Jalan KESEHATAN untuk SEMUA!
oleh: CSP Wekadigunawan, National University of Malaysia
“Between animal and human medicine there are no dividing lines – nor should there be (Rudolf Virchow, M.D. 1821 – 1902)
Kalimat tersebut diingatkan kembali oleh Prof.Dr.Stanley Fenwick, dari USAID – RESPOND dalam pidatonya di 1st International Public Health Conference dan 18th National Public Health Colloquium yang diadakan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia (National University of Malaysia) di hotel Legend, Kuala Lumpur Malaysia tanggal 27 dan 28 September 2011. Fenwick menegaskan symptom/gejala-gejala penyakit yang diderita manusia dan hewan adalah sama dan demikian juga obat-obat yang digunakan untuk mengobati keduanya.
Penyakit-penyakit hewan seringkali dijadikan lelucon orang-orang di negara-negara yang kurang memahami mengapa dahulu sekolah-sekolah spesialisasi mempelajari penyakit-penyakit pada hewan dibangun.
Sebuah Universitas di Indonesia bahkan mencerabut spesialisasi itu dari akar filosofi pendiriannya (yang sudah dibuat oleh Belanda) dan membatasi model mental dengan memasukkannya ke dalam Institut Pertanian dan menekan ruang gerak dan kontribusinya terhadap kesehatan manusia. Membatasi ruang geraknya hingga hanya ke salah satu dari cabang dari ilmu kedokteran hewan yakni mengurusi produksi daging (sapi, ayam, babi) dan susu saja dan memasukkan professional lulusannya di bawah departemen pertanian.
4 Agustus 1761
Pada abad ke 18, Paus Clemen XI mengintruksikan pada Dr.Giovanni Maria Lancisi untuk menangani Rinderpest, penyakit yang disebabkan virus yang mematikan yang ditularkan melalui sapi yang daging dan susunya mereka konsumsi. Lancisi merekomendasikan binatang yang dicurigai harus dimusnahkan dan beliau juga mengusulkan keilmuan tersendiri untuk menangani masalah ini.
Untuk memberi fokus pada penyakit pada binatang, demi kepentingan kesehatan manusia, maka Sekolah Kedokteran Hewan (Veterinary Medicine) yang pertama di dunia didirikan. Bertempat di Lyon, Perancis dan di bawah perlindungan dan dukungan langsung Raja Louis XV.
Setelah 250 tahun, sekolah itu didirikan penyakit Rinderpest dinyatakan musnah dari dunia.
Kontribusi ilmu Kedokteran Hewan pada Kemashlahatan umat Manusia
Keilmuan kedokteran hewan mencatat sejarah: Louis Pasteur (1822 -1895) menciptakan vaksin rabies dan anthrax ; Robert Koch mengisolasi Bacillus anthracis (1877), Tuberculosis bacillus (1882) dan Vibrio cholera (1883); W Jenner membuat vaksin cacar dari penyakit cacar pada sapi (cowpox) (1796). Kasus cacar terakhir dilaporkan pada tahun 1979 oleh badan kesehatan dunia (WHO). Meski demikian Monkeypox bisa menjadi ancaman masa datang jika tidak segera ditangani.
Pada tahun 1890-an dua orang dokter hewan Daniel Salmon dan Theobald Smith mengembangkan vaksin inaktif untuk mengendalikan hog cholera yang merupakan awal dari pengembangan vaksin melawan penyakit tipus (Typhoid) dan Polio; nama Salmon dipakai sebagai nama kuman Salmonella, hasil penelitiannya. Sementara rekannya Theobald Smith melakukan riset pada anaphylaxis (reaksi alergi yang mendadak dan dapat mengakibatkan kematian pada manusia) yang dikenal sebagai Theobald Smith’s phenomenon.
Smith dan Kilbourne, MD menemukan serangga antropoda yang menularkan penyakit Babesia, kemudian Walter Reed menghubungkannya dengan nyamuk sebagai vektor Yellow Fever.
1970-an Fredercik Murphy memecahkan misteri virus Ebola dan siklus hidupnya.
Peter C Doherty menemukan bagaimana sistem kekebalan tubuh membedakan antara sel-sel yang normal dan sel-sel yang terinfeksi kuman/virus. Bersama Rolf Zinkernagel mereka menerima hadiah Nobel dalam bidang Kedokteran dan fisiologi pada tahun 1996.
Juga tak ketinggalan menyebut Calvin Schwabe (1927 – 2006) yang mempromosikan one medicine and proposed a unified human and veterinary approach to zoonosis pada bukunya “Veterinary Medicine and Human Health” pada tahun 1964.
Patogenitas SARS, West Nile Virus, HIV/AIDs, dst.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) terus menegaskan pentingnya kolaborasi setiap elemen dalam dunia kesehatan terutama penyakit-penyakit pada hewan. WHO mengingatkan bahwa 75% emerging diseases berasal dari hewan dan sebaliknya. Penyakit zoonosis seperti rabies, tuberculosis, influenza, plaque, demam kuning , HIV, Ebola, Nipah, Hendra, sudah banyak menempatkan peneliti-peneliti untuk bekerjasama antar bidang Kedokteran.
Beruntung, Universitas Airlangga Surabaya misalnya menempatkan Fakultas Kedokteran Hewan dalam satu payung bersama-sama dengan Fakultas Kedokteran Umum dan Fakultas Kedokteran Gigi. Sehingga mata kuliah Kedokteran Dasar seperti ilmu Faal, Histologi/ilmu jaringan tubuh dan anatomi, farmakologi, farmasi dan farmakoterapi, biokimia, mereka bersama-sama dalam satu gedung. Sejak itu mereka saat mahasiswa sudah saling mengenal. Para dosen pengajar mata kuliah Kedokteran Dasar juga digabung berlatar belakang dokter hewan, dokter umum dan dokter gigi. Melihat satu masalah dengan beragam sudut pandang untuk satu tujuan, adalah biasa dikerjakan dalam satu atap yakni penelitian Kedokteran.
Maka, dapat dikatakan hingga saat ini Universitas Airlangga memimpin dalam banyak hasil penelitian antar bidang kedokteran ini. Sebuah gedung megah juga telah didirikan di kampus C Surabaya, sebuah gedung yang spesifik melakukan penyelidikan tentang penyakit-penyakit tropis.
Jangan menjadikan lelucon seperti, “nanti disuntik rabies lho kamu” dalam sebuah acara Empat Mata (sekarang menjadi Bukan Empat Mata) kata si pembawa acaranya. Anda tahu bahwa di Bali ratusan orang terinfeksi rabies dan berhasil diselamatkan dengan suntikan serum rabies. Jadi jangan menjadikan penyakit dan profesi sebagai bahan lelucon.
Patogenitas atau keganasan suatu penyakit bertahap yakni:
- Fase Pertama: Patogenitas penyakit hanya pada binatang.
- Fase Kedua: Patogenitas penyakit menular dari binatang kepada manusia (infeksi primer) seperti Highly Pathogenic Avian Influenza- HPAI dan rabies.
- Fase Ketiga dan Ke-empat : Infeksi sekunder penularan berlanjut pada binatang ke manusia dan pada manusia ke manusia lainnya.
- Fase Kelima: Patogenitas penyakit eksklusif hanya pada manusia saja! (Measles, HIV)
Dalam konsep One Health, tidak ada batas-batas. Apapun keilmuan yang kita miliki seharusnya dapat duduk bersama secara harmoni dan saling menghormati. Banyak kerja yang belum selesai dan juga penyakit baru datang silih berganti.
Sekali lagi sebagai penulis saya mengingatkan bahwa dalam konsep One Health adalah “Pencapaian kesehatan optimal bagi manusia, hewan dan lingkungan” merujuk pada Americans Association for Advancement of Science Annual Meeting, 2010, di San Diego California, Amerika Serikat.
Note:
Dr. ÇSP Wěkādigunawan (writer this article) also presented her paper in the same conference at Hotel Legend in Kuala Lumpur Malaysia (27 - 28th September 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar