www.wkgunawan.blogspot.com

Rabu, 27 Oktober 2010

DOCTOR by CSP Wekadigunawan

Doctor
by: CSP Wekadigunawan (Weka Gunawan)

Ken adalah temanku. Seorang perempuan yang sederhana. Cantik sekaligus manis meski hanya mengulaskan bedak dan lipstick tipis di bibirnya. Ia seorang dokter anaesthesi di sebuah rumah sakit di Malaysia. Ia seringkali menjadi partner dokter-dokter lainnya saat menjalankan operasi di ruang bedah.

Begitu seringnya ia melihat orang-orang yang tak berdaya di hadapannya, bagaimana tidak kalau di ruang operasi tentu pasien nasibnya hanya bergantung pada Allah yang memberi hidayahNYA pada hambaNYA yang disebut dokter. Pasien berada dibius/dianaestesi sedemikian rupa sehingga proses operasi dapat dilakukan tanpa rasa sakit yang berarti. Ken bertanggung jawab pada dosis obat bius yang disuntikkannya kepada pasien dan ia harus terus memantau gambaran detak jantung pasien. Ia tidak boleh lengah. Ken selalu memulai tugasnya dengan salat 2 rakaat. Sebagai manusia ia selalu merendah diri di hadapan Allah SWT, mengharapkan setiap proses pembedahan yang melibatkannya berjalan sukses.

Sebagai dokter anaesthesi, Ken, tidak dikenal dibanding dokter yang menjalankan pembedahan atau dokter internist yang berhadapan langsung dengan pasien dan keluarganya (Customer) pelayanan kesehatan. Ken tidak pernah mendapat ucapan terimakasih dari para pasien yang ditanganinya. Tetapi, Ken bersyukur kepada Allah saat ia selesai di ruang operasi dan saat ia menyaksikan keluarga gembira atas pasien yang ditanganinya sembuh.

Maka, Ken tahu benar profesi dokter bukanlah profesi main-main. Dulu, ketika Ken masih sekolah dasar pada tahun 1970-an. Dokter adalah profesi untuk menolong orang, menyembuhkan orang, di benak kawan-kawannya. Ramai kawan-kawannya mengatakan sungguh gembira jika bisa menolong orang lain untuk sembuh dan hidup sehat. Tetapi kini semua bergeser, Ken bercerita kepadaku ada seorang teman yang menitipkan anak remaja kepadanya. Anak remaja itu sangat berkeinginan menjadi dokter, karena katanya bisa kaya sampai tua. Ken yakin bahwa di benak anak-anak remaja sekarang menjadi dokter adalah gengsi dan juga untuk menambah kekayaan.

Ken mengatakan kepadaku. Ia heran jika kemudian pemerintah Indonesia memperkenankan begitu banyak Universitas swasta menyelenggarakan pendidikan kedokteran tanpa akreditasi yang memadai. Ken juga menyesalkan bahwa sekarang pendidikan Kedokteran ada jalur non regular. Juga memungkinkan pelajar-pelajar luar negara bersekolah pendidikan kedokteran (undergraduate) di Indonesia asal membayar sangat mahal. Padahal di Malaysia universitas atau kolej swasta lebih banyak yang diperkenankan menyelenggarakan pendidikan penunjang pelayanan kesehatan bukan pendidikan dokter. Kemudian, warga negara asing tidak diperkenankan sekolah kedokteran (undergraduate) di Malaysia.

Ken menjalani sekolah kedokteran di Indonesia dengan biaya per semester hanya Rp.54ribu rupiah. Sementara pada saat itu sebagai perbandingan Universitas Trisakti sudah meminta uang masuk belasan juta rupiah. Ken juga memperoleh beasiswa Supersemar sebesar 25ribu rupiah dan kemudian naik menjadi 35ribu rupiah per bulan. Sehingga kata Ken, pada saat mahasiswa ia merasa cukup kaya. Dulu untuk mendapat supersemar harus memperoleh indeks prestasi minimum 2.7 (jangan kira ini mudah, di Kedokteran bisa jungkir balik untuk mendapatkan indeks prestasi setinggi ini). Mengingat di ilmu-ilmu sosial mendapatkan 2.7 adalah amat mudah.

Beasiswa untuk mahasiswa Kedokteran dan dokter.

Ken bercerita sekarang entah mengapa beasiswa semacam itu tidak pernah ada. Jangan bilang bahwa seluruh peninggalan orde baru buruk. Pada tahun-tahun 80-an sungguh bergengsi kalau bisa memasuki Universitas negeri. Bagaimana tidak kita bersaing dengan seluruh pelajar SMA seluruh Indonesia. Hanya yang terbaiklah yang akan menang.

Sekarang sungguh menerima beasiswa bukan lagi pengalaman yang menuai gengsi. Ken mengisahkan ada beasiswa G to G ke Australia, Ken mengirimkan berkasnya paling awal ke departemen dimana ia bekerja sebagai sumber daya manusia. Berkas Ken ditandatangani oleh Dirjen kala itu sebagai pemberi rekomendasi, tetapi tunggu punya tunggu tak ada kabar. Ken mengecek ke bawahan petugas yang mengirimkan berkas. Betapa terkejutnya Ken, berkas dia tidak pernah dikirim ke Ausaid oleh si petugas. Padahal tanda tangan Dirjen begitu besar dan jelasnya di atas berkasnya. Lelaki paruh baya, si petugas itu, tersenyum licik saat melihat kenyataan itu. Ia dengan enteng bilang,”Jangan khawatir dokter, saya akan lapor ke pak Bambang kalau dokter mengirim berkasnya terlambat”. Tanpa merasa bersalah sambil menyalakan rokoknya. Kata Ken, kalau dia wartawan sudah dia tulis itu di Koran. Seorang professor di UGM mengatakan kepada Ken,”Lho situ sih ndak kasih mereka uang rokok atau uang makan sih!” sambil tertawa geli,”Kan mengirim berkas juga perlu tenaga tho Nduk”. Plak! Jantung Ken berdegup kencang.

 Ken berkisah ia benar-benar tak paham meski ada tandatangan Dirjen, pegawai rendahan bisa saja mengabaikannya!

 Ken mengisahkan untuk melanjutkan sekolah keluar negara, Indonesia menyelenggarakan pemberian beasiswa pada dosen-dosen dan dokter-dokter yang ingin melanjutkan pengajiannya. Ken bercerita, ia adalah satu-satunya peserta yang dipanggil untuk wawancara dari institusi tempat ia bekerja. Ia menjalani wawancara itu dalam bahasa Inggris oleh seorang Profesor perempuan dari Udayana Bali dan seorang lagi dari Manado. Tetapi sangat ajaib begitu pengumuman penerima beasiswa, selain namanya tercetak, muncul 2 nama lain dari institusi tempat ia bekerja.  Kedua nama itu tidak muncul dalam panggilan wawancara dan tidak pernah melakukan sesi wawancara. Bahkan satu nama lain diantaranya tidak pernah muncul dalam pengiriman berkas yang diumumkan di internet. Itupun menurut Ken, hampir semua uang dalam kontrak menguap entah kemana. Ken merasa aneh begitu gegap gempitanya KPK, tapi institusi-institusi masih berani bermain? Betapa lemahnya hukum di Indonesia?

Maka, dokter-dokter demi meningkatkan kemampuannya memilih membiayai diri sendiri untuk belajar ke tingkat spesialis di luar negara. Sementara setahuku, Malaysia memberi beasiswa orang-orang terbaiknya untuk belajar setinggi-tingginya. Tanpa ada kutipan atau potongan apapun dari uang beasiswa itu dengan alasan administratif.   Apalagi bermain-main dengan oknum Universitas atau institusi yang terkait. Malaysia urusan korupsi bisa dinilai amat rendah. Meski sekarang Malaysia pun membuat lembaga semacam KPK. Sekali lagi ide Indonesia mereka adopsi dan lihat saja bagaimana mereka mengamalkannya! Pasti lebih sukses daripada di Indonesia. KPK di Indonesia justru dilemahkan secara sistematis. Ken mengangguk-angguk setuju pada tanggapanku atas ceritanya.

Remaja mengatakan: gampang kok jadi dokter di Indonesia

            Ken bercerita kepadaku. Ia merasakan sesuatu yang kurang berkenan di hatinya. Ia khawatir, kemungkinan sedang menolong seseorang melakukan sesuatu yang kurang benar. Ken kini menampung anak temannya di rumahnya.

            Mengapa anak ini pindah? Menurut Ken anak itu bilang bahwa ia sudah diterima kok di SMA lain di Jakarta. Tapi ia memang ingin bersekolah di luar negeri. Anak remaja berusia 15 tahun itu, nilai-nilainya tidak memadai untuk masuk IPA, sehingga di SMA asalnya dia dijuruskan ke IPS. Padahal cita-citanya adalah menjadi dokter. Kata Ken, seharusnya kalau dia punya cita-cita itu ia tahu betul bahwa nilai-nilai ilmu pasti dia tidak boleh rendah. Ketika ditanya mengapa ingin jadi dokter? Ia ingin kaya raya dengan membuka klinik kulit dan kecantikan.  

Menurut Ken, anak itu di luar jangkaannya saat menjawabnya: “Ah, tante, sekarang mau jadi dokter biar di… (ia menyebutkan salah satu perguruan tinggi negeri) asal bayar 500 juta juga bisa kok. Lagipula kalau sudah bisa bayar masak sih dosennya mau ngga meluluskan kita jadi dokter?” Kalau di swasta, dosen-dosen yang tidak meluluskan mahasiswanya bisa dipanggil dan ditanya mengapa mahasiswa X tidak lulus-lulus oleh Rektor atau ketua Yayasan lho, kataku sambil geleng-geleng kepala mendengar cerita Ken.

Ken merasakan kesedihan yang luar biasa. Ia bertanya kepadaku, “Sebenarnya apa yang terjadi di Indonesia sehingga anak belia baru berusia 15 tahun sudah tahu, bahwa apapun yang dia mau pasti bisa karena dia bisa membayarnya?”. Sungguh aku tak tahu jawabannya saat ini. Ken pun berkisah, anak itu pun ketika menjalani test masuk sekolah ternyata tidak lulus untuk masuk IPA, tetapi Ken melihat ibunya merengek-rengek pada wakil principal di sekolah itu dan kemudian dengan membayar sejumlah uang yang cukup besar, anak itu pun lolos masuk sekolah tersebut.

Ken bertanya kepadaku jika sistem sekolah kedokteran di Indonesia tidak segera direvisi, dan kemudian anak itu benar-benar menjadi dokter. Kira-kira dokter seperti apa dia kelak?

Aku bercerita pada Ken, aku punya sahabat namanya Hayyan Ul-Haq sekarang dia di Utrecth University, menurut Haq, semua dari niat, jika niat buruk itu terlaksana itu lebih karena bantuan iblis. Mengapa? Allah tak akan menjerumuskan hambaNYA yang bersih ke selokan-selokan kotor yang dibuat iblis seakan-akan nirwana dunia.  Semua yang mengawalinya dengan tipuan maka ia akan menjalani kehidupannya dengan tipuan terus-menerus, demikian kata Haq. Wallahu alam bissawab.

PHUKM, Cheras Kuala Lumpur 28 Oktober 2010.


2 komentar:

  1. Kisah seperti ini betul-betul harus mendapatkan perhatian dari kita semua, terutama institusi penyelenggara pendidikan khususnya kedokteran.... Apa jadinya nanti, kl kita akan diperiksa, di obati dengan orang yang tidak kompeten dibidangnya. Mal praktek akan banyak terjadi, yang ujungnya nanti akan menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap para Dokter akan semakin terkikis....

    BalasHapus
  2. Rasanya kembali ke sistem pendidikan kedokteran disubsidi, kembalikan wajib kerja sarjana seperti dulu (dokter PTT), dan sistem seleksi yang diperketat.

    BalasHapus