www.wkgunawan.blogspot.com

Rabu, 23 Desember 2009

LUNA MAYA and INFOTAINMENT

Luna Maya dan Infotainment


Oleh: Weka Gunawan

Ramadhani Yanidar, kawan saya di jejaring sosial FB bertanya, “apa pendapatmu sebagai mantan wartawati tentang kasus Luna Maya?” Saat itu saya jawab, saya tidak mengikuti kasus Luna Maya. Sungguh, saya ini tidak hafal nama-nama artis jaman sekarang apalagi wajah-wajah mereka. Anak saya (11 tahun) lebih tahu nama-nama band dari Indonesia ketimbang emaknya yang zadul.com ini. Lagipula, infotainment di Malaysia relatif baru (kurang dari 5 tahun) dan infonya lebih banyak tentang artis-artis Malaysia. Sungguh, saking tidak tahunya, saya tidak mengenal Ariel (konon pacar Luna Maya?) saat ngobrol di Heathrow London September 2008. Baru setelah ibu Ita (wartawan Indonesia di Eropa) mengatakan bahwa lelaki yang tampak lelah itu Ariel Peterpan baru saya minta fotonya untuk anak saya. Saya minta maaf padanya, “Maaf ya emak-emak, lagi hamil muda, mudah lupa”.

Maka, penasaran kemudian saya mulai membacai berita perempuan jelita ini. “Ooh—Oooh-Ooh..” itu kemudian reaksi saya membaca keberatan wartawan infotainment dan tercengang luar biasa dengan komentar si cantik saat menuangkan curahan hatinya pada kawan-kawannya di Twitter.

Dulu, suatu masa di tahun 90-an, Alex Kumara sudah menjadi salah satu Direktur di Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI). Beliau menawarkan kepada Sindo (nama department berita di RCTI) untuk mengolah berita ringan tentang orang-orang terkemuka dan artis. Saat itu senior-senior saya menolak (mungkin bisa saya bilang: menolak mentah-mentah). Alex Kumara mengatakan, sesuatu tentang artis atau selebritas selalu menarik. Mereka punya penggemar dan para penggemarnya selalu ingin tahu apa yang dilakukan atau terjadi pada artisnya. Tetapi, ketika itu para senior di Sindo (Seputar Indonesia) tetap bergeming. Alasan-alasan pun terlontar, “wartawan ya wartawan bukan profesi yang mengumpulkan gossip” dan semacamnya.

Kemudian, Pak Alex menawarkan itu pada Ilham Bintang, dan jadilah majalah gossip udara pertama Cek and Re-cek. Terbukti, ucapan Alex Kumara, Ilham Bintang sukses sekali dengan rumah produksinya, dan gaya Fanny Rahmasari, presenter Cek-ReCek saat itu, menjadi acuan banyak pembaca acara semacam itu hingga sekarang.

Apa yang terjadi? Ternyata kami yang tadinya menolak mengolah acara itu jadi suka iseng ikut menonton acara ringan itu saat menulis berita di News Room. Begitu banyak layar di kantor yang memuat begitu banyak chanel tetapi Cek and Re-Cek memang mengundang perhatian. Kemudian nama-nama Adolf Posumah, dan redaktur dan penyiar senior di RCTI pun tak keberatan menjadi bintang di Cek and Re-Cek. Mereka terlihat sangat menikmatinya. Dan, diakui atau tidak, mereka menjadi lebih dilihat dan lebih dikenal oleh pemirsa RCTI, penggemar mereka makin luas, tidak hanya penggemar Seputar Indonesia. Weka Gunawan pun pernah diwawancarai pada tahun 1999, mereka ke rumah saya dan membuat profil saya dan anak pertama saya. Saya makin ngetop di antara keluarga saya yang tinggal gunung di Kalimantan. Hehehe.

Jadi, apa dong solusinya? Luna Maya dan Infotainment? Menurut saya yang tidak paham hukum: (karena itu delik aduan ya) tinggal duduk bersama, berjumpa, saling meminta maaf (wartawan infotainment yang membuat Luna marah tentu tahu bahwa yang dia lakukan ada kemungkinan mengganggu kenyamanan orang lain) dan Luna juga tentunya sadar bahwa ia tidak akan sekaya raya sekarang tanpa bantuan liputan yang sangat sering dari infotainment.

(sekedar berpendapat)

Salam, Weka.






Senin, 07 Desember 2009

DOCTOR'S ROLE IN PRIMARY HEALTH CARE! by:Dr. Weka Gunawan

Melihat kembali posisi dokter di negeri kita


Oleh: Weka Gunawan

Kandidat PhD bidang Kesehatan Keluarga, Fakultas Kedokteran


Universitas Kebangsaan Malaysia


Saat ini di Indonesia, fakultas Kedokteran kini menjadi fakultas yang paling diminati oleh ramai orangtua untuk anak-anak mereka. Meskipun biayanya yang luar biasa mahal, mereka tidak peduli. Para orangtua menyatakan pada anaknya, bahwa menjadi dokter sudah jelas paling menguntungkan di negeri kita. Menjadi dokter, adalah jaminan kemakmuran hingga hari tua. Maka, melihat animo yang membabi buta di kalangan orangtua di Indonesia menyebabkan universitas-univeritas di Indonesia berupaya membuka Fakultas Kedokteran. Fakultas Kedokteran dianggap mempunyai nilai jual yang sangat tinggi. Kita tahu bahwa Fakultas Kedokteran sudah cukup ada di Jakarta, toh kenyataannya adalah Fakultas-fakultas Kedokteran yang baru berdiri di Jakarta, para dosennya adalah dosen-dosen dari Universitas Indonesia juga. Konon di Departemen Pendidikan Tinggi Nasional masih bertumpuk permintaan mendirikan Fakultas Kedokteran, mulai dari Univeritas Besar seperti IPB, Universitas Mataram di Nusa Tenggara Barat juga Universitas-universitas swasta lainnya.

Ironi
Para orangtua mengirim anak-anak mereka ke fakultas Kedokteran kini sudah berubah tujuan. Jika dahulu, profesi itu amat elegan, mengagumkan dan dekat sekali dengan kehidupan khalayak miskin. Sekarang, profesi itu dilihat sebagai ’mesin uang’. Para orangtua yang umumnya pelanggan rumah-rumah sakit bertaraf international dan klinik-klinik Kosmetik dan Geriartri, melihat para dokter yang memakai mobil-mobil mewah keluaran terbaru dan cerita-cerita mereka tentang liburan ke Eropa, Australia dan Amerika setiap tahun. Dalam dunia hedonis saat ini, itulah bukti sebuah kesuksesan dalam hidup. Tidak ada yang salah memang. Saya pribadi tentu saja ingin anak-anak saya hidup bergelimang kemudahan dan harta pula.

Masalahnya asumsi itu juga menjadikan para dokter tertekan. Bukan lagi rahasia umum bahwa untuk mendapatkan ’atribut kesuksesan’ itu, para dokter bekerja tidak hanya di satu rumah sakit tetapi beberapa rumah sakit. Tidak ada dokter kaya raya jika ia bekerja hanya di satu klinik atau di satu rumah sakit. Pendapatannya tidak cukup. Saya sengaja tidak sebut gaji karena gaji lebih kecil lagi dari sekadar pendapatan kotor. Jakarta yang macet dan kelelahan menyebabkan para dokter tanpa sadar mengabaikan kualitas pelayanan kepada pasien dan rumah sakit tempat ia bekerja. Akibatnya, berbeda dengan dahulu Doctors can do no wrong sekarang sudah mulai banyak pasien yang mengumpat-umpat dokter mereka dan juga mulai muncul kasus-kasus menggugat pelayanan dokter dan rumah sakit.

Posisi Dokter dan 220 juta rakyat

Di seluruh dunia saat ini menyadari bahwa Dokter bukanlah peran yang otonom, yang bisa dengan seenaknya menentukan nasib pelanggan pelayanannya. Ia adalah anggota dari sebuah tim kesehatan (a team player) untuk mencegah terjadinya kesakitan dan kematian. Maka, sebagai anggota sebuah tim kesehatan dokter juga harus punya kemampuan kepemimpinan. Menurut Byram DA dalam AACN Clinical Issues 2000,: Leadership is a skill rather than a role. Pelayanan kesehatan memerlukan kepemimpinan yang baik dalam respon terhadap pelayanan pada pasien.

Melalui pendidikan di fakultas Kedokteran, para mahasiswa kedokteran menjadi dokter. Para dosen di fakultas kedokteran berusaha memastikan para pelajar siap untuk menjadi dokter di masa depan. Tetapi, masa depan adalah suatu hal yang sulit dan kebijakan-kebijakan negara dan industri seringkali melakukan kesalahan di masa lalu sehingga berakibat pada masa depan. Para staf di Fakultas Kedokteran tak pernah bisa memprediksi perubahan-perubahan di masa depan dan kurikulum studi pun tak menyediakan cara agar para lulusan fakultas Kedokteran fleksibel pada perubahan-perubahan tersebut.

Kemajuan teknologi, ditemukannya obat-obat yang lebih efektif, makin banyak pasien yang memahami informasi tentang kesehatannya, peningkatan peran dari profesional kesehatan lainnya, perubahan iklim, perubahan kebijakan negara dan naik-turunnya ekonomi negara berdampak pada kesadaran seharusnya: mempersempit lapangan praktek sebagai dokter kita bukanlah visi yang tepat.

Bekerja di rumah sakit dan menjadi spesialis memang menghasilkan uang yang banyak. Tetapi di dunia Barat sekarang timbul kesadaran bahwa datang ke spesialis adalah sesuatu yang seharusnya ’kemudian’. Masyarakat Barat termasuk Hillary Clinton mengatakan bahwa pelayanan kesehatan harus makin difokuskan pada pelayanan kesehatan dasar (primary health care), untuk mencegah morbiditas (penderitaan) akan terjadinya kanker, diabetes, serangan jantung dan penyakit-penyakit degeneratif lainnya. Pelayanan kesehatan primer juga mencegah terjadinya penyakit-penyakit infeksi muncul atau kalau sudah muncul mencegah terjadinya penyebaran penyakit menular.

Sekarang sudah terlalu banyak dokter-dokter spesialis di kota-kota besar. Bisa dikatakan kita ’surplus’ dokter spesialis di kota besar.

Dokter di Pelayanan Kesehatan Primer

Kita tidak bisa membantah bahwa angka kesakitan dan kematian akibat berbagai hal sangat tinggi di Indonesia. Angka kematian bayi dan anak dan angka kematian Ibu mencecah angka yang memiriskan hati, paling buruk dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Kejadian flu burung (pasien yang terbanyak di dunia), ditemukannya kembali kasus Filariasis dan Polio, penyakit TBC belum juga tereradikasi, HIV/AIDS yang makin meningkat penderitanya dan lain-lainnya. Maka, mengingat ada 220 juta rakyat Indonesia yang harus dilayani maka seharusnya pemerintah memberikan insentif yang mampu mendorong lebih banyak lagi para dokter berada di pelayanan kesehatan primer di daerah-daerah dengan jumlah penduduk yang banyak, memberikan kebijakan bagi adanya dokter keluarga yang melayani sebuah komunitas, membentuk ‘image’ di media massa bahwa menjadi dokter di kampung itu bisa juga kaya raya dan jalan-jalan keluar negara. Memang itu memerlukan anggaran yang luar biasa banyak. Tetapi bukannya tidak mungkin dilaksanakan bukan?

--------------------------------------------------------------------------------------------
(Tulisan ini sebenarnya sudah lama: 2 tahun lalu. Tetapi ketika saya membacanya lagi: Ah, rasanya menarik ditulis di Blog)