4 Sehat 5 Sempurna? Jadul ah!
Oleh: Weka Gunawan,
Kandidat Doktor Ilmu Kesehatan Keluarga, Fakultas Kedokteran Universitas Kebangsaan Malaysia
4 Sehat 5 sempurna, seperti sebuah jimat pamungkas untuk perbaikan gizi di Indonesia. Hari-hari ini, saya menyaksikan sebuah iklan minuman sereal yang mempromosikan produknya sebagai 4 sehat 5 sempurna. Selama bertahun-tahun di benak para ibu mungkin juga kita semua bahwa konsumsi susu melengkapi asupan gizi kita menjadi sempurna. Riset membuktikan bahwa pendekatan itu sudah kuno, dan harus cepat-cepat ditinggalkan.
Ketika diwawancarai oleh wartawan surat kabar Kompas beberapa waktu lalu, saya mengemukakan bahwa sejak tahun akhir 80-an, dan menjamurnya makanan-makanan siap saji, maka Indonesia mempunyai banyak beban dalam dunia kesehatan khususnya gizi. Indonesia masih berkutat dengan kekurangan gizi: gizi buruk, busung lapar tetapi juga mengalami kelebihan gizi: meningkatnya kolesterol, obesitas. Semuanya berdampak pada pola penyakit yang timbul: kekurangan gizi menyebabkan tubuh tidak mampu membangun zat-zat kekebalan tubuh dengan baik. Oleh karenanya penyakit-penyakit infeksi masih merupakan penyakit tertinggi di Indonesia. Kita masih belum pernah selesai dengan ISPA, tuberculosis, bahkan penyakit-penyakit infeksi seperti typhus. Di lain sisi kita juga menghadapi akibat kelebihan gizi yakni timbulnya penyakit-penyakit degenerative seperti penyakit jantung, gangguan fungsi ginjal dan gangguan hati (liver). Maka, pendekatan 4 Sehat 5 Sempurna terbukti tidak lagi sesuai. Konsep itu menyebabkan keluarga berusaha memenuhi makanan mereka sehari-hari dengan jumlah daging, susu, tepung, lemak, gula yang banyak. Sebaliknya konsumsi sayur dan buah menurun.
4 Sehat 5 Sempurna mengadopsi Basic four and Basic Five, di Amerika dan segera direvisi pada tahun 1970-an. Penyebabnya sama: obesitas dan meningkatnya penyakit-penyakit akibat kelebihan gizi. Prof. Poerwo Soedarmo memperkenalkan 4 sehat 5 sempurna pada tahun 1950-an namun semasa paruh akhir hidupnya Prof.Poerwo justru menerapkan konsep baru gizi yakni Gizi Seimbang (Balance Diet). Hal ini pernah diceritakan Prof.Purnawan Junadi dari FKM UI pada tahun 2002. (Obrolan seru tentang apa saja di sebuah rumah makan yang luas dan asri di Suranadi di Pulau Lombok).
Gizi Seimbang (Balance Diet)
Pada tahun 1980, George McGovern didukung organisasi profesi kesehatan menerbitkan pedoman baru Nutrition Guideline of Balance Diet Nutrition Guide. FAO (organisasi pangan sedunia) pada tahun 1992 mengajak negara-negara anggotanya untuk mengadopsi paradigm baru yang terjadi di Amerika. Tahun 1994, pemerintah Indonesia menjawab ajakan itu dan membuat Gizi Seimbang sebagai media penyuluhan gizi dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) VI. Sayangnya, ramai orang yang menganggap ini rumit, tak mudah dihafalkan oleh kader-kader kesehatan, dan kemudian dengan berjalannya waktu Indonesia fokus pada perubahan-perubahan cepat di elit politik. Gagasan ini tak banyak gaungnya. Sayang sekali!
4 Sehat 5 Sempurna itu kuno!
Mengapa 4 sehat 5 sempurna itu kuno? Karena konsep itu menganjurkan pemenuhan gizi yang tidak berimbang dan menjadikan susu satu-satunya sumber protein hewani yang sempurna. Dalam petunjuk Gizi Seimbang, asupan diet disesuaikan dengan usia seseorang bahkan juga aktifitasnya. Konsep mudahnya dibuatlah piramida gizi seimbang Indonesia. Oleh karena itu maka gizi seimbang untuk bayi usia 0 hingga 6 bulan adalah Air Susu Ibu (ASI), demikian pula untuk anak batita (di bawah tiga tahun), balita, remaja, dewasa dan juga orang-orang lanjut usia. Susu merupakan salah satu sumber protein hewani. Susu juga bukan penyempurna perbaikan gizi. Protein hewani bisa kita dapat dari telur misalnya, dan harganya juga terjangkau oleh masyarakat di Indonesia. Oleh karena itu konsep ini memungkinkan dilakukan oleh semua strata masyarakat.
Akhirnya semoga tulisan ini bisa memperkaya pemahaman teman-teman semua tentang gizi seimbang. Juga mudah-mudahan tulisan ini juga bisa menggerakkan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) untuk melihat tayangan iklan yang sebenarnya ‘menipu’ seperti pada hari-hari ini ketika saya di Jakarta melihat tayangan iklan sebuah makanan berbentuk sosis mengklaim: “Saya juara…ingin seperti saya? Saya makan…” Saya belum punya data dampaknya, baru melihat satu dua kali. Tetapi saya lebih suka iklan itu ketika dibawakan Dedi Mizwar beberapa tahun silam.
Weka Gunawan (14 Januari 2010)
(Tulisan ini dibuat atas dorongan teman-teman saya di jaringan sosial Facebook: Pak Hannibal, Maria V Estiari, Taufik Hidayat, Nien Lazuardi dan Edi Wibowo)