www.wkgunawan.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label Mudik 2009. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mudik 2009. Tampilkan semua postingan

Kamis, 01 Oktober 2009

Surabaya, My City

Surabaya, Suroboyoku
By: Weka Gunawan,
Kandidat Doktor bidang Kesehatan Keluarga
Fakultas Kedokteran Universitas Kebangsaan Malaysia.

Malam menjelang ketika kami memasuki Surabaya. Sebuah kota besar di ujung timur Pulau Jawa. Kota yang mempunyai nilai-nilai bersejarah, perjuangan membebaskan diri dari penjajahan baik itu dari Inggris, Belanda, Portugis dan Jepang. Kami mulai tersesat ketika keluar pintu Tol, berputar-putar di kawasan Rungkut Industri dan mencari-cari jalan yang ramai kendaraan. Baru saja maghrib, tetapi kawasan industri telah pun sepi. Saya dan suami berpandangan berapa lama kami tidak ke Surabaya? Ya, aku ada ke Surabaya pada tahun 2003 untuk menghadiri pengukuhan guru besar Prof.Kuntoro dalam bidang Biostatistik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Tapi itu hanya 3 hari. Tak sempat menyusuri Surabaya dengan menyetir sendiri. Ke Surabaya hanya sempat stop over perjalanan dari Jakarta ke Lombok atau pada saat mempresentasikan paper di Temu Ilmiah HOGSI (Himpunan Obstetri Ginekologi Sosial Indonesia) yang pertama di Malang. Saat itu berjumpa dengan kawan lamaku Santi Martini. Selain itu kami memang tidak tahu, Surabaya berkembang cukup pesat.

Esoknya, telah Idul Fitri. Pukul 4 lebih shubuh. Anakku Farah sudah kelabakan saat mendapati pukul 5 pagi di Surabaya, matahari telah pun naik. Kami akan sholat Eid, pukul 6 pagi! Masya Allah, sementara di Kuala Lumpur kami memulai salat Eid pukul 08.30! Bergegas menuju Masjid di kawasan Manyar berhampiran dengan tempat tinggal kami. Berbeda dengan di Kuala Lumpur yang hanya mesjid dan surau tertentu yang boleh menyelenggarakan shalat Ied, maka di Indonesia setiap surau dan komunitas boleh menyelenggarakan sehingga mudah bagi kami melaksanakan shalat Ied, tanpa takut terlambat.

Surabaya sekarang sangat asri. Kebon Bibit di depan pemukiman kami di Manyar Pumpungan telah menjadi sebuah taman bermain anak-anak. Ada kijang-kijang dan pepohonan besar-besar tampak dijaga utuh. Beberapa jenis bunga juga tampak memperindah taman itu. Yang membuat pemandangan tidak seasri taman-taman di Malaysia adalah adanya penjual-penjual kaki-lima, jika tidak segera ditertibkan aku khawatir taman yang indah itu akan tertutupi ‘rombong’ penjual kaki lima itu yang membuang sampah sembarang dan meninggalkan kesan kotor dan menjadi sarang penyakit.

Menyusuri Kali Mas di samping Surabaya Delta Plaza, ada muzium kapal selam. Bangganya kami menyaksikan kapal selam yang besar dan kokoh itu. Kali mas ini pernah berwarna merah karena darah saat Bung Tomo dan arek-arek Suorboyo mengusir Inggris yang membawa tentara-tentara Indianya (Gurkha) ke Surabaya dengan maksud kembali menjajah Indonesia. Tentara-tentara India (Tamil) itulah yang kemudian ditinggalkan Inggris di Semenanjung Malaya (West Malaysia sekarang) dan Singapura, dan anak cicit mereka terpaksa mendiami negara-negara itu hingga sekarang.
Taman-taman di pinggir sungai ternyata ada di kali yang kami temui. Taman-taman itu dilengkapi dengan permainan anak-anak, seperti ayunan, jungkat-jungkit, tampak warga menikmati suasana sore di sana. Taman-taman itu ada di pinggir Kali di daerah Genteng Kali dan juga Kali Dinoyo. Wah, hebat sekali walikota Surabaya dan jajarannya yang mampu membangun dan mengajak warganya untuk turut menjaga keasrian kota.

Promosi kawan-kawan kami tentang jembatan terpanjang Suramadu menggiurkan kami untuk mencobanya. Suramadu, adalah jembatan megah yang menghubungkan Pulau Jawa dan pulau Madura. Patutlah, di Surabaya sekarang lalu-lalang plat mobil M (asal Madura). Surabaya kini menjadi mudah untuk didatangi sehingga kaum muda Madura menjadikan Tunjungan Plaza dan sekitarnya destinasi malam minggu mereka. Saat kami memasuki kawasan Suramadu, ternyata tidak ada tempat untuk berfoto sebelum memasuki jembatan tersebut, kami langsung dihadapkan pada petugas Tol Suramadu dan kami pun membayar Rp.30.000,- Antusiasme kami dan anak-anak segera pupus saat di tengah jembatan dengan pilar-pilar merahnya itu tidak disediakan anjungan wisata untuk berfoto. Para polisi menjaga kedua-dua arah dan melarang kami untuk berhenti. Sampai ke ujung dan memasuki wilayah Kamal Madura, kami mendapati puluhan kaki-lima menjual minuman dan mie instan dan cendera mata Madura berupa pecut (untuk memecut Sapi kala Karapan Sapi) dan sabit (senjata orang Madura, yang digunakan oleh mereka untuk men’carok’ orang yang tidak disenanginya). Kawasan akhir itu tak tampak pohon yang akan ditumbuhkan. Mudah-mudahan kelak Bupati Madura membuat kawasan hijau di sana. Kami pun dengan rasa kecewa karena tidak bisa berfoto di bawah pilar-pilar merah yang megah itu, memasuki jalan Tol dari Madura menuju ke Surabaya dengan membayar Rp.30.000,- lagi. Seandainya bupati Madura kreatif membangun anjungan wisata untuk berfoto dengan batasan maka mereka akan mendapatkan PAD (Pendapatan asli daerah) dari turis yang hanya ingin berfoto di jembatan Suramadu.

Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, kami melintasi makam W.R Supratman, sayang kami hanya 4 hari di Surabaya. Sehingga makam pencipta lagu Indonesia Raya itu tak sempat kami singgahi. Lain waktu kelak Surabaya kami akan kembali dan kami ingin menceritakan keasrian Surabaya sebagai kota yang nyaman untuk ditinggali…

Harapan kami: pajak bumi dan bangunan tidak dikutip dari para pensiunan dan orang-orang yang tidak mampu yang masih memiliki lahan-lahan luas di dalam kota. Mereka menjaga keasrian rumah mereka dengan hati, tolong lah jangan diusir dari rumah mereka sendiri dengan mengutip pajak bumi dan bangunan yang makin lama makin mahal. Kasihani rakyat ya pak Walikota Surabaya dan aparatnya. Semoga Allah mengasihani engkau dan senantiasa memberikan hidayah kepadamu. Amin.

Catatan ringan,
Mudik 2009. URL:http://www.gunawanweka@blogspot.com

Rabu, 30 September 2009

When I see sadness......by:Weka Gunawan

Kemalangan yang kutemui…
Oleh: Weka Gunawan

600 orang mati dalam perjalanan mudik selama kurang dari 2 minggu di Indonesia. Mayoritas yang meninggal dunia itu adalah penumpang dan pengendara sepeda motor. Betapa mengenaskannya negara yang kaya raya ini. Betapa zalimnya kami yang lebih beruntung ini melihat dengan mata kepala sendiri kematian yang terus menerus di sekitar kami. Bukan saja karena bencana alam, dan ketidakmampuan kami mengelola korbannya.

Kami juga tahu betapa banyak kematian karena biaya-biaya rumah sakit yang mahal. Kami juga tahu Puskesmas yang seharusnya menjadi alat kemanusiaan dan mengayomi orang-orang yang tak mampu malah digenjot menjadi penghasil pendapatan asli daerah. Kematian dan kelaparan di sekitar kami. Sawah-sawah dan lahan-lahan hijau terus berganti atas nama pembangunan, berubah menjadi perumahan-perumahan yang luar biasa tak adil kepada pembelinya. Rumah terbanyak yang dibangun dengan disain indah itu selalunya hanya berkamar tidur satu buah dan berkamar mandi satu buah. Harganya? Selangit! Hanya untuk gengsi tinggal di sebuah perumahan orang-orang pun rela bersempit-sempit. Sehingga tetap saja tidak layak huni. Para petani gigit jari, karena lahan-lahan mereka dijual lebih dari 100 kali lipat dari harga awal ketika dibeli dari mereka. Mereka mengungsi ke Jakarta. Menjadi buruh ini dan itu demi sesuap nasi. Kota ibu negara yang makin berat mengurai kesumpekan di dalamnya.

Yahukimo kelaparan, sama persis seperti kematian karena kelaparan di Papua tahun 1997. Bedanya pada tahun 1997, masalah itu relatif teratasi. Kebakaran 750 rumah di Jakarta, tanpa kami tahu bagaimana menjelaskannya mengapa itu terjadi dan bagaimana kami dapat membantu meringankan korbannya. Kami sibuk memenuhi selera anak-anak kami, keluarga kami untuk menginap di hotel-hotel mewah sehingga mencecah RM.1000 per malam. Kemudian dengan mulut berbuih menceritakannya kepada sanak-kerabat melalui apa saja tak terkecuali e-mail, facebook dan lainnya bahwa kami telah pun menginap di hotel-hotel mewah itu sekelas dengan kaum jetset dan para petinggi negara. Kami telah sukses dalam kehidupan duniawi kami, kami kaya raya. Kami mendapat pujian. Kami senang mampu menerbitkan rasa iri hati pada orang-orang yang masih berusaha mencapai kemakmuran, orang-orang kelas menengah yang menganggap kesuksesan berarti uang (utang?) banyak.

Juga dengan menceritakan kemewahan masa mudik kami, nafsu kami mengharapkan penghormatan dari kawan , ayah dan ibu, sanak dan kerabat kami. Betapa malangnya pikiran-pikiran rendah itu merasuki kami…
Setiap orang di negara kaya ini bernafsu untuk memeras sesamanya. Musim perayaan, harga-harga hotel melejit naik, makanan-makanan di restoran ada istilah Harga Edisi Lebaran di sepanjang jalan mudik, harganya harga makanan di café-café di Jakarta. Bahan-bahan keperluan pokok diserahkan ke pasar, tak mampu dikawal, melejit naik. Harga-harga tiket Bus dan Kereta Api naik luar biasa sehingga mereka memilih naik sepeda motor dengan bayi, balita dan anak-anak mereka. Resikonya sudah jelas sejak awal mereka berangkat: rentannya kecelakaan, angin kencang yang tak ramah pada balita dan kematian karena sakit dan kemalangan. Toilet-toilet di SPBU dan perhentian lainnya meminta bayaran Rp.1000 per orang tetapi betapa buruknya fasilitas yang mereka dapatkan. Kamar mandi yang bau, kotor, tidak ada penerangan yang benderang dan air yang tidak deras mengalir. Mushola pun, tempat mereka menyembah Sang Khalik, karpetnya bau dan lantainya kotor. Tak ada niat bahwa membersihkan rumah sembahyang yang memberikan balasannya adalah Allah SWT. Dan Allah tidak tega membalas hanya dengan 1000 rupiah (RM0.30/ 30 sen). Tetapi manusia mengabaikan mukjizat, mereka mencari yang tampak: 1000 rupiah di tangan tanpa perlu bersusah payah, toh para pengunjung (yang seharusnya dilayani) tak pernah protes!

Toko-toko penjual oleh-oleh tidak mencantumkan harga. Setelah sampai di kasir barulah harganya mencengangkan mata. Kami gengsi untuk tidak membayar. Kami malu untuk cibiran sesaat para pelayan itu. Para pelayan pun bergaya ala bos (?), tanpa senyum dan berat mengucapkan terimakasih pada pengunjung. Wajah-wajah cantik di penyedia jasa pulsa seluler di sepanjang jalur mudik juga payah dalam berterimakasih. Wajah-wajah cantik itu kononnya dibayar 250 ribu perhari. Wajah-wajah cantik itu melotot dan mulutnya menganga (untung tidak sampai meneteskan liur) melihat tas-tas dan sepatu sebagian pengunjung yang mewah dan kulit mereka yang kinclong bukan karena make-up tetapi perawatan yang mahal setiap bulan. Tak heran mereka dengan gaya menggelikan mengibas-ngibaskan telepon seluler mereka bermerek black berry. Nafsu mereka mengarahkan bahwa kami akan kagum dengan blackberry itu? Betapa malangnya pikiran mereka.. Harga kebanggaan mereka cuma sampai di handphone. Sama dangkalnya pikiran kami dengan mereka.

Kami berada di dalam mobil kami yang nyaman dan lapang, hanya senang berucap,”Kasihan bayinya. Aduh, mengapa anaknya tidak diikat bersama dengan ayahnya yang mengendarai sepeda motor, supaya kalau mengantuk tidak jatuh? Aduh, mengapa sih nekat untuk tetap mudik padahal masih punya anak balita? dan lontaran kalimat senada” Kami tak mau tahu bahwa mereka memutuskan mudik dengan seribu satu alasan, dan kami tidak berhak menghakimi keputusan mereka. Bahkan kami seharusnya tidak boleh menertawakan alasan mereka mudik dengan situasi yang penuh resiko itu. Kami toh tidak mau berbuat apapun. Takut repot, membuang waktu, energi dan uang. Mereka kan orang lain bukan keluarga kami. Biar saja, tanggung sendiri.

Kami dengan tawa kami sepanjang jalan dan menyanyi-nyanyi:” Di sini senang, di sana senang”. Kami tak peduli bahwa kemalangan-kemalangan demi kemalangan akan terus berada di sekitar kami. Juga pada mudik lebaran tahun depan… tak cukup dengan 600 orang mati? Apakah kami akan merencanakan ribuan orang mati pada musim mudik tahun depan?

Ya Allah, tak heran kemalangan terus terjadi. Kami menzalimi sesama kami, terus-menerus dan dengan sadar…
Jakarta, 29 September 2009

(usai mudik menempuh perjalanan dari Jakarta – Yogja – Surabaya – Lamongan – Pekalongan – Jakarta)