Sempadan Republik Indonesia dan Malaysia
Oleh: Dr.Weka Gunawan, Family Health, Faculty of Medicine, National University of Malaysia
Sungguh, saya baru tahu bahwa Malaysia telah mempromosikan sebuah pulau di kepulauan Riau menjadi salah satu destinasi pelancongan negeri Selangor. Sebuah langkah-langkah yang mirip seperti yang pernah Malaysia lakukan saat mengakuisisi pulau Sipadan dan Ligitan. (Meski kononnya sebenarnya ini masih bisa digugat kembali karena rakyat Ligitan dan Sipadan mengatakan bahwa mereka sangat bangga dan mencintai tanah air mereka Indonesia. Pemilihan Umum kecil (jajak pendapat) di daerah itu ketika itu kononnya penuh kecurangan, rakyat lokal tidak memahami maksud jajak pendapat kala itu). Saya juga baru tahu bahwa hari-hari ini media di Indonesia penuh dengan pertanyaan-pertanyaan kepada Pemerintah apa langkah-langkah untuk menjaga kedaulatan Negara Republik Indonesia. Maklum di sini, di Malaysia, tak ramai rakyat yang mengetahui sepak terjang pemerintahnya. Tidak ada sedikitpun beritanya di televisi. Tetapi tentu saja orang-orang media di kantor mereka juga kasak-kusuk sendiri. Berita-berita di televisi adalah berita-berita yang diulang-ulang bahkan yang dua hari sebelumnya. Tidak menarik (ga seru). Tidak ada ‘update’ seperti yang kita buat di Indonesia. (Jadi terharu dulu rapat redaksi sampai lima kali sehari).
Media umum tidak ada sedikitpun menyinggung masalah yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia. Rakyat bahkan buta tentang peran Indonesia bagi kemajuan Malaysia. Rakyat tidak tahu bahwa kemajuan Indonesia-lah yang menginspirasi tokoh-tokoh politik dan alim-ulama Malaya pada jaman dahulu. Mereka misalnya tidak tahu bahwa Indonesia itu merdeka pada tahun 1945 dan nama Indonesia itu sudah berdengung dalam sumpah pemuda pada tahun 1928.(Kami rakyat Indonesia, bertanah air satu, tanah air Indonesia, kami rakyat Indonesia berbahasa satu, bahasa Indonesia, kami rakyat Indonesia berbangsa satu, bangsa Indonesia!). Sedangkan Malaya baru merdeka tahun 1957, mendapatkan nama Malaysia baru pada tahun 1963 ketika Sabah, Sarawak dan Singapura dipaksa bergabung. Lalu baru sadar: 1 Bangsa Malaysia, 1 Malaysia ya tahun 2009 ini. Jadi memang kurang asem ya kalau mereka sebut kita, “Indon”.
Ribuan orang Indonesia menyeberang lautan setiap tahun untuk mengais rejeki. Tidak hanya ke Malaysia tetapi juga ke Singapura, Hongkong, Timur Tengah dan bahkan ke Amerika dan Eropa. Sebenarnya ini tamparan keras untuk pemerintah Indonesia untuk segera berbenah diri. Rakyat Indonesia memang mudah untuk bicara di media apa saja, sesukanya. Tetapi apakah keluhan mereka segera ditangani? Jangan harap! Kecuali media memberitakannya besar-besaran barulah mendapat perhatian. Ribuan orang Indonesia kecewa dengan orang-orang yang seharusnya mengayomi rakyatnya. Saya mengalaminya, meski saya sudah bercerita dengan seorang wakil rakyat tentang masalah saya tak ada jawaban pun sampai sekarang. Mengapa? karena masalah saya masalah ‘ecek-ecek’. Tidak melibatkan misalnya uang triliunan rupiah. Tetapi di Malaysia, jangan heran kalau ada kedai yang menjual makanan terlalu mahal, es milo dijual mahal, rakyat cukup mengirim s-m-s dan tidak sampai sehari pemerintah negeri sudah memberikan tanggapan. Padahal itu cuma masalah uang beberapa sen. Ijin berniaga kedai tersebut bisa dihentikan. Korupsi benar telah mencapai 30% (Statistik Badan Integriti Nasional), dan pemerintah disini segera melakukan langkah-langkah. Semua hak rakyat memang diberikan, dan kalau ditanya ke rakyat biasa di Malaysia “Kami bertuah duduk kat sini.. bekalan air ditaja, bekalan listrik disubsidi, ayam daging dikawal harganya sehingga tidak naik di musim perayaan, gula tepung pun disubsidi…” Demikian pula harga obat-obatan betapa banyak obat yang masuk dalam harga kawalan Pemerintah. Sampai sedih hati saya mengingat rakyat-rakyat Indonesia yang mempertaruhkan nyawanya ke dukun-dukun anak-anak (ajaib?) hanya karena tidak bisa membayar biaya ke Puskesmas. (Pemda seharusnya tidak menjadikan Puskesmas sebagai sarana mendapatkan pendapatan daerah). Jika triliunan rupiah dengan suka cita dikeluarkan untuk merebut kekuasaan mengapakah menjadi berat jika itu untuk rakyat?
Banyak pelajaran yang seharusnya segera dilakukan aksi. Tidak hanya mengobarkan kebencian. Bagaimana menjaga hak adi luhung budaya, menjaga hak intelektual, menjaga orang-orang cerdas di negeri ini untuk mendapat kepercayaan sepenuhnya tanpa dibebani hal-hal yang tidak berkenaan, menjaga pulau-pulau dan rakyat yang mendiaminya. Memberantas korupsi dengan sungguh-sungguh. Berlaku adil seadil-adilnya di depan hukum. Taat dan takut pada Sang Khalik seperti yang sering para pemimpin ucapkan. Ada koherensi antara hati, ucapan dan yang dilaksanakan.
Dua hari lalu, di tayangan TV1 (RTM1) ada liputan tentang tentara Malaysia dan Indonesia melakukan penjagaan bersama di sempadan ke dua negara. Dalam tayangan itu saya melihat bahwa mereka berolah-raga bersama, main permainan local bersama bahkan berbuka puasa bersama. Terlihat rukun dan damai. Entah itu penggambaran diambil kapan tetapi seakan-akan itu terjadi pada ramadhan kali ini.
Saya ingat, ada orang bijaksana berpesan: Kita tidak bisa mengubah orang lain atau situasi, tetapi kita dapat mengubah cara pandang kita dalam menghadapi orang lain atau situasi tersebut. Saya kira makin cepat kita beraksi makin cepat masalah diatasi. Letih sudah berwacana, letih sudah dibakar rasa marah.
Salam damai (for world peace),
Weka Gunawan
URL:http/www.gunawanweka@blogspot.com
di Hospital Universiti Kebangsaan Malaysia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar