, kena sabar. Insya Allah. Insya Allah” itu selalu nasehatnya. Sampai detik ini aku merasakan PhD bukanlah soal gelar di belakang nama kita itu. Tetapi proses mendapatkannya yang menguras energy, harta dan juga seluruh emosi kita sebagai manusia. Jika kita mampu mengolahnya, Insya Allah, perjuangan jihad menambah ilmu ini berguna bagi umat manusia. Insya Allah. Insya Allah. Amin.



Ujian yang tak kunjung usai



Meski aku menulis disertasiku dalam bahasa Inggris, kami semua tanpa kecuali diminta untuk mengikuti kuliah bahasa Melayu di Universiti Kebangsaan Malaysia di Bangi.



Kamis, 11 Februari 2010

Seratus tahun Buya HAMKA

Seratus tahun Buya HAMKA



(saya jadi berpikir tentang home schooling)



Oleh

(Weka Gunawan)

Kesehatan Keluarga

Fakultas Kedokteran Universitas Kebangsaan Malaysia



Saya berkesempatan untuk menghadiri acara Pentas Kesenian Minang Kabau di Universiti Kebangsaan Malaysia. Acara tersebut dilaksanakan di Dectar sebuah gedung yang biasa digunakan sebagai acara wisuda baik untuk tingkat diploma, sarjana maupun doctoral. Gedung itu memang tidak cukup besar dibandingkan misalnya AULA kuliah jaman saya mahasiswa di Universitas Airlangga Surabaya.



Saya mendapatkan undangan dari teman-teman baik saya yang kebetulan berasal dari Padang Sumatera Barat. Para pelajar dari Padang ini memboyong langsung dari Padang semua penari, pemain gendang dan pembaca syair. Saya bisa bayangkan betapa banyak ongkos yang harus dikeluarkan untuk acara ini. Rikki Vitria, Ario, Rahmat adalah sebagian pelajar yang tampak sibuk untuk acara ini. Mereka seringkali melaksanakan rapat di Rumah Makan Singgalang di Kompleks Hentian Kajang. Pemilik rumah makan ini memang berasal dari Padang tetapi telah menjadi warga Negara Malaysia.



Acara ini sedianya akan dihadiri oleh Rais Yatim Menteri Kebudayaan Malaysia, namun beliau tidak dapat hadir dan mewakilkannya pada Prof.Idris yang seperti halnya Rais Yatim juga mempunyai akar muasal dari Padang Sumatera Barat. Atase Kebudayaan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia juga hadir.



Sebuah pementasan yang mengagumkan digelar di Dectar. Saya kagumi bahwa pementasan ini cukup sukses. Permainan lampu dan tata suara amat membanggakan padahal levelnya hanya Universitas. Sayangnya tidak ada media yang meliput acara yang sangat menarik ini. TV satu Malaysia hanya mengulas pada acara seminar di pagi harinya. Lebih tentang sastra dan tak banyak pula mengulas seniman besar Buya HAMKA.



Pementasan Minang Kabau ini dimulai. Para penari yang cantik jelita menarikan tari penyambutan tamu dan kemudian memberikan kapur dan sirih sebagai tanda terimakasih kepada salah seorang tamu yang dianggap paling terhormat malam itu. Kemudian lagu-lagu yang dibawakan dalam bahasa Minang mengingatkan kita pada bumi Sumatera Barat yang indah dengan perbukitan, danau-danau dan pepohonan yang menghijau.



Selanjutnya adalah pembacaan kisah kehidupan Buya HAMKA yang dibacakan dengan cara drama oleh dua orang, lelaki dan wanita dengan pakaian tradisional Minang Kabau. Menceritakan buya HAMKA yang tidak pernah lulus sekolah dasar tetapi berani merantau ke luar daerahnya. Ia belajar secara otodidak, berguru pada alam, waktu dan siapa saja yang ditemuinya. Ia bertualang ke Yogyakarta, juga ke Saudi Arabia. Menulis perjalanannya, menyampaikan kisah-kisahnya. Hingga karyanya diakui oleh masyarakat sastra Indonesia. Buya HAMKA pun mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Mesir. Jika menilik kisah ini persis seperti kisah-kisah orang besar pengubat (dokter) terkenal Ibnu Sina, perjalanan panjang Honda, Hilton, bahkan Bill Gates dan Marck Zuckerberg (Facebook). Orang-orang ini tidak mengenyam pendidikan tinggi secara formal tetapi berhasil dalam hidupnya. Dan tidak ada yang menyangsikan kehebatan pengetahuan mereka. Siapa tahu sesungguhnya, home schooling adalah cara yang paling efektif bagi mendidik anak-anak kita? Telah terbukti bahwa sekolah formal malah membatasi kreatifitas anak-anak kita, bahkan menjadikan mereka korup (demi nilai dan peringkat kelas mereka bisa melakukan apa saja: mencontek, menekan teman-temannya yang cerdas), menjadi pembohong pada gurunya kalau kedapatan tidak mengerjakan PR, dan berbohong lagi pada orangtua mereka kalau ternyata nilai mereka merah. Lalu mereka berebut jadi Pegawai Negeri Sipil dan menyuap kanan-kiri atas bawah. Tak heran kemudian korup menjadi tradisi dan mereka tidak menganggapnya dosa.



Baiklah kembali ke acara hebat itu. Acara ditutup dengan tari piring yang mengagumkan. Betul-betul piring yang mudah pecah jika tak pandai menggoyangnya. Lalu tarian hebat ini ditutup dengan salh seorang penarinya menari di atas piring hingga piring-piring itu pecah berkeping-keping. Saya kurang pasti apakah mereka kesakitan yang jelas saya melihat ada luka-luka di telapak kaki mereka sesudahnya.



Tepuk-tangan membahana di seluruh ruangan seusai rentak tarian itu habis. Saya berdiri dan memberikan applaus. Saya bangga akan Indonesia yang kaya raya dengan tradisi dan budaya nenek moyangnya. Saya melihat orang-orang Malaysia yang berasal dari Minang itu ketika kami makan dalam satu meja menyatakan hal yang sama:” Kami juga berasa bangga punya leluhur daripada Indonesia yang sangat elok” Oh indahnya serantau seirama ini.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Weka Gunawan saat ini memperdalam bidang Kesehatan Ibu dan Anak di Fakultas Kedokteran Universitas Kebangsaan Malaysia.

Kamis, 14 Januari 2010

Balance Diet VS Basic Four and Basic Five (GIZI SEIMBANG VS 4 SEHAT 5 SEMPURNA!

4 Sehat 5 Sempurna? Jadul ah!


Oleh: Weka Gunawan,

Kandidat Doktor Ilmu Kesehatan Keluarga, Fakultas Kedokteran Universitas Kebangsaan Malaysia

4 Sehat 5 sempurna, seperti sebuah jimat pamungkas untuk perbaikan gizi di Indonesia. Hari-hari ini, saya menyaksikan sebuah iklan minuman sereal yang mempromosikan produknya sebagai 4 sehat 5 sempurna. Selama bertahun-tahun di benak para ibu mungkin juga kita semua bahwa konsumsi susu melengkapi asupan gizi kita menjadi sempurna. Riset membuktikan bahwa pendekatan itu sudah kuno, dan harus cepat-cepat ditinggalkan.



Ketika diwawancarai oleh wartawan surat kabar Kompas beberapa waktu lalu, saya mengemukakan bahwa sejak tahun akhir 80-an, dan menjamurnya makanan-makanan siap saji, maka Indonesia mempunyai banyak beban dalam dunia kesehatan khususnya gizi. Indonesia masih berkutat dengan kekurangan gizi: gizi buruk, busung lapar tetapi juga mengalami kelebihan gizi: meningkatnya kolesterol, obesitas. Semuanya berdampak pada pola penyakit yang timbul: kekurangan gizi menyebabkan tubuh tidak mampu membangun zat-zat kekebalan tubuh dengan baik. Oleh karenanya penyakit-penyakit infeksi masih merupakan penyakit tertinggi di Indonesia. Kita masih belum pernah selesai dengan ISPA, tuberculosis, bahkan penyakit-penyakit infeksi seperti typhus. Di lain sisi kita juga menghadapi akibat kelebihan gizi yakni timbulnya penyakit-penyakit degenerative seperti penyakit jantung, gangguan fungsi ginjal dan gangguan hati (liver). Maka, pendekatan 4 Sehat 5 Sempurna terbukti tidak lagi sesuai. Konsep itu menyebabkan keluarga berusaha memenuhi makanan mereka sehari-hari dengan jumlah daging, susu, tepung, lemak, gula yang banyak. Sebaliknya konsumsi sayur dan buah menurun.



4 Sehat 5 Sempurna mengadopsi Basic four and Basic Five, di Amerika dan segera direvisi pada tahun 1970-an. Penyebabnya sama: obesitas dan meningkatnya penyakit-penyakit akibat kelebihan gizi. Prof. Poerwo Soedarmo memperkenalkan 4 sehat 5 sempurna pada tahun 1950-an namun semasa paruh akhir hidupnya Prof.Poerwo justru menerapkan konsep baru gizi yakni Gizi Seimbang (Balance Diet). Hal ini pernah diceritakan Prof.Purnawan Junadi dari FKM UI pada tahun 2002. (Obrolan seru tentang apa saja di sebuah rumah makan yang luas dan asri di Suranadi di Pulau Lombok).



Gizi Seimbang (Balance Diet)



Pada tahun 1980, George McGovern didukung organisasi profesi kesehatan menerbitkan pedoman baru Nutrition Guideline of Balance Diet Nutrition Guide. FAO (organisasi pangan sedunia) pada tahun 1992 mengajak negara-negara anggotanya untuk mengadopsi paradigm baru yang terjadi di Amerika. Tahun 1994, pemerintah Indonesia menjawab ajakan itu dan membuat Gizi Seimbang sebagai media penyuluhan gizi dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) VI. Sayangnya, ramai orang yang menganggap ini rumit, tak mudah dihafalkan oleh kader-kader kesehatan, dan kemudian dengan berjalannya waktu Indonesia fokus pada perubahan-perubahan cepat di elit politik. Gagasan ini tak banyak gaungnya. Sayang sekali!



4 Sehat 5 Sempurna itu kuno!



Mengapa 4 sehat 5 sempurna itu kuno? Karena konsep itu menganjurkan pemenuhan gizi yang tidak berimbang dan menjadikan susu satu-satunya sumber protein hewani yang sempurna. Dalam petunjuk Gizi Seimbang, asupan diet disesuaikan dengan usia seseorang bahkan juga aktifitasnya. Konsep mudahnya dibuatlah piramida gizi seimbang Indonesia. Oleh karena itu maka gizi seimbang untuk bayi usia 0 hingga 6 bulan adalah Air Susu Ibu (ASI), demikian pula untuk anak batita (di bawah tiga tahun), balita, remaja, dewasa dan juga orang-orang lanjut usia. Susu merupakan salah satu sumber protein hewani. Susu juga bukan penyempurna perbaikan gizi. Protein hewani bisa kita dapat dari telur misalnya, dan harganya juga terjangkau oleh masyarakat di Indonesia. Oleh karena itu konsep ini memungkinkan dilakukan oleh semua strata masyarakat.



Akhirnya semoga tulisan ini bisa memperkaya pemahaman teman-teman semua tentang gizi seimbang. Juga mudah-mudahan tulisan ini juga bisa menggerakkan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) untuk melihat tayangan iklan yang sebenarnya ‘menipu’ seperti pada hari-hari ini ketika saya di Jakarta melihat tayangan iklan sebuah makanan berbentuk sosis mengklaim: “Saya juara…ingin seperti saya? Saya makan…” Saya belum punya data dampaknya, baru melihat satu dua kali. Tetapi saya lebih suka iklan itu ketika dibawakan Dedi Mizwar beberapa tahun silam.



Weka Gunawan (14 Januari 2010)



(Tulisan ini dibuat atas dorongan teman-teman saya di jaringan sosial Facebook: Pak Hannibal, Maria V Estiari, Taufik Hidayat, Nien Lazuardi dan Edi Wibowo)