www.wkgunawan.blogspot.com

Rabu, 30 September 2009

When I see sadness......by:Weka Gunawan

Kemalangan yang kutemui…
Oleh: Weka Gunawan

600 orang mati dalam perjalanan mudik selama kurang dari 2 minggu di Indonesia. Mayoritas yang meninggal dunia itu adalah penumpang dan pengendara sepeda motor. Betapa mengenaskannya negara yang kaya raya ini. Betapa zalimnya kami yang lebih beruntung ini melihat dengan mata kepala sendiri kematian yang terus menerus di sekitar kami. Bukan saja karena bencana alam, dan ketidakmampuan kami mengelola korbannya.

Kami juga tahu betapa banyak kematian karena biaya-biaya rumah sakit yang mahal. Kami juga tahu Puskesmas yang seharusnya menjadi alat kemanusiaan dan mengayomi orang-orang yang tak mampu malah digenjot menjadi penghasil pendapatan asli daerah. Kematian dan kelaparan di sekitar kami. Sawah-sawah dan lahan-lahan hijau terus berganti atas nama pembangunan, berubah menjadi perumahan-perumahan yang luar biasa tak adil kepada pembelinya. Rumah terbanyak yang dibangun dengan disain indah itu selalunya hanya berkamar tidur satu buah dan berkamar mandi satu buah. Harganya? Selangit! Hanya untuk gengsi tinggal di sebuah perumahan orang-orang pun rela bersempit-sempit. Sehingga tetap saja tidak layak huni. Para petani gigit jari, karena lahan-lahan mereka dijual lebih dari 100 kali lipat dari harga awal ketika dibeli dari mereka. Mereka mengungsi ke Jakarta. Menjadi buruh ini dan itu demi sesuap nasi. Kota ibu negara yang makin berat mengurai kesumpekan di dalamnya.

Yahukimo kelaparan, sama persis seperti kematian karena kelaparan di Papua tahun 1997. Bedanya pada tahun 1997, masalah itu relatif teratasi. Kebakaran 750 rumah di Jakarta, tanpa kami tahu bagaimana menjelaskannya mengapa itu terjadi dan bagaimana kami dapat membantu meringankan korbannya. Kami sibuk memenuhi selera anak-anak kami, keluarga kami untuk menginap di hotel-hotel mewah sehingga mencecah RM.1000 per malam. Kemudian dengan mulut berbuih menceritakannya kepada sanak-kerabat melalui apa saja tak terkecuali e-mail, facebook dan lainnya bahwa kami telah pun menginap di hotel-hotel mewah itu sekelas dengan kaum jetset dan para petinggi negara. Kami telah sukses dalam kehidupan duniawi kami, kami kaya raya. Kami mendapat pujian. Kami senang mampu menerbitkan rasa iri hati pada orang-orang yang masih berusaha mencapai kemakmuran, orang-orang kelas menengah yang menganggap kesuksesan berarti uang (utang?) banyak.

Juga dengan menceritakan kemewahan masa mudik kami, nafsu kami mengharapkan penghormatan dari kawan , ayah dan ibu, sanak dan kerabat kami. Betapa malangnya pikiran-pikiran rendah itu merasuki kami…
Setiap orang di negara kaya ini bernafsu untuk memeras sesamanya. Musim perayaan, harga-harga hotel melejit naik, makanan-makanan di restoran ada istilah Harga Edisi Lebaran di sepanjang jalan mudik, harganya harga makanan di café-café di Jakarta. Bahan-bahan keperluan pokok diserahkan ke pasar, tak mampu dikawal, melejit naik. Harga-harga tiket Bus dan Kereta Api naik luar biasa sehingga mereka memilih naik sepeda motor dengan bayi, balita dan anak-anak mereka. Resikonya sudah jelas sejak awal mereka berangkat: rentannya kecelakaan, angin kencang yang tak ramah pada balita dan kematian karena sakit dan kemalangan. Toilet-toilet di SPBU dan perhentian lainnya meminta bayaran Rp.1000 per orang tetapi betapa buruknya fasilitas yang mereka dapatkan. Kamar mandi yang bau, kotor, tidak ada penerangan yang benderang dan air yang tidak deras mengalir. Mushola pun, tempat mereka menyembah Sang Khalik, karpetnya bau dan lantainya kotor. Tak ada niat bahwa membersihkan rumah sembahyang yang memberikan balasannya adalah Allah SWT. Dan Allah tidak tega membalas hanya dengan 1000 rupiah (RM0.30/ 30 sen). Tetapi manusia mengabaikan mukjizat, mereka mencari yang tampak: 1000 rupiah di tangan tanpa perlu bersusah payah, toh para pengunjung (yang seharusnya dilayani) tak pernah protes!

Toko-toko penjual oleh-oleh tidak mencantumkan harga. Setelah sampai di kasir barulah harganya mencengangkan mata. Kami gengsi untuk tidak membayar. Kami malu untuk cibiran sesaat para pelayan itu. Para pelayan pun bergaya ala bos (?), tanpa senyum dan berat mengucapkan terimakasih pada pengunjung. Wajah-wajah cantik di penyedia jasa pulsa seluler di sepanjang jalur mudik juga payah dalam berterimakasih. Wajah-wajah cantik itu kononnya dibayar 250 ribu perhari. Wajah-wajah cantik itu melotot dan mulutnya menganga (untung tidak sampai meneteskan liur) melihat tas-tas dan sepatu sebagian pengunjung yang mewah dan kulit mereka yang kinclong bukan karena make-up tetapi perawatan yang mahal setiap bulan. Tak heran mereka dengan gaya menggelikan mengibas-ngibaskan telepon seluler mereka bermerek black berry. Nafsu mereka mengarahkan bahwa kami akan kagum dengan blackberry itu? Betapa malangnya pikiran mereka.. Harga kebanggaan mereka cuma sampai di handphone. Sama dangkalnya pikiran kami dengan mereka.

Kami berada di dalam mobil kami yang nyaman dan lapang, hanya senang berucap,”Kasihan bayinya. Aduh, mengapa anaknya tidak diikat bersama dengan ayahnya yang mengendarai sepeda motor, supaya kalau mengantuk tidak jatuh? Aduh, mengapa sih nekat untuk tetap mudik padahal masih punya anak balita? dan lontaran kalimat senada” Kami tak mau tahu bahwa mereka memutuskan mudik dengan seribu satu alasan, dan kami tidak berhak menghakimi keputusan mereka. Bahkan kami seharusnya tidak boleh menertawakan alasan mereka mudik dengan situasi yang penuh resiko itu. Kami toh tidak mau berbuat apapun. Takut repot, membuang waktu, energi dan uang. Mereka kan orang lain bukan keluarga kami. Biar saja, tanggung sendiri.

Kami dengan tawa kami sepanjang jalan dan menyanyi-nyanyi:” Di sini senang, di sana senang”. Kami tak peduli bahwa kemalangan-kemalangan demi kemalangan akan terus berada di sekitar kami. Juga pada mudik lebaran tahun depan… tak cukup dengan 600 orang mati? Apakah kami akan merencanakan ribuan orang mati pada musim mudik tahun depan?

Ya Allah, tak heran kemalangan terus terjadi. Kami menzalimi sesama kami, terus-menerus dan dengan sadar…
Jakarta, 29 September 2009

(usai mudik menempuh perjalanan dari Jakarta – Yogja – Surabaya – Lamongan – Pekalongan – Jakarta)

Rabu, 02 September 2009

INDONESIA AND MALAYSIA RELATIONSHIP

Sempadan Republik Indonesia dan Malaysia
Oleh: Dr.Weka Gunawan, Family Health, Faculty of Medicine, National University of Malaysia

Sungguh, saya baru tahu bahwa Malaysia telah mempromosikan sebuah pulau di kepulauan Riau menjadi salah satu destinasi pelancongan negeri Selangor. Sebuah langkah-langkah yang mirip seperti yang pernah Malaysia lakukan saat mengakuisisi pulau Sipadan dan Ligitan. (Meski kononnya sebenarnya ini masih bisa digugat kembali karena rakyat Ligitan dan Sipadan mengatakan bahwa mereka sangat bangga dan mencintai tanah air mereka Indonesia. Pemilihan Umum kecil (jajak pendapat) di daerah itu ketika itu kononnya penuh kecurangan, rakyat lokal tidak memahami maksud jajak pendapat kala itu). Saya juga baru tahu bahwa hari-hari ini media di Indonesia penuh dengan pertanyaan-pertanyaan kepada Pemerintah apa langkah-langkah untuk menjaga kedaulatan Negara Republik Indonesia. Maklum di sini, di Malaysia, tak ramai rakyat yang mengetahui sepak terjang pemerintahnya. Tidak ada sedikitpun beritanya di televisi. Tetapi tentu saja orang-orang media di kantor mereka juga kasak-kusuk sendiri. Berita-berita di televisi adalah berita-berita yang diulang-ulang bahkan yang dua hari sebelumnya. Tidak menarik (ga seru). Tidak ada ‘update’ seperti yang kita buat di Indonesia. (Jadi terharu dulu rapat redaksi sampai lima kali sehari).

Media umum tidak ada sedikitpun menyinggung masalah yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia. Rakyat bahkan buta tentang peran Indonesia bagi kemajuan Malaysia. Rakyat tidak tahu bahwa kemajuan Indonesia-lah yang menginspirasi tokoh-tokoh politik dan alim-ulama Malaya pada jaman dahulu. Mereka misalnya tidak tahu bahwa Indonesia itu merdeka pada tahun 1945 dan nama Indonesia itu sudah berdengung dalam sumpah pemuda pada tahun 1928.(Kami rakyat Indonesia, bertanah air satu, tanah air Indonesia, kami rakyat Indonesia berbahasa satu, bahasa Indonesia, kami rakyat Indonesia berbangsa satu, bangsa Indonesia!). Sedangkan Malaya baru merdeka tahun 1957, mendapatkan nama Malaysia baru pada tahun 1963 ketika Sabah, Sarawak dan Singapura dipaksa bergabung. Lalu baru sadar: 1 Bangsa Malaysia, 1 Malaysia ya tahun 2009 ini. Jadi memang kurang asem ya kalau mereka sebut kita, “Indon”.

Ribuan orang Indonesia menyeberang lautan setiap tahun untuk mengais rejeki. Tidak hanya ke Malaysia tetapi juga ke Singapura, Hongkong, Timur Tengah dan bahkan ke Amerika dan Eropa. Sebenarnya ini tamparan keras untuk pemerintah Indonesia untuk segera berbenah diri. Rakyat Indonesia memang mudah untuk bicara di media apa saja, sesukanya. Tetapi apakah keluhan mereka segera ditangani? Jangan harap! Kecuali media memberitakannya besar-besaran barulah mendapat perhatian. Ribuan orang Indonesia kecewa dengan orang-orang yang seharusnya mengayomi rakyatnya. Saya mengalaminya, meski saya sudah bercerita dengan seorang wakil rakyat tentang masalah saya tak ada jawaban pun sampai sekarang. Mengapa? karena masalah saya masalah ‘ecek-ecek’. Tidak melibatkan misalnya uang triliunan rupiah. Tetapi di Malaysia, jangan heran kalau ada kedai yang menjual makanan terlalu mahal, es milo dijual mahal, rakyat cukup mengirim s-m-s dan tidak sampai sehari pemerintah negeri sudah memberikan tanggapan. Padahal itu cuma masalah uang beberapa sen. Ijin berniaga kedai tersebut bisa dihentikan. Korupsi benar telah mencapai 30% (Statistik Badan Integriti Nasional), dan pemerintah disini segera melakukan langkah-langkah. Semua hak rakyat memang diberikan, dan kalau ditanya ke rakyat biasa di Malaysia “Kami bertuah duduk kat sini.. bekalan air ditaja, bekalan listrik disubsidi, ayam daging dikawal harganya sehingga tidak naik di musim perayaan, gula tepung pun disubsidi…” Demikian pula harga obat-obatan betapa banyak obat yang masuk dalam harga kawalan Pemerintah. Sampai sedih hati saya mengingat rakyat-rakyat Indonesia yang mempertaruhkan nyawanya ke dukun-dukun anak-anak (ajaib?) hanya karena tidak bisa membayar biaya ke Puskesmas. (Pemda seharusnya tidak menjadikan Puskesmas sebagai sarana mendapatkan pendapatan daerah). Jika triliunan rupiah dengan suka cita dikeluarkan untuk merebut kekuasaan mengapakah menjadi berat jika itu untuk rakyat?

Banyak pelajaran yang seharusnya segera dilakukan aksi. Tidak hanya mengobarkan kebencian. Bagaimana menjaga hak adi luhung budaya, menjaga hak intelektual, menjaga orang-orang cerdas di negeri ini untuk mendapat kepercayaan sepenuhnya tanpa dibebani hal-hal yang tidak berkenaan, menjaga pulau-pulau dan rakyat yang mendiaminya. Memberantas korupsi dengan sungguh-sungguh. Berlaku adil seadil-adilnya di depan hukum. Taat dan takut pada Sang Khalik seperti yang sering para pemimpin ucapkan. Ada koherensi antara hati, ucapan dan yang dilaksanakan.
Dua hari lalu, di tayangan TV1 (RTM1) ada liputan tentang tentara Malaysia dan Indonesia melakukan penjagaan bersama di sempadan ke dua negara. Dalam tayangan itu saya melihat bahwa mereka berolah-raga bersama, main permainan local bersama bahkan berbuka puasa bersama. Terlihat rukun dan damai. Entah itu penggambaran diambil kapan tetapi seakan-akan itu terjadi pada ramadhan kali ini.

Saya ingat, ada orang bijaksana berpesan: Kita tidak bisa mengubah orang lain atau situasi, tetapi kita dapat mengubah cara pandang kita dalam menghadapi orang lain atau situasi tersebut. Saya kira makin cepat kita beraksi makin cepat masalah diatasi. Letih sudah berwacana, letih sudah dibakar rasa marah.

Salam damai (for world peace),
Weka Gunawan
URL:http/www.gunawanweka@blogspot.com
di Hospital Universiti Kebangsaan Malaysia

CONFUSING LANGUAGE

I can't hold myself to write about Indonesia and Malaysia, so I give you all 2 writings about that issue.

First title is Confusing Language and the second title is: SEMPADAN RI MALAYSIA AND INDONESIA (Indonesia and Malaysia relationship). So just enjoy the writings.

Keliru berbahasa
(Confusing Language)
Oleh: Dr.Weka Gunawan
(Family Health, Faculty of Medicine Universiti Kebangsaan Malaysia)

Apa yang menyenangkan saat menginjakkan kaki di bumi Malaysia? Bahasa! Ya Bahasanya terdengar unik. Jika mereka menjawab pertanyaan kita menggunakan bahasa Melayu (sekarang bahasa Malaysia) maka pada awalnya kita akan meminta mereka mengulangi kembali jawabannya saking cepatnya mereka berbicara. Sudah begitu malangnya bahasa Malaysia tidak baku dalam penggunaannya. Mulai dari Johor, Negeri Sembilan, Selangor sampai di ujung Semenanjung Malaysia yakni Kelantan bahasa Melayu yang digunakan jauh berbeda penggunaannya. Hal ini diperparah dengan gaya anak mudanya yang mencampur baurkan bahasanya dengan bahasa Inggris.

“I nak letak kereta dekat townhouse sana” “Regardless bangse cine ke, India ke, melayu ke, tak payah bising-bising…” “For God sake, Abang, jangan tuduh saye cam tu” dan sebagainya .

Tetapi, mereka memang menggunakan istilah Inggris untuk berbahasa. Juga ketika mengeja huruf: e bi si di ie ef ji dan seterusnya. Prof.Rossa, seorang guru besar di Universitas Indonesia pernah mengernyitkan kening dan tampak kurang senang saat ia bertanya, “Dimana ambil S-3nya?”, saya jawab, “Yu ke em” sungguh tidak bermaksud ‘gaya’ saya terpengaruh orang Malaysia yang demikian menyebut namanya Universitas Kebangsaan Malaysia tersebut. Sudut bibirnya pun menyungging senyum ke bawah. Mengejek. Saya tersadar.

Jadi bahasa Inggris di Melayukan seperti: epal untuk apple, stesen untuk station, berus untuk brush, selipar untuk slipper, dan lain sebagainya. Jangan heran jika makcik-makcik dan abang-abang di pasar-pasar dengan lancar berbicara,”Tak sure lah” “So, cam mane nak ape lagi?”

Kawan saya bu Elly, mengalami hal lucu saat sedang duduk di dalam Bus Rapid KL. Ia disapa oleh ibu-ibu yang lebih berumur,” Awak duduk kat mane?” Bu Elly dengan wajah polos menjawab,”Duduk dimana-mana saja, Mak Cik saya suka” Ibu-ibu itu segera memperlihatkan mimik wajah kurang suka pada Ibu Elly. Mengapa mereka tidak suka, belakangan kami baru tahu arti kata “duduk” yang berarti “tempat tinggal”. Ia menanyakan dimana rumah bu Elly , dan ia menganggap bu Elly wanita kurang baik karena suka tinggal dimana-mana tidak punya rumah tetap. Sementara bu Elly mengira ia bertanya soal tempat duduk di bus.

Seorang kawan lain mengalami salah paham soal bahasa ini. Indah, seorang mahasiswa tingkat ijazah mendapat telpon dari kawan Malaysianya,”Saye jemput ye pukul 8 dekat rumah ada majlis hari jadi saye”. Indah betul-betul menunggu dijemput pada pukul 8 malam itu. Sayangnya “menjemput” artinya adalah mengundang. Sehingga Indah memang harus gigit jari, semalaman kawannya tak muncul juga.

Coba baca pengumuman di poster yang dipasang di kampus:
Semua dijemput hadir ke bazaar Konvokesyen ke 37 UKM. Masuk adalah percuma. Di Indonesia, percuma bermakna ‘gratis’ atau ‘tidak membayar apapun’ sudah lama tidak kita gunakan. Kata ‘percuma’ sekarang bermakna ‘sia-sia’.

Tetapi jangan heran bahwa bahasa kita pun terasa lucu oleh beberapa kawan Malaysia. Zuhaya, sahabat dekat saya berkunjung ke rumah kami. Anak beliau Atiq yang berusia 10 tahun tersenyum saat melihat sinetron Indonesia yang diputar di TV. “Mak, kelakar sangat Zoo mereka cakap Kebun Binatang macam pokok tanaman lah” artinya: “Mak, lucu deh Zoo mereka bilang Kebun binatang. Binatang kok di kebun seperti tanaman saja”. Ketika saya mengajak bayi saya, “Ayo bobo” Norriah kawan saya mengatakan,”Tido ya kak Weka. Kelakar yer”

Saya melangkah menuju tempat parkir perumahan kami, seorang tetangga menyapa,”Nak kemane, Puan? Makan angin yer? Seronok makan angin kan musim cuti ni..” artinya: “Mau kemana Nyonya? Jalan-jalan ya? Asyik ya jalan-jalan musim libur ini”.

Bahasa Melayu identik dengan warga Melayu. Yang dimaksud Melayu di Malaysia bukan saja warga dari etnis Melayu (Sumatra dan Kalimantan: Banjar) tetapi juga dari etnis Jawa, Bugis, Madura. Etnis lainnya India dan Cina seringkali terdengar tak bagus dalam berbahasa Melayu. Mungkin untuk membuat etnis Cina dan India merasa memiliki bahasa itu maka sejak tahun 2007 dikatakan bahwa itu bahasa Malaysia (dengan slogan keranamu Malaysia, Malaysia awakening dalam rangka Hari jadi Kemerdekaan). Kini tahun 2009 pemerintah pusat terus mendengungkan slogan baru: satu Malaysia, satu bangsa Malaysia. Bayangkan mereka baru mendapat nama Malaysia itu pada tahun 1963 ketika Singapura, Sabah dan Sarawak dipaksa bergabung, sebelumnya adalah Malaya. Bahkan guru bahasa Melayu saya Puan Azilla, ketika saya bilang bahwa yang ada adalah Semenanjung Malaya bukan Semenanjung Malaysia, beliau bersikeras tidak ada. Ramai rakyat Malaysia tidak tahu sejarah yang sesungguhnya.

Pelajaran sains dan matematika yang tadinya dengan pengantar bahasa Inggris sekarang mulai ditinggalkan. Mungkin pemerintah juga khawatir jika bahasa Melayu tak digunakan dengan baik maka akan semakin buruk. Anak-anak muda lebih suka berbahasa Caca Merba (campur baur dengan bahasa prokem, bahasa etnis dan bahasa Inggris) hal ini tercermin dari drama-drama dan film-film yang mereka buat. Tetapi susah pula disalahkan kaum belia karena mereka melihat tokoh-tokoh politik di media terutama di televisi bahasanya tidak baku, selalu bercampur baur dengan dialek daerah (kampung halamannya), dan bahasa Inggris yang juga tak bagus karena dialek etnis India dan Cinanya.

Anak-anak muda Malaysia tidak lagi pandai bercakap bahasa Melayu sebagus di film-film lama yang dibintangi P.Ramlee, disitu terlihat budaya Melayu yang santun, lemah lembut dan tidak suka mengambil hak-hak orang lain apalagi menganiayanya. Merdeka!
Cheras Kuala Lumpur Agustus 2009.