Kemalangan yang kutemui…
Oleh: Weka Gunawan
600 orang mati dalam perjalanan mudik selama kurang dari 2 minggu di Indonesia. Mayoritas yang meninggal dunia itu adalah penumpang dan pengendara sepeda motor. Betapa mengenaskannya negara yang kaya raya ini. Betapa zalimnya kami yang lebih beruntung ini melihat dengan mata kepala sendiri kematian yang terus menerus di sekitar kami. Bukan saja karena bencana alam, dan ketidakmampuan kami mengelola korbannya.
Kami juga tahu betapa banyak kematian karena biaya-biaya rumah sakit yang mahal. Kami juga tahu Puskesmas yang seharusnya menjadi alat kemanusiaan dan mengayomi orang-orang yang tak mampu malah digenjot menjadi penghasil pendapatan asli daerah. Kematian dan kelaparan di sekitar kami. Sawah-sawah dan lahan-lahan hijau terus berganti atas nama pembangunan, berubah menjadi perumahan-perumahan yang luar biasa tak adil kepada pembelinya. Rumah terbanyak yang dibangun dengan disain indah itu selalunya hanya berkamar tidur satu buah dan berkamar mandi satu buah. Harganya? Selangit! Hanya untuk gengsi tinggal di sebuah perumahan orang-orang pun rela bersempit-sempit. Sehingga tetap saja tidak layak huni. Para petani gigit jari, karena lahan-lahan mereka dijual lebih dari 100 kali lipat dari harga awal ketika dibeli dari mereka. Mereka mengungsi ke Jakarta. Menjadi buruh ini dan itu demi sesuap nasi. Kota ibu negara yang makin berat mengurai kesumpekan di dalamnya.
Yahukimo kelaparan, sama persis seperti kematian karena kelaparan di Papua tahun 1997. Bedanya pada tahun 1997, masalah itu relatif teratasi. Kebakaran 750 rumah di Jakarta, tanpa kami tahu bagaimana menjelaskannya mengapa itu terjadi dan bagaimana kami dapat membantu meringankan korbannya. Kami sibuk memenuhi selera anak-anak kami, keluarga kami untuk menginap di hotel-hotel mewah sehingga mencecah RM.1000 per malam. Kemudian dengan mulut berbuih menceritakannya kepada sanak-kerabat melalui apa saja tak terkecuali e-mail, facebook dan lainnya bahwa kami telah pun menginap di hotel-hotel mewah itu sekelas dengan kaum jetset dan para petinggi negara. Kami telah sukses dalam kehidupan duniawi kami, kami kaya raya. Kami mendapat pujian. Kami senang mampu menerbitkan rasa iri hati pada orang-orang yang masih berusaha mencapai kemakmuran, orang-orang kelas menengah yang menganggap kesuksesan berarti uang (utang?) banyak.
Juga dengan menceritakan kemewahan masa mudik kami, nafsu kami mengharapkan penghormatan dari kawan , ayah dan ibu, sanak dan kerabat kami. Betapa malangnya pikiran-pikiran rendah itu merasuki kami…
Setiap orang di negara kaya ini bernafsu untuk memeras sesamanya. Musim perayaan, harga-harga hotel melejit naik, makanan-makanan di restoran ada istilah Harga Edisi Lebaran di sepanjang jalan mudik, harganya harga makanan di café-café di Jakarta. Bahan-bahan keperluan pokok diserahkan ke pasar, tak mampu dikawal, melejit naik. Harga-harga tiket Bus dan Kereta Api naik luar biasa sehingga mereka memilih naik sepeda motor dengan bayi, balita dan anak-anak mereka. Resikonya sudah jelas sejak awal mereka berangkat: rentannya kecelakaan, angin kencang yang tak ramah pada balita dan kematian karena sakit dan kemalangan. Toilet-toilet di SPBU dan perhentian lainnya meminta bayaran Rp.1000 per orang tetapi betapa buruknya fasilitas yang mereka dapatkan. Kamar mandi yang bau, kotor, tidak ada penerangan yang benderang dan air yang tidak deras mengalir. Mushola pun, tempat mereka menyembah Sang Khalik, karpetnya bau dan lantainya kotor. Tak ada niat bahwa membersihkan rumah sembahyang yang memberikan balasannya adalah Allah SWT. Dan Allah tidak tega membalas hanya dengan 1000 rupiah (RM0.30/ 30 sen). Tetapi manusia mengabaikan mukjizat, mereka mencari yang tampak: 1000 rupiah di tangan tanpa perlu bersusah payah, toh para pengunjung (yang seharusnya dilayani) tak pernah protes!
Toko-toko penjual oleh-oleh tidak mencantumkan harga. Setelah sampai di kasir barulah harganya mencengangkan mata. Kami gengsi untuk tidak membayar. Kami malu untuk cibiran sesaat para pelayan itu. Para pelayan pun bergaya ala bos (?), tanpa senyum dan berat mengucapkan terimakasih pada pengunjung. Wajah-wajah cantik di penyedia jasa pulsa seluler di sepanjang jalur mudik juga payah dalam berterimakasih. Wajah-wajah cantik itu kononnya dibayar 250 ribu perhari. Wajah-wajah cantik itu melotot dan mulutnya menganga (untung tidak sampai meneteskan liur) melihat tas-tas dan sepatu sebagian pengunjung yang mewah dan kulit mereka yang kinclong bukan karena make-up tetapi perawatan yang mahal setiap bulan. Tak heran mereka dengan gaya menggelikan mengibas-ngibaskan telepon seluler mereka bermerek black berry. Nafsu mereka mengarahkan bahwa kami akan kagum dengan blackberry itu? Betapa malangnya pikiran mereka.. Harga kebanggaan mereka cuma sampai di handphone. Sama dangkalnya pikiran kami dengan mereka.
Kami berada di dalam mobil kami yang nyaman dan lapang, hanya senang berucap,”Kasihan bayinya. Aduh, mengapa anaknya tidak diikat bersama dengan ayahnya yang mengendarai sepeda motor, supaya kalau mengantuk tidak jatuh? Aduh, mengapa sih nekat untuk tetap mudik padahal masih punya anak balita? dan lontaran kalimat senada” Kami tak mau tahu bahwa mereka memutuskan mudik dengan seribu satu alasan, dan kami tidak berhak menghakimi keputusan mereka. Bahkan kami seharusnya tidak boleh menertawakan alasan mereka mudik dengan situasi yang penuh resiko itu. Kami toh tidak mau berbuat apapun. Takut repot, membuang waktu, energi dan uang. Mereka kan orang lain bukan keluarga kami. Biar saja, tanggung sendiri.
Kami dengan tawa kami sepanjang jalan dan menyanyi-nyanyi:” Di sini senang, di sana senang”. Kami tak peduli bahwa kemalangan-kemalangan demi kemalangan akan terus berada di sekitar kami. Juga pada mudik lebaran tahun depan… tak cukup dengan 600 orang mati? Apakah kami akan merencanakan ribuan orang mati pada musim mudik tahun depan?
Ya Allah, tak heran kemalangan terus terjadi. Kami menzalimi sesama kami, terus-menerus dan dengan sadar…
Jakarta, 29 September 2009
(usai mudik menempuh perjalanan dari Jakarta – Yogja – Surabaya – Lamongan – Pekalongan – Jakarta)
Berbicara tentang kezaliman: kemarin bencana gempa melanda Padang Sumatera. Maskapai penerbangan menaikkan harga-harga tiket pesawat hingga 3 juta rupiah Jkt-Pdg, tukang ojeg untuk jarak hanya 4 km meminta upah 250 ribu rupiah pada korban gempa yang ingin kembali ke rumahnya, pencurian, harga BBM melejit naik di SPBU2 di Padang. Keterlaluan!
BalasHapus