www.wkgunawan.blogspot.com

Rabu, 02 September 2009

CONFUSING LANGUAGE

I can't hold myself to write about Indonesia and Malaysia, so I give you all 2 writings about that issue.

First title is Confusing Language and the second title is: SEMPADAN RI MALAYSIA AND INDONESIA (Indonesia and Malaysia relationship). So just enjoy the writings.

Keliru berbahasa
(Confusing Language)
Oleh: Dr.Weka Gunawan
(Family Health, Faculty of Medicine Universiti Kebangsaan Malaysia)

Apa yang menyenangkan saat menginjakkan kaki di bumi Malaysia? Bahasa! Ya Bahasanya terdengar unik. Jika mereka menjawab pertanyaan kita menggunakan bahasa Melayu (sekarang bahasa Malaysia) maka pada awalnya kita akan meminta mereka mengulangi kembali jawabannya saking cepatnya mereka berbicara. Sudah begitu malangnya bahasa Malaysia tidak baku dalam penggunaannya. Mulai dari Johor, Negeri Sembilan, Selangor sampai di ujung Semenanjung Malaysia yakni Kelantan bahasa Melayu yang digunakan jauh berbeda penggunaannya. Hal ini diperparah dengan gaya anak mudanya yang mencampur baurkan bahasanya dengan bahasa Inggris.

“I nak letak kereta dekat townhouse sana” “Regardless bangse cine ke, India ke, melayu ke, tak payah bising-bising…” “For God sake, Abang, jangan tuduh saye cam tu” dan sebagainya .

Tetapi, mereka memang menggunakan istilah Inggris untuk berbahasa. Juga ketika mengeja huruf: e bi si di ie ef ji dan seterusnya. Prof.Rossa, seorang guru besar di Universitas Indonesia pernah mengernyitkan kening dan tampak kurang senang saat ia bertanya, “Dimana ambil S-3nya?”, saya jawab, “Yu ke em” sungguh tidak bermaksud ‘gaya’ saya terpengaruh orang Malaysia yang demikian menyebut namanya Universitas Kebangsaan Malaysia tersebut. Sudut bibirnya pun menyungging senyum ke bawah. Mengejek. Saya tersadar.

Jadi bahasa Inggris di Melayukan seperti: epal untuk apple, stesen untuk station, berus untuk brush, selipar untuk slipper, dan lain sebagainya. Jangan heran jika makcik-makcik dan abang-abang di pasar-pasar dengan lancar berbicara,”Tak sure lah” “So, cam mane nak ape lagi?”

Kawan saya bu Elly, mengalami hal lucu saat sedang duduk di dalam Bus Rapid KL. Ia disapa oleh ibu-ibu yang lebih berumur,” Awak duduk kat mane?” Bu Elly dengan wajah polos menjawab,”Duduk dimana-mana saja, Mak Cik saya suka” Ibu-ibu itu segera memperlihatkan mimik wajah kurang suka pada Ibu Elly. Mengapa mereka tidak suka, belakangan kami baru tahu arti kata “duduk” yang berarti “tempat tinggal”. Ia menanyakan dimana rumah bu Elly , dan ia menganggap bu Elly wanita kurang baik karena suka tinggal dimana-mana tidak punya rumah tetap. Sementara bu Elly mengira ia bertanya soal tempat duduk di bus.

Seorang kawan lain mengalami salah paham soal bahasa ini. Indah, seorang mahasiswa tingkat ijazah mendapat telpon dari kawan Malaysianya,”Saye jemput ye pukul 8 dekat rumah ada majlis hari jadi saye”. Indah betul-betul menunggu dijemput pada pukul 8 malam itu. Sayangnya “menjemput” artinya adalah mengundang. Sehingga Indah memang harus gigit jari, semalaman kawannya tak muncul juga.

Coba baca pengumuman di poster yang dipasang di kampus:
Semua dijemput hadir ke bazaar Konvokesyen ke 37 UKM. Masuk adalah percuma. Di Indonesia, percuma bermakna ‘gratis’ atau ‘tidak membayar apapun’ sudah lama tidak kita gunakan. Kata ‘percuma’ sekarang bermakna ‘sia-sia’.

Tetapi jangan heran bahwa bahasa kita pun terasa lucu oleh beberapa kawan Malaysia. Zuhaya, sahabat dekat saya berkunjung ke rumah kami. Anak beliau Atiq yang berusia 10 tahun tersenyum saat melihat sinetron Indonesia yang diputar di TV. “Mak, kelakar sangat Zoo mereka cakap Kebun Binatang macam pokok tanaman lah” artinya: “Mak, lucu deh Zoo mereka bilang Kebun binatang. Binatang kok di kebun seperti tanaman saja”. Ketika saya mengajak bayi saya, “Ayo bobo” Norriah kawan saya mengatakan,”Tido ya kak Weka. Kelakar yer”

Saya melangkah menuju tempat parkir perumahan kami, seorang tetangga menyapa,”Nak kemane, Puan? Makan angin yer? Seronok makan angin kan musim cuti ni..” artinya: “Mau kemana Nyonya? Jalan-jalan ya? Asyik ya jalan-jalan musim libur ini”.

Bahasa Melayu identik dengan warga Melayu. Yang dimaksud Melayu di Malaysia bukan saja warga dari etnis Melayu (Sumatra dan Kalimantan: Banjar) tetapi juga dari etnis Jawa, Bugis, Madura. Etnis lainnya India dan Cina seringkali terdengar tak bagus dalam berbahasa Melayu. Mungkin untuk membuat etnis Cina dan India merasa memiliki bahasa itu maka sejak tahun 2007 dikatakan bahwa itu bahasa Malaysia (dengan slogan keranamu Malaysia, Malaysia awakening dalam rangka Hari jadi Kemerdekaan). Kini tahun 2009 pemerintah pusat terus mendengungkan slogan baru: satu Malaysia, satu bangsa Malaysia. Bayangkan mereka baru mendapat nama Malaysia itu pada tahun 1963 ketika Singapura, Sabah dan Sarawak dipaksa bergabung, sebelumnya adalah Malaya. Bahkan guru bahasa Melayu saya Puan Azilla, ketika saya bilang bahwa yang ada adalah Semenanjung Malaya bukan Semenanjung Malaysia, beliau bersikeras tidak ada. Ramai rakyat Malaysia tidak tahu sejarah yang sesungguhnya.

Pelajaran sains dan matematika yang tadinya dengan pengantar bahasa Inggris sekarang mulai ditinggalkan. Mungkin pemerintah juga khawatir jika bahasa Melayu tak digunakan dengan baik maka akan semakin buruk. Anak-anak muda lebih suka berbahasa Caca Merba (campur baur dengan bahasa prokem, bahasa etnis dan bahasa Inggris) hal ini tercermin dari drama-drama dan film-film yang mereka buat. Tetapi susah pula disalahkan kaum belia karena mereka melihat tokoh-tokoh politik di media terutama di televisi bahasanya tidak baku, selalu bercampur baur dengan dialek daerah (kampung halamannya), dan bahasa Inggris yang juga tak bagus karena dialek etnis India dan Cinanya.

Anak-anak muda Malaysia tidak lagi pandai bercakap bahasa Melayu sebagus di film-film lama yang dibintangi P.Ramlee, disitu terlihat budaya Melayu yang santun, lemah lembut dan tidak suka mengambil hak-hak orang lain apalagi menganiayanya. Merdeka!
Cheras Kuala Lumpur Agustus 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar