DEMAM BERDARAH-DARAH
oleh: Weka Gunawan (Family Health, Faculty of Medicine University Kebangsaan Malaysia)
(masih perlu dibaca!)
Tingkat kematian (case fatality rate) demam berdarah dengue (DBD) telah mencapai satu persen. Itu artinya, dalam 100 kasus demam berdarah ada satu orang meninggal dunia karenanya. Itu sebuah angka yang luar biasa! Kematian akibat DBD terjadi di mana-mana, bahkan di daerah yang pendapatan per kapita lokalnya lebih besar daripada daerah lain di Indonesia Timur.
DKI Jakarta yang kota metropolis jumlah penderita DBD sudah mencapai 2.518 orang. Itu tidak hanya menyerang masyarakat bawah, tetapi juga kelompok sosial di atasnya, contohnya artis Angel Ibrahim dan anak-anak sutradara film kenamaan Garin Nugroho. Belum lagi di beberapa daerah yang lain.
Kasus ini mendadak membuat semua orang di kalangan Dinas dan Departemen Kesehatan blingsatan. Belum lagi usai diwawancarai kanan-kiri, disibukkan dengan rapat-rapat yang tiada berujung tentang aviant influenza atau flu burung, Dirjen Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Umar Fachmi Achmadi kembali lagi jumpa pers dan “meneriakkan” ke semua jajaran kesehatan baik di tingkat puskesmas, rumah sakit maupun klinik-klinik swasta untuk bertindak cepat pada penderita yang datang dengan gejala demam tinggi, terutama untuk anak-anak diminta, segera memberikan infuse untuk mencegah renjatan.
Tak ayal Menteri Kesehatan Achmad Sujudi juga menyatakan bahwa kini demam berdarah telah menjadi kejadian luar biasa nasional yang memerlukan kesiagaan dan kesigapan semua pihak. Warga diminta tidak memandang remeh gejala demam panas dan menganggapnya cukup diberi obat penurun panas.
Warga diminta segera berobat ke tempat pelayanan kesehatan terdekat untuk memeriksakan diri dan menjalani pengobatan. Klinik dan rumah sakit wajib menangani masyarakat tanpa pengecualian! Meskipun imbauan ini seringkali terganjal dilapangan. Banyak warga yang tidak tertangani hanya karena tidak mampu membayar biaya perawatan dan obat-obatan.
Mitos virus dengue
Setiap kali wartawan mewawancarai kalangan kesehatan (sebelum kejadian luar biasa ini terjadi) apakah itu pejabat di pusat, daerah atau Kepala puskesmas tentang demam berdarah, selalu jawaban klasik yang dinyatakan yakni, “Ah biasa, ini siklus lima tahunan” atau “ Ah biasa, ini penyakit menjelang musim hujan, nyamuk-nyamuk serentak menetaskan telur-telurnya” atau “ Kita sudah siapkan program pengasapan dan pemberian bubuk abate (pembasmi jentik-jentik nyamuk) ke masyarakat, terutama di daerah-daerah endemic” atau “Ini sudah umum kami alami. Januari hingga Maret memang banyak sekali kasus DBD dan nanti April pasti sudah habis!”
Penanganan rutin dan merasa (berilusi) sudah melakukan segalanya untuk menangani demam berdarah menempel lekat di kepala para pelayan kesehatan publik itu. Jika itu jawaban dan tindakannya, maafkan saya harus mengatakan, inilah hasilnya akibat dari semua jawaban itu selama bertahun-tahun. Jika jawaban itu yang masih ada di kepala para pelayan kesehatan public, maka jangan heran jika sikluis lima tahunan menjadi tiga tahunan atau bahkan menjadi stau tahun. Bahkan kita akan mengalami kejadian luar biasa dengan jumlah penderita yang lebih besar lagi suatu saat jika pendekatan yang dilakukan masih tetap sama.
Pemanasan global
Virus dengue penyebab penyakit DBD ini adalah jenis arbovirus (arthropod-borne viruses) karena ia ditularkan oleh arthropoda yang kita kenal dengan nyamuk aedes aegypti. Badan Kesehatan Dunia bahkan menyebut DBD sebagai penyakit infeksi baru. Populasi yang terkena DBD, ketika WHO canangkan ini pada 1996, telah mencapai dua per lima dari jumlah penduduk bumi atau sekitar 2.500 juta orang dengan 95 persen menyerang anak-anak.
Pemanasan global yang terus terjadi akibat mencairnya es di kedua kutub di bumi ini menjadikan suhu lebih panas dan kelembaban tinggi yang mengakibatkan faktor inkubasi ekstrinsik (siklus dari telur menjadi larva kemudian menjadi nhyamuk) lebih cepat sehingga nyamuk-nyamuk ini dewasa dengan cepat meningkat populasinya. Nyamuk-nyamuk dewasa ini siap menularkan virus yang dibawanya ke mana saja tanpa pandang bulu.
Pemanasan global ini pun berpengaruh pada virus yang ada di dalam tubuh nyamuk yang turut mengalami mutasi, beradaptasi dengan lingkungannya. Seingat saya, dulu di awal 1990-an Pratiwi Sudharmono dan kawan-kawan telah berupaya membuat vaksin dengue ini. Kini penelitian itu entah telah sampai di mana. Namun, jika masih berlangsungalangkah bagusnya jika warga masyarakat juga tahu tentang kemungkinan ini: vaksinasi dengue untuk daerah-daerah endemic.
Suhu udara yang hangat, kelembaban nisbi dan tersedianya cukup air menyebabkan nyamuk-nyamuk mampu berkembang biak dengan mudah dan cepat. Maka, jangan heran di daerah-daerah dingin seperti subtropis penyakit demam berdarah juga menjangkiti penduduknya akibat pemanasan global. Nyamuk-nyamuk ini bermigrasi ke sana.
Bekerja samalah
Agaknya, model mental bahwa kesehatan hanya dibicarakan oleh orang kesehatan saja harus mulai berubah. Kesehatan adalah masalah kita semua. Menjadi sehat adalah keinginan kita semua tanpa kecuali. Maka, melihat ilustrasi yang saya kemukakan sebelumnya temntang aspek lingkungan dalam penyebaran vektor nyamuk ini, rasanya kita kini perlu mengikutsertakan semua pihak, tidak hanya di jajaran Departemen Kesehatan, misalnya dengan Dinas Meteorologi yang mampu mengamati perubahan suhu lingkungan, curah hujan, kelembaban atau perubahan alam lainnya.
Mungkin perlu juga diperhatikan hal-hal seperti bagaimana perhitungan ekologi lanskap, temperature optimal perkembang biakan vektor, demografi penduduk, migrasi penduduk, reservoir alami dan lainnya, untuk mengantisipasi perubahan karakter penyakit-penyakit tertentu. Karena ini penyakit global, rasanya kita perlu terus menginvestasikan waktu dan energy untuk bekerja sama tentang masalah penyakit arbovirus ini dengan negara-negara lain.
Sebagai orang yang berkecimpung di bidang kesehatan masyarakat maka kita tidak bertindak dan berbicara hanya ketika sebuah penyakit sudah menyerang tetapi bagaimana mencegah dan mengoptimalkan tubuh kita agar tidak terserang penyakit. Saya mengingatkan bahwa tantangan kita ke depan amat sangat banyak untuk masalah penyakit-penyakit infeksi ini.
Selain kita disibukkan dengan penyakit-penyakit batu HIV/AIDS, SARS, dan flu burung, maka yang belum juga usai kita tuntaskan adalah malaria, tuberculosis (TB), serta meski sudah ada Pekan Imunisasi Nasional yang begitu kita banggakan karena cakupannya yang luas-campak dan polio.Sekali lagi, jika nyamuk dan virus saja begitu fleksibelnya dengan perubahan di planet bumi ini, apakah kita manusia tidak mau juga berubah dan tetap punya model mental yang sama dari tahun ke tahun?
Investasikan waktu dan energi bukan ketika media memberitakannya atau tersinggung ketika media mengkritik, tetapi kini kita harus bergerak cepat untuk mengantisipasi dan tidak hanya dengan kalangan kesehatan saja. Kejadian luar biasa kali ini memang menyentak kita semua, namun kelak ketika media tidak lagi memberitakan ini semoga ini tetap menjadi agenda sungguh-sungguh, tidak hanya DBD, untuk menuju Indonesia Sehat 2020.
C.S.P. Wekadigunawan
Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta
Dimuat di Koran Tempo, Jumat 20 Februari 2004, halaman B7