www.wkgunawan.blogspot.com

Kamis, 11 Februari 2010

Seratus tahun Buya HAMKA

Seratus tahun Buya HAMKA



(saya jadi berpikir tentang home schooling)



Oleh

(Weka Gunawan)

Kesehatan Keluarga

Fakultas Kedokteran Universitas Kebangsaan Malaysia



Saya berkesempatan untuk menghadiri acara Pentas Kesenian Minang Kabau di Universiti Kebangsaan Malaysia. Acara tersebut dilaksanakan di Dectar sebuah gedung yang biasa digunakan sebagai acara wisuda baik untuk tingkat diploma, sarjana maupun doctoral. Gedung itu memang tidak cukup besar dibandingkan misalnya AULA kuliah jaman saya mahasiswa di Universitas Airlangga Surabaya.



Saya mendapatkan undangan dari teman-teman baik saya yang kebetulan berasal dari Padang Sumatera Barat. Para pelajar dari Padang ini memboyong langsung dari Padang semua penari, pemain gendang dan pembaca syair. Saya bisa bayangkan betapa banyak ongkos yang harus dikeluarkan untuk acara ini. Rikki Vitria, Ario, Rahmat adalah sebagian pelajar yang tampak sibuk untuk acara ini. Mereka seringkali melaksanakan rapat di Rumah Makan Singgalang di Kompleks Hentian Kajang. Pemilik rumah makan ini memang berasal dari Padang tetapi telah menjadi warga Negara Malaysia.



Acara ini sedianya akan dihadiri oleh Rais Yatim Menteri Kebudayaan Malaysia, namun beliau tidak dapat hadir dan mewakilkannya pada Prof.Idris yang seperti halnya Rais Yatim juga mempunyai akar muasal dari Padang Sumatera Barat. Atase Kebudayaan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia juga hadir.



Sebuah pementasan yang mengagumkan digelar di Dectar. Saya kagumi bahwa pementasan ini cukup sukses. Permainan lampu dan tata suara amat membanggakan padahal levelnya hanya Universitas. Sayangnya tidak ada media yang meliput acara yang sangat menarik ini. TV satu Malaysia hanya mengulas pada acara seminar di pagi harinya. Lebih tentang sastra dan tak banyak pula mengulas seniman besar Buya HAMKA.



Pementasan Minang Kabau ini dimulai. Para penari yang cantik jelita menarikan tari penyambutan tamu dan kemudian memberikan kapur dan sirih sebagai tanda terimakasih kepada salah seorang tamu yang dianggap paling terhormat malam itu. Kemudian lagu-lagu yang dibawakan dalam bahasa Minang mengingatkan kita pada bumi Sumatera Barat yang indah dengan perbukitan, danau-danau dan pepohonan yang menghijau.



Selanjutnya adalah pembacaan kisah kehidupan Buya HAMKA yang dibacakan dengan cara drama oleh dua orang, lelaki dan wanita dengan pakaian tradisional Minang Kabau. Menceritakan buya HAMKA yang tidak pernah lulus sekolah dasar tetapi berani merantau ke luar daerahnya. Ia belajar secara otodidak, berguru pada alam, waktu dan siapa saja yang ditemuinya. Ia bertualang ke Yogyakarta, juga ke Saudi Arabia. Menulis perjalanannya, menyampaikan kisah-kisahnya. Hingga karyanya diakui oleh masyarakat sastra Indonesia. Buya HAMKA pun mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Mesir. Jika menilik kisah ini persis seperti kisah-kisah orang besar pengubat (dokter) terkenal Ibnu Sina, perjalanan panjang Honda, Hilton, bahkan Bill Gates dan Marck Zuckerberg (Facebook). Orang-orang ini tidak mengenyam pendidikan tinggi secara formal tetapi berhasil dalam hidupnya. Dan tidak ada yang menyangsikan kehebatan pengetahuan mereka. Siapa tahu sesungguhnya, home schooling adalah cara yang paling efektif bagi mendidik anak-anak kita? Telah terbukti bahwa sekolah formal malah membatasi kreatifitas anak-anak kita, bahkan menjadikan mereka korup (demi nilai dan peringkat kelas mereka bisa melakukan apa saja: mencontek, menekan teman-temannya yang cerdas), menjadi pembohong pada gurunya kalau kedapatan tidak mengerjakan PR, dan berbohong lagi pada orangtua mereka kalau ternyata nilai mereka merah. Lalu mereka berebut jadi Pegawai Negeri Sipil dan menyuap kanan-kiri atas bawah. Tak heran kemudian korup menjadi tradisi dan mereka tidak menganggapnya dosa.



Baiklah kembali ke acara hebat itu. Acara ditutup dengan tari piring yang mengagumkan. Betul-betul piring yang mudah pecah jika tak pandai menggoyangnya. Lalu tarian hebat ini ditutup dengan salh seorang penarinya menari di atas piring hingga piring-piring itu pecah berkeping-keping. Saya kurang pasti apakah mereka kesakitan yang jelas saya melihat ada luka-luka di telapak kaki mereka sesudahnya.



Tepuk-tangan membahana di seluruh ruangan seusai rentak tarian itu habis. Saya berdiri dan memberikan applaus. Saya bangga akan Indonesia yang kaya raya dengan tradisi dan budaya nenek moyangnya. Saya melihat orang-orang Malaysia yang berasal dari Minang itu ketika kami makan dalam satu meja menyatakan hal yang sama:” Kami juga berasa bangga punya leluhur daripada Indonesia yang sangat elok” Oh indahnya serantau seirama ini.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Weka Gunawan saat ini memperdalam bidang Kesehatan Ibu dan Anak di Fakultas Kedokteran Universitas Kebangsaan Malaysia.

2 komentar:

  1. Terima kasih mbak Weka laporan pandangan matanya, akan saya bagi info ini dengan teman2 di kampuang.

    BalasHapus
  2. Terimkasih Mbak Weka, atas postingan ini...
    Mudah mudahan ketokohan buya Hamka ini dapat kita jadikan contoh dalam memotivasi Putra-putri kita...

    BalasHapus