www.wkgunawan.blogspot.com

Sabtu, 21 November 2009

ENJOY JAKARTA! (Bagian 1)

ENJOY JAKARTA!


(bagian 1)

Oleh: Weka Gunawan,

Family Health Faculty of Medicine

National University of Malaysia (UKM)



Menyusuri Jakarta adalah melihat kembali perjalanan awal hidupku di Jakarta. Berawal meninggalkan ‘zona kenyamanan’ku di Surabaya. Aku mengikuti suami mendatangi Jakarta pada bulan Agustus 1993. Masa awal itu ada seorang tua yang mengijinkan kami berdua tinggal di sebuah rumah mungil tetapi yang dikelilingi kebun seluas 6000m2 di daerah Condet Jakarta Timur. Almarhum bapak Harsono yang berbaik hati pada kami.

Saat itu belanja 5000 rupiah saja, sudah bisa membeli banyak keperluan hidup: gula, udang, sayuran, teh dan beras. Sementara gaji sudah mencapai 875.000 rupiah plus uang makan dan lain-lain bisa mencapai satu juta rupiah.

Menyenangkan sekali setiap pagi sebelum berangkat ke kampus untuk aku dan suamiku ke kantor, kami masih sempat berolah-raga. Aku memutuskan mengikuti program pasca sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Indonesia. Nyaris setiap pagi menyusuri gang-gang kecil untuk mencapai pasar Kramat Jati. Saat itu pasar Kramat Jati hingga Cililitan sudah luar biasa macet karena para penjual tidak hanya memakai trotoar atau bahu jalan tetapi menyisakan hanya sedikit saja untuk satu mobil lewat. Sarapan kami adalah nasi uduk hangat yang dibungkus mungil berisikan telur utuh dan tahu. Saat itu harganya hanya 500 rupiah. Aduh, nasi uduk luar biasa sedap hingga nasi uduk Kebon Kacang yang sering dipromosikan orang itu tak ada apa-apanya. Sayangnya karena gang-gangnya itu berliku-liku, aku lupa untuk mencapainya lagi ke sana.

Pada tahun 1994 kami pindah ke perumahan Sawangan Permai di daerah Sawangan Kabupaten Bogor. Saat itu, aku telah bekerja di Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), dan ternyata mencapai kantor dari rumah, aku harus menempuh perjalanan sebelum subuh! Kami melaksanakan salat subuh di mesjid di tepi jalan, sehingga bisa mencapai kantor RCTI di Kebon Jeruk Jakarta Barat, tepat pukul 07.30 pagi! Ketika itu macet sudah semacam hantu mangkal yang harus diwaspadai. Titik-titik macet yang harus kami lewati adalah pasar Ciputat, jalan Panjang ketika itu belum jadi, jadi harus berputar-putar di daerah Kebayoran Lama, dan macetnya luar biasa. Seringkali, aku sering kebelet kencing dan meninggalkan mobil menuju kedai pompa bensin. Yang lucu, sampai aku selesai pipis, macet itu tidak juga terurai.

Setelah itu pada Juli 2000, aku ikut berpartisipasi membangun stasiun televisi baru. Dulu sebelum aku resmi bergabung, stasiun televisi belum bernama jelas dan kami pegawainya masih tertulis sebagai pegawai Para Group. Awalnya nama yang diusulkan Mega TV karena saat itu pemiliknya mempunyai BANK MEGA. Namun saat itu nama itu ditolak, karena berasosiasi dengan nama salah satu kandidat presiden kala itu. Malas sekali rasanya jika pendirian sebuah TV berkaitan dengan nama tokoh politik. Saat itu sudah mulai terdengar Abdul Latif (menteri di Orde baru) mau mendirikan LAtivi. Chairul Tandjung TV juga tak diterima sebab tidak mereflesikan kebersamaan dalam membangunnya. CT sendiri yang menolak namanya menjadi nama stasiun TVnya. Sehingga, karena masa reformasi masih sangat terasa, maka disetujui nama PT.Transformasi Indonesia. Chairul Tandjung memang mewujudkan mimpi besarnya melalui usaha media ini. Sekarang pak CT ( demikian kami biasa memanggil) sudah kemana-mana dengan pesawat jet pribadinya. Pada tahun 2000 itu, pak CT hanya naik Kijang biasa berwarna coklat metalik. Arlojinya pun bukan Rolex tetapi merek ALBA. Bagaimanapun gaya hidupnya mempengaruhi cara aku memaknai hidup. Meski aku tak sekaya CT, tetapi hingga sekarang aku mensyukuri kehidupan sederhanaku. Televisi sebuah tempat mengekspresikan diri buatku, sejak usia 18 tahun, aku telah menjadi bagiannya. Dari 500 pelamar hanya 5 orang (termasuk aku) yang berhasil lolos dan proses recruitment memakai sistem gugur itu.

Dan usia 19 tahun, aku bertemu pak Ishadi S.K di TVRI Surabaya. Tak dinyana orang tua ini akhirnya menjadi Bos-ku kembali di Trans TV. Aku salah seorang penyiar di TVRI Surabaya. Aku siaran sambil kuliah. Sebentar…eit, aku melantur jadinya. Aku ingin mengisahkan tentang Jakarta bukan TV atau diriku!

Nah, bertandang ke Jakarta pada tahun 2009. Setelah aku lebih banyak bermukim di Kuala Lumpur sejak Agustus tahun 2006. Maka, Jakarta lumayan terasa perbaikan. Di beberapa ruas jalan yang dulu banyak bertebaran penjual kaki-lima sekarang sudah tidak ada lagi. Trotoar mulai bisa difungsikan sebagaimana seharusnya. Pasar Kebayoran Lama yang dulu sumpek sekali di ujung jalan raya Cileduk sekarang sudah lebih lega dilewati. Dulu, macet sekali di titik itu.

Aku juga melihat Fauzi Bowo agaknya berusaha sungguh-sungguh untuk membenahi Jakarta. Rumah-rumah non permanen di bantaran kali Ciliwung dirubuhkan. Pengambilan keputusan memang perlu pengorbanan. Sedu sedan, isak tangis penghuni rumah-rumah liar itu memang menyisakan gurat sakit di ulu hati. Tetapi rasa sakit ini terpaksa dipilih demi kepentingan yang lebih besar: menghindari banjir, mengurangi penularan penyakit, mencegah berjangkitnya penyakit-penyakit infeksi karena penduduk padat dan hidup berdesakan di kawasan yang buruk sanitasinya. Udara yang kotor karena barbagai macam gas yang terbentuk sebagai buangan aktifitasnya penduduknya.

Melintasi kawasan Jalan Deplu menuju Bintaro juga terlihat sungai yang (sering meluap jika hujan di kawasan Bogor) mulai tampak lancar mengalir.

Yang aneh kawasan Bintaro tidak seperti di iklan-iklannya, mulai padat. Rumah-rumah mulai sektor satu sampai sembilan penuh jadi toko, rumah makan, Café, salon, bengkel cuci mobil yang benar-benar menjadi area yang kurang menyenangkan untuk tinggal. Padahal, harga-harga rumah baru di kawasan ini dengan luas hanya 300m2 mencapai milyaran rupiah. (Kata orang: edan, biar semahal itu, rumah mungil itu ada yang beli lho). Tidak heran harga-harga rumah di Jakarta jauh lebih mahal bahkan dibanding Singapura dan Kuala Lumpur. Meski mahal, tinggal di kawasan Jakarta sudah sumpek berdirinya rumah makan, distro di kawasan Kemang, Fatmawati, Pondok Indah, Bintaro sungguh menjengkelkan. Rumah-rumah tinggal yang dulu asri itu sekarang riuh dengan mobil parker. Tak heran, para penghuni yang tadinya tak berniat menjual rumahnya yang terletak di pinggir jalan, jadi tidak merasa nyaman lagi tinggal disana. Rasanya Menteri Negara Perumahan perlu menindak Pengembang-pengembang yang banyak bohongnya di brosur-brosur perumahan yang dijualnya. Para pembeli awal menjadi rugi besar, padahal mereka dulu membeli karena suasana yang masih sunyi dan tenang. Dulu, Bintaro banyak dan luas kawasan hijaunya sekarang Perumahan yang pernah jadi Master piecenya Ciputra itu bagai sebuah kota yang sumpek. Macet, angkutan kota lalu lalang dan jumlahnya makin meningkat menimbulkan polusi. Apalagi di sektor 5 kalau hujan banjirnya hingga selutut! Juga dengan seenaknya pedagang-pedagang kaki lima masih ada yang menduduki trotoar, meski sudah disediakan Sektor 9 Walk di Bintaro sektor 9. AKu sungguh berharap pengembang Bintaro menghentikan didirikan rumah-rumah lagi, apalagi di kawasan serapan. Juga pengembang lainnya yang sering menempel di Bintaro Jaya. Cukup. Rumah hanya dengan 3 kamar mandi, satu kamar pembantu saja harganya sudah sangat mahal tapi hidup di kawasan yang udaranya tak lagi segar.

Juga, aku berharap jika kembali ke Jakarta lagi kelak. Kawasan taman-taman semakin ditingkatkan. Mengapa? Karena itu adalah investasi menabung udara segar, menabung air tawar yang baik dan juga memperindah kota dan membahagiakan penduduknya. Penduduk yang bahagia akan sehat dengan serta-merta.

Semoga kemacetan karena angkutan umum yang dengan seenaknya berhenti, ngetem menunggu penumpang ditindak tegas. Atau kurangi angkutan kota. Tidak mengapa menunggu. Waktu di London, saya suka menunggu Bas untuk pulang ke rumah di Catford. Kondekturnya seorang nyonya usia 60-an, ia akan menolak kami masuk jika dirasanya penumpang yang berdiri sudah lebih dari 4 orang. “Just wait the next bus please. No more standing..” katanya. Ah, kapan Jakarta seteratur London? Atau paling tidak seteratur Kuala Lumpur? Aku optimis jika Fauzi Bowo berani mengambil banyak langkah-langkah drastik maka hal itu akan terwujud tidak lama lagi. Semoga.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Tidak ada komentar:

Posting Komentar