www.wkgunawan.blogspot.com

Senin, 22 Februari 2010

Getting a PhD Degree by: Weka Gunawan

Getting a PhD Degree


By: Dr. Çri Sajjana Prajna Wěkādigunawan

Family Health, Faculty of Medicine

National University of Indonesia





Aku lulus tahun 1995 sebagai Master Kesehatan Masyarakat dari program pasca sarjana Universitas Indonesia. Saat itu para dosen di FKM UI, seperti Dr. Syafri Guricci, Dr.Kusdinar, Prof. Alex Papilaya, Prof. Soekidjo Notoatmodjo dan banyak dosen lagi, menyarankan aku untuk segera meneruskan ke tingkat Doktoral. Menurut mereka, alangkah baik kalau aku telah Doktor (S-3) di usia belum 30 tahun dan dapat membaktikan pengetahuanku untuk kesehatan masyarakat di Indonesia. Sayang saat itu kondisi keuangan tidak memungkinkan segra menuntaskan S-3. Maka, aku kembali bekerja di RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia). Pak Syafri dan pak Alex yang memotivasi aku untuk terus terpapar dengan isu-isu kesehatan masyarakat dengan mendudukkanku sebagai Wakil Sekjen IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia).



Kedekatanku dengan para dosenku di FKM UI membawaku untuk terus lekat pada ilmu yang benar-benar mengesankanku ini. RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) adalah sarana pengabdianku. Memberikan informasi kesehatan di semua program berita di stasiun TV tersebut. Saat itu nama program beritanya adalah Nuansa Pagi, Buletin Siang, Seputar Indonesia dan Buletin Malam. Sebagai wakil Sekjen IAKMI aku seringkali menghadiri banyak rapat, seminar dan simposium atas nama IAKMI. Mewakili Sekjen IAKMI pak Syafri Guricci dan pak Alex Papilaya kemana saja. Aku merasa terbantu dengan tugas sebagai wakil Sekjen IAKMI ini. Sebagai reporter kesehatan saat itu di RCTI menyebabkan aku selalu mendapatkan isu-isu kesehatan baru dan mampu mendiversifikasikan melalui media TV. Niatku hanya satu mengedukasi 50 juta penonton RCTI saat itu. Terus-terang meski saat itu aku belum menjadi pembaca berita di Seputar Indonesia, tetapi namaku yang muncul di setiap laporan kesehatan yang aku paparkan, diingat banyak orang. Tak kurang dokter di Puskesmas-puskesmas pelosok negeri, para Professor dan para pengambil keputusan. Weka Gunawan saat itu identik dengan berita-berita kesehatan.



Tahun 2000, saat aku bekerja untuk mempersiapkan Trans Corp di Para Grup. Aku berjumpa dengan Dr.Husni Muadz, Dr.Triono Soendoro dan Prof.Purnawan Junadi. Mereka kembali mengingatkanku untuk menyelesaikan S-3 ku. Memang usia merambat naik. Pekerjaanku di TV adalah pekerjaan yang membuatku senantiasa bergairah karena nyaris setiap menitnya adalah tantangan baru. Tetapi manusia bertiga itu, menggodaku tentang tarian ilmu pencapaian S-3. Prof.Hari Kusnanto dan juga Mas Dr.Tony Prasetiantono menceritakan tentang suka-duka melewati tebing-tebing, jalan berkerikil, berbatu untuk mendapatkan S-3 mereka di luar Negara.



Meski aku telah mendapatkan posisi yang banyak diidamkan orang lain yakni memimpin fakultas kesehatan masyarakat sebuah universitas swasta di Jakarta. Tetapi godaan itu terus datang.



Maka, Juli 2006 aku mendapatkan surat penerimaan dari Fakultas Kedokteran Universitas Kebangsaan Malaysia. Mereka menyatakan melalui rapat senat, menerima proposal penelitian yang aku ajukan dan aku berhak untuk mengikuti program PhD (Doktor Falsafah)dalam bidang kesehatan keluarga di Fakultas tersebut. Saat itu aku hanya mampu berdoa: semoga inilah jalan yang terbaik.





TIDAK MUDAH



Bersekolah kembali di usia yang sudah tidak muda lagi. Mempunyai anak pertama kelas 3 sekolah dasar dan bayi berusia 10 bulan. Sungguh tidaklah mudah. AlhamduliLLAH, ibuku yang telah bersusah payah membesarkanku berpartisipasi untuk mendampingiku. Aku memerlukan ibuku, lebih sekedar dari penjaga bayi saat aku belajar. Farrell seringkai saya letakkan di TASKA (semacam day care) berhampiran rumah kami. Negeri Malaysia sungguh tak pernah aku jangkakan sebelumnya. Sebuah negeri yang susah untuk dipahami sistemnya. Para perempuan yang tidak pergi bersama suami dapat disangka yang macam-macam dan tak semua perempuan berpikir positif. Terlalu sering aku mendapatkan picingan mata kurang suka dari perempuan-perempuan berkerudung disini. Nasib baik, aku mempunyai jiran yang amat perhatian. Namanya Zuhaya, berasal dari negeri Kelantan, ia sungguh memahami keadaanku dan juga Rita Joenaedy seorang Geolog yang meringankan beban sosialku.



Ya ALLAH, di bumiMU aku berpijak. Jagalah hambaMU yang lemah ini, Yaa ALLAH yang maha mencukupi. Keyakinanku pada ALLAH-lah yang akhirnya memantapkan aku untuk bersekolah di Malaysia. Sebuah Negara yang sesungguhnya bernenek moyang orang Indonesia.



Pembimbing Penelitian



Penyelia risetku bernama Prof Madya Dr. Rahmah Mohd Amin, PhD. Ia mendapatkan PhD dari Keele University di Inggris pada tahun 2005. Ia seorang yang sangat membesarkan hati. Melalui Dr.Nor Afiah temanku dari Universiti Putra Malaysia aku mengetahui bahwa Dr.Rahmah akan merasa bersusah hati jika aku sampai menghentikan perjuanganku mendapatkan gelar PhD ini. Mungkin saja, jika Prof. Rahmah Mohd Amin tidak mengatakan itu mungkin saja aku menghentikan semua ujian ini. Sungguh, aku merasa menjadi PhD sangat sangat mahal baik uangnya yang telah menghabiskan ratusan juta rupiah dan juga energy habis. Bagaimana saat membaca tak kenal waktu semua jurnal-jurnal international dan nasional selama setahun penuh dan saat presentasi proposal di semester ke-3 ternyata judulku dianggap terlalu luas dan diminta untuk kembali berdiskusi dengan supervisor untuk menentukan judul baru.



Lalu aku memerlukan waktu 2 tahun sampai aku berhasil untuk presentasi proposalku yang ke-dua. Mataku rusak, aku segera memerlukan kacamata karena memaksakan mataku berakomodasi terus tanpa lelah. Kini, aku tengah dalam pengumpulan data tersandung dengan biaya besar yang kuperlukan di lapangan. Entahlah, bagaimana lagi aku harus melangkah… Namun, aku ingat Rahmah Mohd Amin yang berrjaya sukses mulai dari kota kecil Trengganu hingga kemudian ke Keele University di Britain. Ia mengatakan,” Weka, kena sabar. Insya Allah. Insya Allah” itu selalu nasehatnya. Sampai detik ini aku merasakan PhD bukanlah soal gelar di belakang nama kita itu. Tetapi proses mendapatkannya yang menguras energy, harta dan juga seluruh emosi kita sebagai manusia. Jika kita mampu mengolahnya, Insya Allah, perjuangan jihad menambah ilmu ini berguna bagi umat manusia. Insya Allah. Insya Allah. Amin.



Ujian yang tak kunjung usai



Meski aku menulis disertasiku dalam bahasa Inggris, kami semua tanpa kecuali diminta untuk mengikuti kuliah bahasa Melayu di Universiti Kebangsaan Malaysia di Bangi.



Kamis, 11 Februari 2010

Seratus tahun Buya HAMKA

Seratus tahun Buya HAMKA



(saya jadi berpikir tentang home schooling)



Oleh

(Weka Gunawan)

Kesehatan Keluarga

Fakultas Kedokteran Universitas Kebangsaan Malaysia



Saya berkesempatan untuk menghadiri acara Pentas Kesenian Minang Kabau di Universiti Kebangsaan Malaysia. Acara tersebut dilaksanakan di Dectar sebuah gedung yang biasa digunakan sebagai acara wisuda baik untuk tingkat diploma, sarjana maupun doctoral. Gedung itu memang tidak cukup besar dibandingkan misalnya AULA kuliah jaman saya mahasiswa di Universitas Airlangga Surabaya.



Saya mendapatkan undangan dari teman-teman baik saya yang kebetulan berasal dari Padang Sumatera Barat. Para pelajar dari Padang ini memboyong langsung dari Padang semua penari, pemain gendang dan pembaca syair. Saya bisa bayangkan betapa banyak ongkos yang harus dikeluarkan untuk acara ini. Rikki Vitria, Ario, Rahmat adalah sebagian pelajar yang tampak sibuk untuk acara ini. Mereka seringkali melaksanakan rapat di Rumah Makan Singgalang di Kompleks Hentian Kajang. Pemilik rumah makan ini memang berasal dari Padang tetapi telah menjadi warga Negara Malaysia.



Acara ini sedianya akan dihadiri oleh Rais Yatim Menteri Kebudayaan Malaysia, namun beliau tidak dapat hadir dan mewakilkannya pada Prof.Idris yang seperti halnya Rais Yatim juga mempunyai akar muasal dari Padang Sumatera Barat. Atase Kebudayaan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia juga hadir.



Sebuah pementasan yang mengagumkan digelar di Dectar. Saya kagumi bahwa pementasan ini cukup sukses. Permainan lampu dan tata suara amat membanggakan padahal levelnya hanya Universitas. Sayangnya tidak ada media yang meliput acara yang sangat menarik ini. TV satu Malaysia hanya mengulas pada acara seminar di pagi harinya. Lebih tentang sastra dan tak banyak pula mengulas seniman besar Buya HAMKA.



Pementasan Minang Kabau ini dimulai. Para penari yang cantik jelita menarikan tari penyambutan tamu dan kemudian memberikan kapur dan sirih sebagai tanda terimakasih kepada salah seorang tamu yang dianggap paling terhormat malam itu. Kemudian lagu-lagu yang dibawakan dalam bahasa Minang mengingatkan kita pada bumi Sumatera Barat yang indah dengan perbukitan, danau-danau dan pepohonan yang menghijau.



Selanjutnya adalah pembacaan kisah kehidupan Buya HAMKA yang dibacakan dengan cara drama oleh dua orang, lelaki dan wanita dengan pakaian tradisional Minang Kabau. Menceritakan buya HAMKA yang tidak pernah lulus sekolah dasar tetapi berani merantau ke luar daerahnya. Ia belajar secara otodidak, berguru pada alam, waktu dan siapa saja yang ditemuinya. Ia bertualang ke Yogyakarta, juga ke Saudi Arabia. Menulis perjalanannya, menyampaikan kisah-kisahnya. Hingga karyanya diakui oleh masyarakat sastra Indonesia. Buya HAMKA pun mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Mesir. Jika menilik kisah ini persis seperti kisah-kisah orang besar pengubat (dokter) terkenal Ibnu Sina, perjalanan panjang Honda, Hilton, bahkan Bill Gates dan Marck Zuckerberg (Facebook). Orang-orang ini tidak mengenyam pendidikan tinggi secara formal tetapi berhasil dalam hidupnya. Dan tidak ada yang menyangsikan kehebatan pengetahuan mereka. Siapa tahu sesungguhnya, home schooling adalah cara yang paling efektif bagi mendidik anak-anak kita? Telah terbukti bahwa sekolah formal malah membatasi kreatifitas anak-anak kita, bahkan menjadikan mereka korup (demi nilai dan peringkat kelas mereka bisa melakukan apa saja: mencontek, menekan teman-temannya yang cerdas), menjadi pembohong pada gurunya kalau kedapatan tidak mengerjakan PR, dan berbohong lagi pada orangtua mereka kalau ternyata nilai mereka merah. Lalu mereka berebut jadi Pegawai Negeri Sipil dan menyuap kanan-kiri atas bawah. Tak heran kemudian korup menjadi tradisi dan mereka tidak menganggapnya dosa.



Baiklah kembali ke acara hebat itu. Acara ditutup dengan tari piring yang mengagumkan. Betul-betul piring yang mudah pecah jika tak pandai menggoyangnya. Lalu tarian hebat ini ditutup dengan salh seorang penarinya menari di atas piring hingga piring-piring itu pecah berkeping-keping. Saya kurang pasti apakah mereka kesakitan yang jelas saya melihat ada luka-luka di telapak kaki mereka sesudahnya.



Tepuk-tangan membahana di seluruh ruangan seusai rentak tarian itu habis. Saya berdiri dan memberikan applaus. Saya bangga akan Indonesia yang kaya raya dengan tradisi dan budaya nenek moyangnya. Saya melihat orang-orang Malaysia yang berasal dari Minang itu ketika kami makan dalam satu meja menyatakan hal yang sama:” Kami juga berasa bangga punya leluhur daripada Indonesia yang sangat elok” Oh indahnya serantau seirama ini.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Weka Gunawan saat ini memperdalam bidang Kesehatan Ibu dan Anak di Fakultas Kedokteran Universitas Kebangsaan Malaysia.