www.wkgunawan.blogspot.com

Jumat, 27 November 2009

FUN, FEARLESS AND FEMALE, COSMOPOLITAN MAGAZINE

“OUR LIVES AS FUN, FEARLESS AND FABULOUS!”

INDONESIA COSMOPOLITAN MAGAZINE 2000-2001

Picturu Doc: Cosmopolitan Magazine
in this photo: Amalia Yunita, Veronica Colondam, Weka Gunawan dan Maylaffaiza


Menyenangkan sekali pernah merasai panggung FFF Cosmopolitan pada tahun 2001. Saat itu, aku merasa mempunyai teman-teman baru yang benar-benar berdedikasi pada impian yang diwujudkannya.


Amalia Yunita yang memang seorang petualang sejati, mendirikan wisata Arus Liar di Citarik. Ia pernah mendaki Himalaya. Yuni, demikian aku memanggilnya tak pernah memperlihatkan wajah takut atau ragu. Ia juga tampak lembut dan sangat perempuan. Ia cantik dan pandai berdandan. Ketika ia membawakan suatu acara di TV swasta, Bambang produser acara itu mengatakan,”Aduh, dia ngga ada ekspresi ketakutannya…”. Bisa dibilang Yuni ini sukanya senyum dan tampak santai.


Maylaffaiza, saat itu menjadi peserta termuda diantara kami semua. Nah, dia juga yang paling langsing dan tinggi semampai. Ia paling ceria dan energik. Ketika ia tampil dengan biolanya, ia bak bidadari dalam balutan baju merah hati rancangan Adjie Notonegoro. Hingga kini ia konsisten dengan perjalanan kesenimannya. Bahkan ia memperdalam belajar musik terus-menerus.


Veronica Colondam, kepeduliannya pada pencegahan Narkoba (dadah dalam bahasa Melayu) menyebabkan ia mendirikan Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB). Ia merangkul berbagai kalangan dalam kepeduliannya ini. Ia berhasil. Padahal saat ikut pemilihan FFF Vero lagi hamil besar. Ia membawa begitu banyak baju saat pemotretan awal kami di Cosmopolitan. Meski demikian sebagai ibu muda ia sangat menyerlah jelita saat hamil tua. Dan segera langsing dan menawan dalam pemotretan kali ini.


Senang sekali ketika mendapat kesempatan mengikuti ajang ini adalah aku bisa banyak belajar dari mereka semua. Tak hanya pada Vero, Maylaf dan Yuni tetapi semua kawan-kawan FFF pada saat itu. Mereka semua hebat, menyenangkan dan member warna dalam hidupku.

Di ajang ini juga aku bertemu dengan Reda Gaudiarmo, Rugun Sibarani, dan lain-lain.







Sabtu, 21 November 2009

MEMORABILIA WEKA GUNAWAN




ENJOY JAKARTA! (Bagian 1)

ENJOY JAKARTA!


(bagian 1)

Oleh: Weka Gunawan,

Family Health Faculty of Medicine

National University of Malaysia (UKM)



Menyusuri Jakarta adalah melihat kembali perjalanan awal hidupku di Jakarta. Berawal meninggalkan ‘zona kenyamanan’ku di Surabaya. Aku mengikuti suami mendatangi Jakarta pada bulan Agustus 1993. Masa awal itu ada seorang tua yang mengijinkan kami berdua tinggal di sebuah rumah mungil tetapi yang dikelilingi kebun seluas 6000m2 di daerah Condet Jakarta Timur. Almarhum bapak Harsono yang berbaik hati pada kami.

Saat itu belanja 5000 rupiah saja, sudah bisa membeli banyak keperluan hidup: gula, udang, sayuran, teh dan beras. Sementara gaji sudah mencapai 875.000 rupiah plus uang makan dan lain-lain bisa mencapai satu juta rupiah.

Menyenangkan sekali setiap pagi sebelum berangkat ke kampus untuk aku dan suamiku ke kantor, kami masih sempat berolah-raga. Aku memutuskan mengikuti program pasca sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Indonesia. Nyaris setiap pagi menyusuri gang-gang kecil untuk mencapai pasar Kramat Jati. Saat itu pasar Kramat Jati hingga Cililitan sudah luar biasa macet karena para penjual tidak hanya memakai trotoar atau bahu jalan tetapi menyisakan hanya sedikit saja untuk satu mobil lewat. Sarapan kami adalah nasi uduk hangat yang dibungkus mungil berisikan telur utuh dan tahu. Saat itu harganya hanya 500 rupiah. Aduh, nasi uduk luar biasa sedap hingga nasi uduk Kebon Kacang yang sering dipromosikan orang itu tak ada apa-apanya. Sayangnya karena gang-gangnya itu berliku-liku, aku lupa untuk mencapainya lagi ke sana.

Pada tahun 1994 kami pindah ke perumahan Sawangan Permai di daerah Sawangan Kabupaten Bogor. Saat itu, aku telah bekerja di Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), dan ternyata mencapai kantor dari rumah, aku harus menempuh perjalanan sebelum subuh! Kami melaksanakan salat subuh di mesjid di tepi jalan, sehingga bisa mencapai kantor RCTI di Kebon Jeruk Jakarta Barat, tepat pukul 07.30 pagi! Ketika itu macet sudah semacam hantu mangkal yang harus diwaspadai. Titik-titik macet yang harus kami lewati adalah pasar Ciputat, jalan Panjang ketika itu belum jadi, jadi harus berputar-putar di daerah Kebayoran Lama, dan macetnya luar biasa. Seringkali, aku sering kebelet kencing dan meninggalkan mobil menuju kedai pompa bensin. Yang lucu, sampai aku selesai pipis, macet itu tidak juga terurai.

Setelah itu pada Juli 2000, aku ikut berpartisipasi membangun stasiun televisi baru. Dulu sebelum aku resmi bergabung, stasiun televisi belum bernama jelas dan kami pegawainya masih tertulis sebagai pegawai Para Group. Awalnya nama yang diusulkan Mega TV karena saat itu pemiliknya mempunyai BANK MEGA. Namun saat itu nama itu ditolak, karena berasosiasi dengan nama salah satu kandidat presiden kala itu. Malas sekali rasanya jika pendirian sebuah TV berkaitan dengan nama tokoh politik. Saat itu sudah mulai terdengar Abdul Latif (menteri di Orde baru) mau mendirikan LAtivi. Chairul Tandjung TV juga tak diterima sebab tidak mereflesikan kebersamaan dalam membangunnya. CT sendiri yang menolak namanya menjadi nama stasiun TVnya. Sehingga, karena masa reformasi masih sangat terasa, maka disetujui nama PT.Transformasi Indonesia. Chairul Tandjung memang mewujudkan mimpi besarnya melalui usaha media ini. Sekarang pak CT ( demikian kami biasa memanggil) sudah kemana-mana dengan pesawat jet pribadinya. Pada tahun 2000 itu, pak CT hanya naik Kijang biasa berwarna coklat metalik. Arlojinya pun bukan Rolex tetapi merek ALBA. Bagaimanapun gaya hidupnya mempengaruhi cara aku memaknai hidup. Meski aku tak sekaya CT, tetapi hingga sekarang aku mensyukuri kehidupan sederhanaku. Televisi sebuah tempat mengekspresikan diri buatku, sejak usia 18 tahun, aku telah menjadi bagiannya. Dari 500 pelamar hanya 5 orang (termasuk aku) yang berhasil lolos dan proses recruitment memakai sistem gugur itu.

Dan usia 19 tahun, aku bertemu pak Ishadi S.K di TVRI Surabaya. Tak dinyana orang tua ini akhirnya menjadi Bos-ku kembali di Trans TV. Aku salah seorang penyiar di TVRI Surabaya. Aku siaran sambil kuliah. Sebentar…eit, aku melantur jadinya. Aku ingin mengisahkan tentang Jakarta bukan TV atau diriku!

Nah, bertandang ke Jakarta pada tahun 2009. Setelah aku lebih banyak bermukim di Kuala Lumpur sejak Agustus tahun 2006. Maka, Jakarta lumayan terasa perbaikan. Di beberapa ruas jalan yang dulu banyak bertebaran penjual kaki-lima sekarang sudah tidak ada lagi. Trotoar mulai bisa difungsikan sebagaimana seharusnya. Pasar Kebayoran Lama yang dulu sumpek sekali di ujung jalan raya Cileduk sekarang sudah lebih lega dilewati. Dulu, macet sekali di titik itu.

Aku juga melihat Fauzi Bowo agaknya berusaha sungguh-sungguh untuk membenahi Jakarta. Rumah-rumah non permanen di bantaran kali Ciliwung dirubuhkan. Pengambilan keputusan memang perlu pengorbanan. Sedu sedan, isak tangis penghuni rumah-rumah liar itu memang menyisakan gurat sakit di ulu hati. Tetapi rasa sakit ini terpaksa dipilih demi kepentingan yang lebih besar: menghindari banjir, mengurangi penularan penyakit, mencegah berjangkitnya penyakit-penyakit infeksi karena penduduk padat dan hidup berdesakan di kawasan yang buruk sanitasinya. Udara yang kotor karena barbagai macam gas yang terbentuk sebagai buangan aktifitasnya penduduknya.

Melintasi kawasan Jalan Deplu menuju Bintaro juga terlihat sungai yang (sering meluap jika hujan di kawasan Bogor) mulai tampak lancar mengalir.

Yang aneh kawasan Bintaro tidak seperti di iklan-iklannya, mulai padat. Rumah-rumah mulai sektor satu sampai sembilan penuh jadi toko, rumah makan, Café, salon, bengkel cuci mobil yang benar-benar menjadi area yang kurang menyenangkan untuk tinggal. Padahal, harga-harga rumah baru di kawasan ini dengan luas hanya 300m2 mencapai milyaran rupiah. (Kata orang: edan, biar semahal itu, rumah mungil itu ada yang beli lho). Tidak heran harga-harga rumah di Jakarta jauh lebih mahal bahkan dibanding Singapura dan Kuala Lumpur. Meski mahal, tinggal di kawasan Jakarta sudah sumpek berdirinya rumah makan, distro di kawasan Kemang, Fatmawati, Pondok Indah, Bintaro sungguh menjengkelkan. Rumah-rumah tinggal yang dulu asri itu sekarang riuh dengan mobil parker. Tak heran, para penghuni yang tadinya tak berniat menjual rumahnya yang terletak di pinggir jalan, jadi tidak merasa nyaman lagi tinggal disana. Rasanya Menteri Negara Perumahan perlu menindak Pengembang-pengembang yang banyak bohongnya di brosur-brosur perumahan yang dijualnya. Para pembeli awal menjadi rugi besar, padahal mereka dulu membeli karena suasana yang masih sunyi dan tenang. Dulu, Bintaro banyak dan luas kawasan hijaunya sekarang Perumahan yang pernah jadi Master piecenya Ciputra itu bagai sebuah kota yang sumpek. Macet, angkutan kota lalu lalang dan jumlahnya makin meningkat menimbulkan polusi. Apalagi di sektor 5 kalau hujan banjirnya hingga selutut! Juga dengan seenaknya pedagang-pedagang kaki lima masih ada yang menduduki trotoar, meski sudah disediakan Sektor 9 Walk di Bintaro sektor 9. AKu sungguh berharap pengembang Bintaro menghentikan didirikan rumah-rumah lagi, apalagi di kawasan serapan. Juga pengembang lainnya yang sering menempel di Bintaro Jaya. Cukup. Rumah hanya dengan 3 kamar mandi, satu kamar pembantu saja harganya sudah sangat mahal tapi hidup di kawasan yang udaranya tak lagi segar.

Juga, aku berharap jika kembali ke Jakarta lagi kelak. Kawasan taman-taman semakin ditingkatkan. Mengapa? Karena itu adalah investasi menabung udara segar, menabung air tawar yang baik dan juga memperindah kota dan membahagiakan penduduknya. Penduduk yang bahagia akan sehat dengan serta-merta.

Semoga kemacetan karena angkutan umum yang dengan seenaknya berhenti, ngetem menunggu penumpang ditindak tegas. Atau kurangi angkutan kota. Tidak mengapa menunggu. Waktu di London, saya suka menunggu Bas untuk pulang ke rumah di Catford. Kondekturnya seorang nyonya usia 60-an, ia akan menolak kami masuk jika dirasanya penumpang yang berdiri sudah lebih dari 4 orang. “Just wait the next bus please. No more standing..” katanya. Ah, kapan Jakarta seteratur London? Atau paling tidak seteratur Kuala Lumpur? Aku optimis jika Fauzi Bowo berani mengambil banyak langkah-langkah drastik maka hal itu akan terwujud tidak lama lagi. Semoga.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Jumat, 20 November 2009

DEMAM BERDARAH-DARAH

DEMAM BERDARAH-DARAH
oleh: Weka Gunawan (Family Health, Faculty of Medicine University Kebangsaan Malaysia)

(masih perlu dibaca!)

Tingkat kematian (case fatality rate) demam berdarah dengue (DBD) telah mencapai satu persen. Itu artinya, dalam 100 kasus demam berdarah ada satu orang meninggal dunia karenanya. Itu sebuah angka yang luar biasa! Kematian akibat DBD terjadi di mana-mana, bahkan di daerah yang pendapatan per kapita lokalnya lebih besar daripada daerah lain di Indonesia Timur.

DKI Jakarta yang kota metropolis jumlah penderita DBD sudah mencapai 2.518 orang. Itu tidak hanya menyerang masyarakat bawah, tetapi juga kelompok sosial di atasnya, contohnya artis Angel Ibrahim dan anak-anak sutradara film kenamaan Garin Nugroho. Belum lagi di beberapa daerah yang lain.

Kasus ini mendadak membuat semua orang di kalangan Dinas dan Departemen Kesehatan blingsatan. Belum lagi usai diwawancarai kanan-kiri, disibukkan dengan rapat-rapat yang tiada berujung tentang aviant influenza atau flu burung, Dirjen Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Umar Fachmi Achmadi kembali lagi jumpa pers dan “meneriakkan” ke semua jajaran kesehatan baik di tingkat puskesmas, rumah sakit maupun klinik-klinik swasta untuk bertindak cepat pada penderita yang datang dengan gejala demam tinggi, terutama untuk anak-anak diminta, segera memberikan infuse untuk mencegah renjatan.

Tak ayal Menteri Kesehatan Achmad Sujudi juga menyatakan bahwa kini demam berdarah telah menjadi kejadian luar biasa nasional yang memerlukan kesiagaan dan kesigapan semua pihak. Warga diminta tidak memandang remeh gejala demam panas dan menganggapnya cukup diberi obat penurun panas.

Warga diminta segera berobat ke tempat pelayanan kesehatan terdekat untuk memeriksakan diri dan menjalani pengobatan. Klinik dan rumah sakit wajib menangani masyarakat tanpa pengecualian! Meskipun imbauan ini seringkali terganjal dilapangan. Banyak warga yang tidak tertangani hanya karena tidak mampu membayar biaya perawatan dan obat-obatan.

Mitos virus dengue

Setiap kali wartawan mewawancarai kalangan kesehatan (sebelum kejadian luar biasa ini terjadi) apakah itu pejabat di pusat, daerah atau Kepala puskesmas tentang demam berdarah, selalu jawaban klasik yang dinyatakan yakni, “Ah biasa, ini siklus lima tahunan” atau “ Ah biasa, ini penyakit menjelang musim hujan, nyamuk-nyamuk serentak menetaskan telur-telurnya” atau “ Kita sudah siapkan program pengasapan dan pemberian bubuk abate (pembasmi jentik-jentik nyamuk) ke masyarakat, terutama di daerah-daerah endemic” atau “Ini sudah umum kami alami. Januari hingga Maret memang banyak sekali kasus DBD dan nanti April pasti sudah habis!”

Penanganan rutin dan merasa (berilusi) sudah melakukan segalanya untuk menangani demam berdarah menempel lekat di kepala para pelayan kesehatan publik itu. Jika itu jawaban dan tindakannya, maafkan saya harus mengatakan, inilah hasilnya akibat dari semua jawaban itu selama bertahun-tahun. Jika jawaban itu yang masih ada di kepala para pelayan kesehatan public, maka jangan heran jika sikluis lima tahunan menjadi tiga tahunan atau bahkan menjadi stau tahun. Bahkan kita akan mengalami kejadian luar biasa dengan jumlah penderita yang lebih besar lagi suatu saat jika pendekatan yang dilakukan masih tetap sama.

Pemanasan global

Virus dengue penyebab penyakit DBD ini adalah jenis arbovirus (arthropod-borne viruses) karena ia ditularkan oleh arthropoda yang kita kenal dengan nyamuk aedes aegypti. Badan Kesehatan Dunia bahkan menyebut DBD sebagai penyakit infeksi baru. Populasi yang terkena DBD, ketika WHO canangkan ini pada 1996, telah mencapai dua per lima dari jumlah penduduk bumi atau sekitar 2.500 juta orang dengan 95 persen menyerang anak-anak.

Pemanasan global yang terus terjadi akibat mencairnya es di kedua kutub di bumi ini menjadikan suhu lebih panas dan kelembaban tinggi yang mengakibatkan faktor inkubasi ekstrinsik (siklus dari telur menjadi larva kemudian menjadi nhyamuk) lebih cepat sehingga nyamuk-nyamuk ini dewasa dengan cepat meningkat populasinya. Nyamuk-nyamuk dewasa ini siap menularkan virus yang dibawanya ke mana saja tanpa pandang bulu.

Pemanasan global ini pun berpengaruh pada virus yang ada di dalam tubuh nyamuk yang turut mengalami mutasi, beradaptasi dengan lingkungannya. Seingat saya, dulu di awal 1990-an Pratiwi Sudharmono dan kawan-kawan telah berupaya membuat vaksin dengue ini. Kini penelitian itu entah telah sampai di mana. Namun, jika masih berlangsungalangkah bagusnya jika warga masyarakat juga tahu tentang kemungkinan ini: vaksinasi dengue untuk daerah-daerah endemic.

Suhu udara yang hangat, kelembaban nisbi dan tersedianya cukup air menyebabkan nyamuk-nyamuk mampu berkembang biak dengan mudah dan cepat. Maka, jangan heran di daerah-daerah dingin seperti subtropis penyakit demam berdarah juga menjangkiti penduduknya akibat pemanasan global. Nyamuk-nyamuk ini bermigrasi ke sana.

Bekerja samalah

Agaknya, model mental bahwa kesehatan hanya dibicarakan oleh orang kesehatan saja harus mulai berubah. Kesehatan adalah masalah kita semua. Menjadi sehat adalah keinginan kita semua tanpa kecuali. Maka, melihat ilustrasi yang saya kemukakan sebelumnya temntang aspek lingkungan dalam penyebaran vektor nyamuk ini, rasanya kita kini perlu mengikutsertakan semua pihak, tidak hanya di jajaran Departemen Kesehatan, misalnya dengan Dinas Meteorologi yang mampu mengamati perubahan suhu lingkungan, curah hujan, kelembaban atau perubahan alam lainnya.

Mungkin perlu juga diperhatikan hal-hal seperti bagaimana perhitungan ekologi lanskap, temperature optimal perkembang biakan vektor, demografi penduduk, migrasi penduduk, reservoir alami dan lainnya, untuk mengantisipasi perubahan karakter penyakit-penyakit tertentu. Karena ini penyakit global, rasanya kita perlu terus menginvestasikan waktu dan energy untuk bekerja sama tentang masalah penyakit arbovirus ini dengan negara-negara lain.

Sebagai orang yang berkecimpung di bidang kesehatan masyarakat maka kita tidak bertindak dan berbicara hanya ketika sebuah penyakit sudah menyerang tetapi bagaimana mencegah dan mengoptimalkan tubuh kita agar tidak terserang penyakit. Saya mengingatkan bahwa tantangan kita ke depan amat sangat banyak untuk masalah penyakit-penyakit infeksi ini.

Selain kita disibukkan dengan penyakit-penyakit batu HIV/AIDS, SARS, dan flu burung, maka yang belum juga usai kita tuntaskan adalah malaria, tuberculosis (TB), serta meski sudah ada Pekan Imunisasi Nasional yang begitu kita banggakan karena cakupannya yang luas-campak dan polio.Sekali lagi, jika nyamuk dan virus saja begitu fleksibelnya dengan perubahan di planet bumi ini, apakah kita manusia tidak mau juga berubah dan tetap punya model mental yang sama dari tahun ke tahun?

Investasikan waktu dan energi bukan ketika media memberitakannya atau tersinggung ketika media mengkritik, tetapi kini kita harus bergerak cepat untuk mengantisipasi dan tidak hanya dengan kalangan kesehatan saja. Kejadian luar biasa kali ini memang menyentak kita semua, namun kelak ketika media tidak lagi memberitakan ini semoga ini tetap menjadi agenda sungguh-sungguh, tidak hanya DBD, untuk menuju Indonesia Sehat 2020.

C.S.P. Wekadigunawan


Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat


Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta


Dimuat di Koran Tempo, Jumat 20 Februari 2004, halaman B7







Senin, 16 November 2009

My Baby Born!





My third baby Farren Hassan, Born in Kuala Lumpur March 9, 2009. Ya ALLAH, bless him always. Ameen.

My friends visited us in hospital Universiti Kebangsaan Malaysia (HUKM), actually, the hospital is my campuss aswell :-)) In this photo, there are: Farah, Farel, Dr.Nor Afiah, Dr.Zohreh, Dr.Firdawati, Dr.Mahin Gifari, Dr.Lily, Sukriya and Aisyah..and of course the baby born inside the box..:-))


Sabtu, 14 November 2009

WEKA GUNAWAN is preparing a new book

Biografi penulis Merpati di Trafalgar Square & Keren tanpa NARKOBA


Picture Courtessy: KORAN TEMPO

Weka Gunawan mempunyai nama lengkap Çri Sajjana Prajna Wêkādigunawan. Lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Setelah genap empat tahun memimpin Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas INDONUSA Esa Unggul Jakarta sejak tahun 2002 hingga Juli 2006, ia memutuskan untuk bersekolah kembali untuk meraih gelar PhD di Fakultas Kedokteran Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) di Kuala Lumpur Malaysia. Bidang yang diambilnya adalah Kesehatan Keluarga. Weka Gunawan mempunyai kepedulian yang besar pada situasi kesehatan di Indonesia. Ia bercita-cita untuk membuat buku yang populer tentang kesehatan. Bukunya KEREN TANPA NARKOBA (diterbitkan Grasindo Juli 2006) mencatat penjualan lebih dari 50 ribu kopi di seluruh Indonesia hingga bulan Juli 2007.

Buat Weka, jika berhasil mendorong perilaku sehat melalui buku-bukunya sudah merupakan kebahagiaan buatnya.

Weka Gunawan pernah menjadi pembicara di Temu Ilmiah I Himpunan Obstetri Ginekologi Indonesia (HOGSI) di Malang Jawa Timur tahun 2008, 2nd International Conference on Reproductive Health Management (ICRHM) di Bali tahun 2008, 42nd Annual Meeting BSA Medical Sociology di University of Sussex, Brighton, United Kingdom tahun 2008 dan 40th APACPH Annual Conference di Kuala Lumpur Malaysia tahun 2008. Ia juga pernah memperoleh predikat Fun, Fearless and Female dari Majalah wanita Cosmopolitan pada tahun 2001. Juga memperoleh award dari Bill and Melinda Gates Foundation untuk mengikuti Strategic Leadership in Reproductive Health Course yang diselenggarakan John Hopkins University USA pada tahun 2000 dan 2001.

Ini adalah buku Kumpulan Cerpennya yang kedua setelah Merpati di Trafalgar Square (Grasndo,September 2004) buku ini pun telah cetak ulang.

Weka pernah Wakil Sekjen Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI). Jabatan ini telah disandangnya dua kali yakni pada tahun 1996-2004 dan tahun 2004 sampai 2006. Ia konsisten dalam perannya sebagai Health Promoter sejak tahun 1991, dimanapun ia bekerja. Pernah di laboratorium genetik RS Dr Soetomo Surabaya, dosen di Bagian Anatomi dan Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, penyiar di TVRI Surabaya juga reporter kesehatan dan Koordinator Peliputan bidang IPTEK dan Kesehatan di RCTI dan Executive News Producer di Trans TV. Menjadi dosen di mata kuliah Komunikasi Kesehatan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia juga untuk mata kuliah System Thinking dan Learning Organization di program pasca sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit (KARS) Universitas Indonesia. Juga menjadi pengajar tamu di beberapa institusi pendidikan seperti di Akademi Gizi Hang Jebat Jakarta Selatan dan Akademi Gizi di Mataram Lombok Nusa Tenggara Barat.

Televisi memang media yang mengasahnya menjadi mandiri dan banyak pengalaman baik di seluruh daerah di Indonesia maupun di luar negara. Sejak di TVRI Surabaya saat menjadi mahasiswa di Universitas Airlangga, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang juga membuatnya menjadi Reporter Istana  yang telah memperoleh kartu hijau (kala itu susah sekali untuk menjadi reporter istana), ia ikut menyertai beberapa perjalanan Kepala Negara ke luar negara. Weka Gunawan juga presenter, pembaca berita untuk Nuansa Pagi dan Seputar Indonesia dan kemudian Trans Corp (cikal bakal Trans TV dan Trans 7) mengajarkannya bagaimana membuat sebuah stasiun televisi!

Merpati di Trafalgar Square
Grasindo 2004

Comments at back cover

Terimakasih banyak pada bang Ashadi Siregar (motivator penulisan buku ini), pak Taufik Ismail yang berkenan memberikan apresiasinya pada buku pemula ini, pak Ishadi S.K (President Direktur Trans Corp) yang senantiasa mendukung penulis dimanapun berada, mas Arswendo Atmowiloto yang dengan gaya lugasnya memotivasi saya untuk terus menulis, mbak Dana Iswara, kakak sekaligus teman yang enak diajak bicara, juga temanku yang jelita Sandrina Malakiano, meski saat itu sangat sibuk, beliau meluangkan waktu untukku. 

Tentu saja karena Tuhanlah semua ini terjadi. Terimakasih Ya ALLAH.


Selasa, 10 November 2009

PESONA MENCIPTA by Dr. Weka Gunawan

Pesona Mencipta
By. Dr.Weka Gunawan,
Family Health, Faculty of Medicine National University of Malaysia

Saya baru saja mendapatkan majalah Pesona dari seorang kawan dekat. Ada tiga buah tulisan dalam majalah itu menarik perhatian saya, yakni: ‘Aku ada maka aku mencipta’ oleh Debra H Yatim, Bumi yang gelisah oleh Karlina Supelli dan Aku belajar berenang di usia 37 tahun! Oleh Eliza Jane Ardaneshwari.

Ya, sebagai wartawan RCTI dan Trans TV di suatu masa, saya tahu Debra H Yatim dan Karlina Supelli. Terakhir berjumpa Debra di sebuah acara di Trans TV beberapa tahun silam dan Karlina Supelli dulu masuk program kami Buletin Siang di RCTI dan memimpin Gerakan Ibu di Bunderan HI dan kemudian ditangkap aparat. Saat itu gonjang-ganjing reformasi.
Debra berkisah ia menemukan sebuah buku hasta karya dengan tokoh di dalam buku itu bernama Lola. Menariknya buku itu ditujukan untuk anak usia 7 – 10 tahun. Debra setiap hari asyik mengisi buku itu.

Membaca tulisan Debra ini mengingatkan kita semua, bahwa kalau kita berbuat sesuatu maka sangatlah menyenangkan jika tidak terbebani apapun. Kita tak perlu mengharapkan hasil akhirnya seperti apa kala melakukan proses mencipta. Merangsang daya cipta adalah dengan berbuat, dan Allah Sang Khalik menciptakan kita semua memang untuk mencipta (apapun itu) sebagai syarat menjadi Khalifah di bumi yang indah ini. Betapa banyak proses penciptaan menghasilkan kejutan-kejutan menarik: penemuan listrik, menghasilkan penicillin, dan semacamnya. Proses, proses, proses, itu mengundang keasyikkan dan seperti kata Debra, Tuhan pun mungkin tersenyum melihatnya. Ketika kita fokus pada hasil akhir maka kita seringkali malas memulai sesuatu: “Malas ah, mending beli saja”, “Malas ah, repot, buat apa kalau tidak menghasilkan uang? Buang waktu saja!”. Fokus pada tujuan akhir juga membuat kita tidak menikmati proses, “Kapan ini berakhir?”dan keluhan lain. Sehingga hasil yang didapat dari sebuah proses yang penuh keluh kesah adalah jelek belaka.

Karlina yang Doktor filsafat menulis: Gempa bumi adalah peristiwa alam sebagaimana angin, hujan. Sia-sia menuntut Bumi mematuhi hokum manusia. Manusia seharusnyalah memahami bagaimana alam bekerja dan patuh pada kaidahnya. Mengutip Rosseau yang berkomentar saat Voltaire meraung dan menyalahkan alam saat bencana di Lisbon: “Bukan alam yang membangun 26 ribu rumah bertingkat-tingkat. Keputusan manusialah yang mengubah peristiwa-peristiwa alam menjadi malapetaka yang mengerikan.

Yang ketiga adalah tulisan Eliza Jane, tulisannya menarik. Mengapa? Ia menginspirasi saya yang sudah uzur ini untuk belajar berenang. Terus-terang saya bisa berenang tetapi sungguh aneh saya tidak pernah bisa mengambil nafas di kala berenang. Nyaris setiap petang, di kolam renang apartment kami di Cemara di Kajang Selangor, saya berenang dengan anak-anak saya. Saya bisa membenamkan muka ke dalam air dan berenang hingga ke tepi kolam lainnya yang sekitar 20 meter bolak-balik tapi tanpa mendongakkan kepala. Ya, saya selalu takut karena saat mengambil nafas badan saya langsung melorot ke dalam air alias tenggelam! Maka, meski usia saya sudah tidak muda lagi saya merasa tertantang dengan tulisan Eliza ini untuk les berenang lagi.

Ketiga tulisan itu bermuara sama yakni manusia adalah pengambil keputusan pada apa yang ingin dialaminya. Allah SWT memberikan begitu banyak pilihan, mengaruniai kita: waktu, akal, energi dan kreatifitas untuk menentukan kebahagiaan kita. Seseorang pernah mengingatkan tentang ‘Personal Mastery”. Ia mengatakan sungguh penting menghargai dan berjuang untuk ‘non material resources’ seperti waktu, energi, ilmu pengetahuan, kreatifitas, relijiusitas, kejujuran, kesehatan. Dengan itu semua ternyata mudah mencapai kebahagiaan dan kekayaan. Percaya atau tidak?

Saya percaya, mengapa? Karena saya bahagia bisa menulis ini,bersyukur pada Allah SWT dikaruniai memanfaatkan waktu kala menanti seseorang datang. Maka, saya mencipta maka saya ada.

November 10, 2009. Hari Pahlawan (Ingat di Surabaya pasti seru dengan melek-an di Karang Taruna)