www.wkgunawan.blogspot.com

Selasa, 20 Oktober 2009

TUHAN MARAH....!

Tuhan marah..
Oleh: Dr.Weka Gunawan
(Family Health, Faculty of Medicine National University of Malaysia)

Nyaris setiap hari aku mendapatkan siraman rohani di kampus. Tersebutlah Encik Rizam dan Encik Abdul Karim yang senantiasa meng-update isu-isu sosial dan mengkaitkannya dengan ayat-ayat Qur’an. Mereka mendown-load isu-isu itu melalui internet. Internet memang memungkinkan orang-orang mendapatkan banyak sekali informasi.
Menyitir sebuah ayat Qur’an yang bermaksud,” ..dan mereka melakukan segala apa yang buruk, tetapi karena terbiasanya mereka menganggapnya seolah-olah baik..”. Encik Abdul Karim mengatakan, “Tengok, macam rasuah (korupsi) sekarang kerana biasa maka ramai orang tak sedar menganggapnya baik. Kitalah kena pandai-pandai menafsirkan ayat Qur’an ini”. Sazman dan Azran yang masih belia selalunya tertarik dengan petuah-petuah itu. Saya karena seringkali harus fokus ke pekerjaan jadi mendengar saja, sekali-sekala.
Saya baru saja memeriksakan kondisi mobil saya di Puspakom. Puspakom semacam pengecekan nomor chasis rangka mobil sesuaikah dengan surat kepemilikan dan sesuaikah dengan keadaan yang diwajibkan oleh pemerintah misalnya: tidak boleh melapis dengan kaca film gelap. Di situ tertulis dan terpampang seruan dilarang rasuah dan ancaman hukuman bagi pemberi dan penerima. Terpampang pula berapa lama setiap mobil bakal dilayani yakni: 60 menit saja. Saya takjub mulai mengisi formulir dan membayar RM.30 di kaunter pembayaran hingga mobil telah siap untuk saya bawa kembali, hanya memerlukan waktu kurang dari 30 menit! Pemeriksaan di Puspakom ini diperlukan untuk balik nama di kantor JPJ.
Rasuah yang mana yang En.Karim khawatirkan? Saya mengurus sertifikat lahir anak saya di Putra Jaya kurang dari 2 jam dan tidak membayar se-senpun! Juga saat mengurus perpanjangan visa pelajar dan semua urusan di Malaysia bersih dari harus menyuap petugas. Semua pembayaran di kaunter dan mendapatkan tanda terima (kuitansi). Waktunya pun tidak memakan berhari-hari dan datang berkali-kali. Encik Karim berkata di tingkat politik. Menurut beliau sesetengah Ulama bisa dibayar untuk menfatwakan sesuatu demi kekuasaan politik. Juga berkompromi dengan hal-hal yang sesungguhnya dilarang oleh agama Islam. Juga ahli-ahli politik ada yang mengamalkan penyuapan demi berebut kekuasaan. “Tuhan boleh marah..” katanya. “Mereka menggadaikan nasib rakyat”
Ribuan orang terdeteksi menderita influenza A H1N1 di Malaysia. Sekitar 100 orang telah meninggal karenanya. Tuhan memberi peringatanNYA, kata beliau.
En.Abdul Karim berasal dari Trengganu, sebuah daerah di Pantai Timur Semenanjung Malaya. Rambutnya mulai memutih, hidungnya mancung dan cara berbicaranya tegas. Tentulah suatu masa dahulu, tatkala muda, ia cukup tampan. Sosok En.Rizam lebih muda, dan lebih cair. Ia adalah generasi ke lima dari kakek-nenek buyutnya yang berasal dari Banjarmasin Kalimantan Selatan. Kalau ia lebih suka menunjukkan ayat-ayat di internet kepadaku.
Juga tentang gempa di Padang. Ia mengatakan Tuhan marah, sekelip mata 3 dusun tertimbun, padahal kononnya disana anak-anak tengah mengaji. Itulah, yang baik dan yang derhaka pun terpaksa menanggung kemarahan Tuhan. Saya diam, mengangguk. Kepiluan merasuki, semoga arwah-arwah mereka korban gempa di Padang itu, yang berpulang ke tempatMU Ya Allah, Engkau terima.
Di keheningan malam, saya sering mendapat s-m-s dari Ustadz Mohammad Djafnan Afandie. Beliau adalah ahli nuklir dari sebuah Universitas terkenal di Yogjakarta. Ia mengamini tentang sebuah Negara yang menzalimi rakyatnya sendiri. Yang tak betul adalah rakyatnya pun berdiam diri, menutup mata pada kezaliman yang mereka alami. Demikian pula Ulama-ulamanya yang hanya berpikir tentang ‘kebaikan di dunia’. Sehingga tidak berpihak pada rakyat.
Bayangkan sebuah Negara yang tidak melayani rakyatnya dengan bekalan listrik yang memadai, tetapi kala si rakyat ini lalai membayarnya (tertunggak) satu kali saja segeralah petugas PLN datang untuk memotong listrik di rumah tersebut. Itu tak pernah terjadi di Malaysia, demikian katanya. Ia pernah belajar di Jerman dan sekarang belajar lagi di Malaysia. Hukuman-hukuman ringan pada pelaku korupsi yang sungguh tidak ada keberpihakkan pada hati nurani rakyat. Triliunan uang habis untuk berebut kekuasaan tetapi tiba-tiba saja memotong uang pension seorang yang baru saja pension kononnya si orang tua itu belum menulis pernyataan masih hidup. Kejamnya. Letih, jika harus menyebut ribuan kejahatan yang telah dilakukan Negara secara sistematis pada rakyatnya.
Bencana sesungguhnya bisa ditolak. Allah telah menyebutnya dalam surah Yassin: “Innama amruhu izza arrada syaian an yaa quula lahuu kun faya kuun…” ALLAH bisa menolak bencana jika DIA mau. Maka seharusnyalah bencana-bencana ini menjadi amaran/peringatan yang keras dari ALLAH SWT untuk kita semua.
Saya tercenung diam…. Wallahu Alam bissawab..
Kuala Lumpur, 8 Oktober 2009.

Senin, 05 Oktober 2009

I HAVE PUBLISHED MY BOOKS!

I have published my books. First is a book of short stories, the title is Merpati di Trafalgar Square. My motivator to write down my experiences as a journalist and a doctor was Ashadi Siregar. He is a lecturer in UGM (University of Gajah Mada).

My second book's title is KEREN TANPA NARKOBA, I dedicated to all of Indonesia children to fight drugs. I pray to God, HE always guiding to do something useful for others.


COVER DEPAN



COVER BELAKANG

Komentar dari Yth. Bapak Taufik Ismail, bapak Ishadi S.K, mas Arswendo Atmowiloto, yang tercinta mbak Dana Iswara dan komentator yang sempat jadi ikon Metro TV, Sandrina Malakiano. Terimakasih.






Kamis, 01 Oktober 2009

Surabaya, My City

Surabaya, Suroboyoku
By: Weka Gunawan,
Kandidat Doktor bidang Kesehatan Keluarga
Fakultas Kedokteran Universitas Kebangsaan Malaysia.

Malam menjelang ketika kami memasuki Surabaya. Sebuah kota besar di ujung timur Pulau Jawa. Kota yang mempunyai nilai-nilai bersejarah, perjuangan membebaskan diri dari penjajahan baik itu dari Inggris, Belanda, Portugis dan Jepang. Kami mulai tersesat ketika keluar pintu Tol, berputar-putar di kawasan Rungkut Industri dan mencari-cari jalan yang ramai kendaraan. Baru saja maghrib, tetapi kawasan industri telah pun sepi. Saya dan suami berpandangan berapa lama kami tidak ke Surabaya? Ya, aku ada ke Surabaya pada tahun 2003 untuk menghadiri pengukuhan guru besar Prof.Kuntoro dalam bidang Biostatistik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Tapi itu hanya 3 hari. Tak sempat menyusuri Surabaya dengan menyetir sendiri. Ke Surabaya hanya sempat stop over perjalanan dari Jakarta ke Lombok atau pada saat mempresentasikan paper di Temu Ilmiah HOGSI (Himpunan Obstetri Ginekologi Sosial Indonesia) yang pertama di Malang. Saat itu berjumpa dengan kawan lamaku Santi Martini. Selain itu kami memang tidak tahu, Surabaya berkembang cukup pesat.

Esoknya, telah Idul Fitri. Pukul 4 lebih shubuh. Anakku Farah sudah kelabakan saat mendapati pukul 5 pagi di Surabaya, matahari telah pun naik. Kami akan sholat Eid, pukul 6 pagi! Masya Allah, sementara di Kuala Lumpur kami memulai salat Eid pukul 08.30! Bergegas menuju Masjid di kawasan Manyar berhampiran dengan tempat tinggal kami. Berbeda dengan di Kuala Lumpur yang hanya mesjid dan surau tertentu yang boleh menyelenggarakan shalat Ied, maka di Indonesia setiap surau dan komunitas boleh menyelenggarakan sehingga mudah bagi kami melaksanakan shalat Ied, tanpa takut terlambat.

Surabaya sekarang sangat asri. Kebon Bibit di depan pemukiman kami di Manyar Pumpungan telah menjadi sebuah taman bermain anak-anak. Ada kijang-kijang dan pepohonan besar-besar tampak dijaga utuh. Beberapa jenis bunga juga tampak memperindah taman itu. Yang membuat pemandangan tidak seasri taman-taman di Malaysia adalah adanya penjual-penjual kaki-lima, jika tidak segera ditertibkan aku khawatir taman yang indah itu akan tertutupi ‘rombong’ penjual kaki lima itu yang membuang sampah sembarang dan meninggalkan kesan kotor dan menjadi sarang penyakit.

Menyusuri Kali Mas di samping Surabaya Delta Plaza, ada muzium kapal selam. Bangganya kami menyaksikan kapal selam yang besar dan kokoh itu. Kali mas ini pernah berwarna merah karena darah saat Bung Tomo dan arek-arek Suorboyo mengusir Inggris yang membawa tentara-tentara Indianya (Gurkha) ke Surabaya dengan maksud kembali menjajah Indonesia. Tentara-tentara India (Tamil) itulah yang kemudian ditinggalkan Inggris di Semenanjung Malaya (West Malaysia sekarang) dan Singapura, dan anak cicit mereka terpaksa mendiami negara-negara itu hingga sekarang.
Taman-taman di pinggir sungai ternyata ada di kali yang kami temui. Taman-taman itu dilengkapi dengan permainan anak-anak, seperti ayunan, jungkat-jungkit, tampak warga menikmati suasana sore di sana. Taman-taman itu ada di pinggir Kali di daerah Genteng Kali dan juga Kali Dinoyo. Wah, hebat sekali walikota Surabaya dan jajarannya yang mampu membangun dan mengajak warganya untuk turut menjaga keasrian kota.

Promosi kawan-kawan kami tentang jembatan terpanjang Suramadu menggiurkan kami untuk mencobanya. Suramadu, adalah jembatan megah yang menghubungkan Pulau Jawa dan pulau Madura. Patutlah, di Surabaya sekarang lalu-lalang plat mobil M (asal Madura). Surabaya kini menjadi mudah untuk didatangi sehingga kaum muda Madura menjadikan Tunjungan Plaza dan sekitarnya destinasi malam minggu mereka. Saat kami memasuki kawasan Suramadu, ternyata tidak ada tempat untuk berfoto sebelum memasuki jembatan tersebut, kami langsung dihadapkan pada petugas Tol Suramadu dan kami pun membayar Rp.30.000,- Antusiasme kami dan anak-anak segera pupus saat di tengah jembatan dengan pilar-pilar merahnya itu tidak disediakan anjungan wisata untuk berfoto. Para polisi menjaga kedua-dua arah dan melarang kami untuk berhenti. Sampai ke ujung dan memasuki wilayah Kamal Madura, kami mendapati puluhan kaki-lima menjual minuman dan mie instan dan cendera mata Madura berupa pecut (untuk memecut Sapi kala Karapan Sapi) dan sabit (senjata orang Madura, yang digunakan oleh mereka untuk men’carok’ orang yang tidak disenanginya). Kawasan akhir itu tak tampak pohon yang akan ditumbuhkan. Mudah-mudahan kelak Bupati Madura membuat kawasan hijau di sana. Kami pun dengan rasa kecewa karena tidak bisa berfoto di bawah pilar-pilar merah yang megah itu, memasuki jalan Tol dari Madura menuju ke Surabaya dengan membayar Rp.30.000,- lagi. Seandainya bupati Madura kreatif membangun anjungan wisata untuk berfoto dengan batasan maka mereka akan mendapatkan PAD (Pendapatan asli daerah) dari turis yang hanya ingin berfoto di jembatan Suramadu.

Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, kami melintasi makam W.R Supratman, sayang kami hanya 4 hari di Surabaya. Sehingga makam pencipta lagu Indonesia Raya itu tak sempat kami singgahi. Lain waktu kelak Surabaya kami akan kembali dan kami ingin menceritakan keasrian Surabaya sebagai kota yang nyaman untuk ditinggali…

Harapan kami: pajak bumi dan bangunan tidak dikutip dari para pensiunan dan orang-orang yang tidak mampu yang masih memiliki lahan-lahan luas di dalam kota. Mereka menjaga keasrian rumah mereka dengan hati, tolong lah jangan diusir dari rumah mereka sendiri dengan mengutip pajak bumi dan bangunan yang makin lama makin mahal. Kasihani rakyat ya pak Walikota Surabaya dan aparatnya. Semoga Allah mengasihani engkau dan senantiasa memberikan hidayah kepadamu. Amin.

Catatan ringan,
Mudik 2009. URL:http://www.gunawanweka@blogspot.com